Akibat Stunting, Jutaan Anak Terancam Kehilangan IQ hingga 15 Poin

Akibat Stunting, Jutaan Anak Terancam Kehilangan IQ hingga 15 Poin
Lihat Foto

WJtoday, Jakarta - Rektor Universitas YARSI Prof dr Fasli Jalal, Sp.GK., Ph.D mengatakan enam juta anak Indonesia terancam kehilangan Intelligence Quotient (IQ) 10 hingga 15 poin akibat terkena kekerdilan (stunting) yang memberikan banyak dampak buruk pada masa depannya.

“Berdasarkan data SSGI tahun 2019, IQ poin anak-anak kita, berkurang 10 sampai 15 poin untuk setiap anak dari enam juta anak Indonesia,” kata Fasli dalam Webinar Peran Grand Parenting dalam Pencegahan Stunting di Jakarta, Jumat (24/6/2022).

Fasli menuturkan rata-rata poin IQ yang dimiliki anak Indonesia hanya sekitar 78. Besar IQ itu lebih rendah dibandingkan rata-rata poin IQ yang dimiliki anak-anak di Jepang, yakni 106, peningkatan IQ semakin diperparah dengan hadirnya pandemi COVID-19 yang melanda dunia.
 
Hal tersebut, lanjutnya, memberikan dampak pada enam juta anak di Indonesia terlambat untuk bisa masuk ke sekolah dan cenderung memiliki prestasi di bidang akademik yang lebih buruk. Bahkan, terkadang terjadi putus sekolah pada usia muda.

Stunting, kata Fasli, juga membuat anak kehilangan tinggi badannya sekitar satu persen dan 1,4 persen produktivitasnya. Bila stunting terus dibiarkan, kualitas kesehatan anak bangsa akan menurun dan kegiatan perekonomian dapat terganggu.

“Kadang putus sekolah pada usia awal membuat mereka memiliki pendapatan lebih rendah dari teman-temannya yang normal kondisi tubuhnya. Dia juga akan kehilangan pendapatan, negara juga akan kehilangan Gross Domestic Product (GDP,)” kata Fasli.

Fasli menambahkan stunting tidak hanya merugikan anak secara individu, tetapi juga negara. Biaya untuk penanganan nutrisi pada anak yang terkena stunting diperkirakan bisa mencapai Rp300 triliun hingga Rp400 triliun. Potensi GDP juga ikut menurun sekitar dua sampai tiga persen.

“BPJS bisa bangkrut karena membiayai dampak stunting sebagai penyakit tidak menular ini. Kondisi ini akan membuat kemiskinan antar-generasi yang semakin buruk,” ucap dia.

Ia berharap semua pihak dapat menanggapi masalah stunting dengan lebih serius, karena membuat kemampuan kognitif anak berkurang. Perkembangan otak yang terganggu, kemampuan daya saing di era ekonomi modern menurun dan tubuh mengecil.

Stunting juga berkaitan erat dengan berkurangnya produktivitas serta memicu anak rentan terhadap penyakit infeksi. Kesehatan tubuhnya jadi rendah, bahkan dapat terjadi perubahan metabolisme di tingkat sel yang membuat sel-sel itu membuat cepat bengkak dan gemuk. “Ini yang membuat dia menjadi obesitas, diabetes, penyakit jantung, penyakit pembuluh darah, stroke dan lain-lain,” ujar dia.

Status merah
 
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan terdapat lima kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat (Jabar) memiliki angka prevalensi kekerdilan (stunting) di atas 30 persen atau masuk dalam status merah.

“Tidak ada satu pun kabupaten atau kota di Jawa Barat yang berstatus biru, yakni dengan prevalensi di bawah 10 persen. Hanya Kota Depok yang memiliki angka prevalensi terendah dengan 12,3 persen,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam keterangan tertulis yang diterima, Sabtu (25/6/2022).

Berdasar Data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2021, ia menyebutkan empat kabupaten/kota dengan angka prevalensi di atas 30 persen itu adalah Kota Cirebon, Kabupaten Garut, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bandung.

Kemudian, sebanyak 14 kabupaten/kota berstatus kuning atau angka prevalensi berkisar 20-30 persen seperti Bandung Barat, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cirebon, Kota Bandung, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Sukabumi, Kota Banjar, Majalengka, Pangandaran, Sumedang, Kabupaten Bekasi, Purwakarta serta Karawang.

Sementara sembilan kabupaten/kota memiliki status hijau atau angka prevalensinya mencapai 10-20 persen, yakni Kota Cimahi, Kota Sukabumi, Kuningan, Subang, Kota Bogor, Ciamis, Indramayu, Kota Bekasi serta Kota Depok.

Guna menurunkan angka prevalensi anak yang lahir dalam keadaan kerdil di Provinsi Jawa Barat itu, kata dia, BKKBN telah menurunkan sebanyak 37.184 tim pendamping keluarga (TPK).

Diturunkannya tim pendamping keluarga dalam jumlah banyak yang terdiri atas bidan, PKK dan kader KB itu, katanya, dirasa dapat menjalankan tugas strategis untuk meningkatkan akses informasi, pelayanan melalui penyuluhan, fasilitas pelayanan rujukan dan fasilitas penerimaan program bantuan sosial (bansos).

Tim itu juga bisa mendeteksi dini faktor risiko kekerdilan pada anak baik secara spesifik maupun sensitif. Dengan fokus sasaran pemberian pendampingan mencakup calon pengantin, ibu hamil, pasca persalinan dan anak-anak usia balita.

Selain menurunkan tim pendamping keluarga, ia juga menekankan bila pola pikir masyarakat yang lebih memilih "pre-wedding" dibanding menggunakan "pre-konsepsi" harus betul-betul diubah.

“jika dioptimalkan akan menjadi kekuatan besar dalam upaya percepatan penurunan stunting. Jika disetarakan dengan jumlah sumber daya manusia, keberadaan TPK tersebut sama dengan 111.552 orang,” kata Hasto Wardoyo.***