Ancaman Mogok Karyawan Pertamina Kontraproduktif dan Hambat Pemulihan Ekonomi Nasional

Ancaman Mogok Karyawan Pertamina Kontraproduktif dan Hambat Pemulihan Ekonomi Nasional
Lihat Foto

WJtoday, Jakarta - Ancaman aksi mogok kerja yang dilayangkan oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) di sejumlah titik strategis menuai berbagai tanggapan.

Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Indonesia (UI) Prof Aloysius Uwiyono mengatakan hal tersebut berisiko menghambat aktivitas bisnis PT Pertamina (Persero).

Serikat pekerja tidak seharusnya hanya mengajukan tuntutan secara agresif, tetapi juga sebaiknya membuka diri terkait dengan segala upaya penyelesaian yang telah ditempuh oleh perusahaan pelat merah itu.

“Serikat pekerja jangan hanya menuntut saja tetapi juga membuka hati. Kalau bisa mogok kerja itu tidak dijalankan, Jadi harus musyawarah untuk mufakat,” ujarnya, Selasa (28/12).

Menurutnya, aksi ini juga berisiko merugikan pekerja yang tergabung di dalam FSPPB. Sebab, jika perusahaan tidak bisa beroperasi akan menimbulkan efek yang cukup besar lantaran terhambatnya pasokan minyak.

“Pastilah mengganggu pasokan minyak karena mereka demo kan tidak bekerja. Distribusi minyak juga terhambat,” ungkapnya.

Sementara itu, Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu (FSP BUMN Bersatu) menilai ancaman mogok kerja yang dilayangkan oleh FSPPB kontraproduktif dan berisiko menghambat proses pemulihan ekonomi nasional.

Sekjen FSP BUMN Bersatu Tri Sasono mengungkapkan, Pertamina merupakan perusahaan pelat merah yang memiliki peran vital dalam perekonomian negara. Selain itu, oeprasional bisnis Pertamina juga menyangkut dengan hajat hidup orang banyak.

Dengan demikian, ancaman mogok itu merugikan sebagian besar pekerja Pertamina dan mengancam keberlangsungan usaha masyarakat yang selama ini mendapatkan efek berganda dari bisnis perusahaan tersebut. “Kami menyayangkan rencana aksi mogok tersebut, karena tidak sesuai dengan tujuan berorganisasi dari serikat pekerja,” sebutnya.

Sebelumnya diketahui salah satu dasar dari munculnya ancaman ini adalah adanya rencana kebijakan agile working yang berdampak pada pengaturan mekanisme kerja fleksibel alias work from home (WFH).

Namun, manajemen Pertamina memastikan untuk tidak menerapkan mekanisme tersebut sehingga tidak ada pemangkasan gaji karyawan. Sejalan dengan hal itu, Tri menilai ancaman mogok kerja tak lagi relevan.

Sementara itu, jika masih terjadi adanya silang pendapat antara pekerja dengan pihak manajemen menurutnya harus diselesaikan secara bipartit sehingga bisa meminimalisasi gejolak.

“Kalau hanya karena masalah buntunya penyusunan PKB (Perjanjian Kerja Bersama) seharusnya diselesaikan dengan jalan dialog,” ujarnya.

Tri optimistis penyelesaian melalui dialog secara bipartit akan efektif untuk menemukan solusi terbaik. Terlebih, selama ini Pertamina dikenal sebagai salah satu perusahaan yang memprioritaskan kesejahteraan karyawan. ***