'Unjuk Rasa Tanpa Ketertiban itu Anarkis,Ketertiban Tanpa Unjuk Rasa itu Basa Basi'

'Unjuk Rasa Tanpa Ketertiban itu Anarkis,Ketertiban Tanpa Unjuk Rasa itu Basa Basi'
Lihat Foto
WJtoday,- Gelombang protes dari elemen masyarakat, pekerja, mahasiswa, akademisi, dan aktivis terhadap pengesahan ‘Omnibus Law RUU Cipta Kerja’, memasuki puncaknya pada 8 Oktober 2020. Demo Omnibus Law tak hanya digelar di Jakarta, tetapi juga di kota-kota besar di seluruh negeri tak terkecuali di Bandung.

Hampir keseluruhan aksi berakhir dengan kekerasan dan aksi perusakan. Di Jakarta,halte bus dan pos polisi dibakar, puluhan sarana fasilitas umum rusak.

Di Bandung kondisi serupa juga terjadi. Mobil dan sepeda motor aparat jadi korban amuk massa. Taman taman kota rusak, batu beton dan pot pot bunga berserakan di jalan jalan utama Kota Kembang.

Analis Sosial Politik dari Eksplorasi Dinamika dan Analisis (EDAS), yang juga dosen Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani) Cimahi, DR. Wawan Gunawan, punya gagasan agar kerusakan yang diakibatkan oleh aksi unjuk rasa dibiarkan dahulu untuk dipertontonkan kepada publik selama seminggu. Masyarakat juga harus merasakan akibat yang timbul dari kerusakan tersebut.

" Unjuk rasa di negara manapun boleh, tapi unjuk rasa tanpa ketertiban itu anarkis. Ketertiban tanpa unjuk rasa itu basa basi," kata pria yang akrab disapa Wagoen. 

Wagun menerangkan, sebetulnya tindakan anarkistis ini adalah pelanggaran terhadap hak publik dan juga pelanggaran terhadap orang untuk mendapatkan rasa aman, tenteram, dan damai. Dia berharap kondisi ke depan akan lahir kebajikan dalam berdemontrasi.

Wagoenn juga mencatat fenomena yang terjadi dengan aktivis mahasiswa sekarang. Menurutnya, aktivis mahasiswa sekarang tidak berpatron pada tokoh gerakan namun pada politisi. Mereka menjadi kader jenggot para politisi.

Jurnalis wjtoday Bambang Mulyono mewancarai Wagun pada Kamis (16/10/2020) di Bandung,Jawa Barat. 

Berikut wawancara utuh dengan Doktor lulusan Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran dengan disertasi " Etika Pemerintahan dalam Pilkada Studi Dinasti Politik".


Apa yang Anda lihat dari peristiwa unjuk rasa belakangan,khususnya unjuk rasa yang berlangsung di Bandung baik itu ketika ada penolakan terhadap Undang Undang KPK maupun penolakan Undang Undang Cipta Kerja ?

Tentu saja fenomena yang paling diingat publik adalah anarkistis dan vandalisme. Selain tentunya soal subtansi penolakan UU Cipta Kerja.

Ada 3 catatan saya atas fenomena unjuk rasa tersebut yang semuanya berakhir dengan tindak kekerasan. Pertama, unjuk rasa anarkistis mengakibatkan fasilitas umum rusak, taman taman publik rusak, fasilitas umum rusak. Nah, saya inginnya pemerintah baik Pemkot Bandung atau Pemprov Jabar membiarkan kerusakan itu selama seminggu. 

Lalu, selama seminggu itu tokoh masyarakat,tokoh agama,tokoh budaya,tokoh pendidikan, BEM, Ormas dan tokoh kepemudaan diundang ke tempat kerusakan. Datang seperti wisatawan mengunjungi tempat wisata.

Pesan apa yang ingin ditunjukkan dengan mengundang tokoh tokoh atau pemuka masyarakat ke tempat kerusakan yang diakibatkan oleh aksi unjuk rasa ?

Ya, Gubernur atau Walikota misalnya, bisa mempertontonkan kepada tokoh tokoh tersebut. Mereka bisa berkata, nah lihat, ini lho hasil dari demo kemarin.

Kami akan membiarkan kerusakan ini dalam seminggu. Kami akan biarkan batu batu besar tersebut berserakan di jalanan. Pot pot bunga tetap tergeletak hancur di jalanan tidak akan kami bersihkan.

Nantinya agar masyarakat juga tahu, masyarakat bisa merasakan bagaimana kalau dijalan tersebut banyak batu batu berserakan. Banyak fasilitas umum yang rusak, hingga untuk jalan saja susah. Sampai timbul pemikiran, kenapa yah tidak diperbaiki oleh pemerintah ?

Pak Gubenur atau Pak Walikota juga bisa berkata seperti ini misalnya : Bapak bapak, Ibu ibu bukan kami tidak mau memperbaiki tapi inilah kenyataannya. Jangan hanya bapak-bapak, ibu ibu lihat ditayangannya saja. Ini semua uang dari bapak-bapak dan ibu-ibu yang dibayarkan lewat pajak. Kita membangun taman yang bagus ,fasilitas umum yang bagus tapi inilah hasilnya setelah aksi unjuk rasa.

Jadi tolong bapak dan Ibu arahkan anaknya yang dirumah, arahkan umatnya di mesjid mesjid, arahkan anak didiknya di sekolah sekolah.
Boleh demonstrasi tapi jangan dengan merusak, jangan dengan kekerasan.

Nah nanti tokoh-tokoh tersebut ketika sampai di lingkungannya bisa kembali menyampaikan pesan seperti tadi. Misalnya,Saya selaku dosen menyampaikan kepada anak didiknya. Ada yang ketua Ormas menyampaikan kepada anggotanya,ketua DKM menyampaikan kepada jemaat mesjidnya. 

Jika pemerintah membiarkan dulu kerusakan fasilitas umum tersebut jadi ada semacam sosialisasi juga bagi masyarakat nantinya.

Demonstran membakar ban saat aksi unjuk rasa menolak disahkannya UU KPK di depan Gedung Sate Bandung

Kenapa sampai timbul ide atau gagasan agar bekas kerusakan tersebut dibiarkan saja ?

Saya berkaca dari pengalaman. Kalau seperti sekarang, ada kerusakan kemudian besok sudah diperbaiki. Saya khawatir demonstran berpikirnya akan seperti ini : Ya santai saja kita rusak juga, toh besok akan diperbaiki lagi.

Saya terilhami dari perlintasan rel kereta api, di situ kan suka dipajang kendaraan kendaraan yang mengalami kecelakaan karena menerobos perlintasan. Dengan melihat kendaraan itu kita jadi diingatkan akan bahayanya  menerobos perlintasan kereta. 

Kerusakan akibat aksi unjuk rasa tersebut jika dipertontonkan, bisa menjadi pengingat bagi masyarakat. Selain itu para demonstran juga perlu disadarkan kalau demokrasi itu memang dijalankan dengan kebebasan untuk menjamin aspirasi. Tapi, merusak fasilitas umum dan fasilitas negara harus ditindak tegas.

Apa lagi yang ingin dicapai dari ide menjadikan bekas aksi unjuk rasa sebagai tempat wisata selama seminggu ?

Dinamika politik dalam iklim demokrasi meniscayakan gejolak aspirasi dan akomodasi. Karena itu, jika ada perbedaan pendapat dan pandangan seharusnya dicarikan titik temu solusinya, bukan bertindak anarkis. Apalagi jika aksi itu dilakukan oleh kelompok terdidik seperti mahasiswa,misalnya.

Unjuk rasa di negara manapun boleh,tapi unjuk rasa tanpa ketertiban anarkis.Ketertiban tanpa unjuk rasa itu basa basi.


Balik lagi ke fenomena aksi unjuk rasa belakangan ini,apalagi yang menjadi catatan Anda ?

Yang kedua adanya fenomena seperti ini, kalau dulu kaum aktivis itu berpatron kepada kaum pergerakan seperti Rahman Tolleng, Marsilam, Rahmat Witoelar atau Adnan Buyung. Nah biasanya si aktivis bercita cita jadi kaum pergerakan juga. Saya amati aktivis sekarang berpatron bukan pada tokoh tokoh pergerakan lagi. Tapi berpatron pada politisi, para aktivis sekarang jadi kader jenggot para politisi.

Cita citanya dari aktivis bukan menjadi kaum pergerakan tapi setelah jadi aktvis mereka ingin jadi pengurus partai kemudian jadi legislator, baik di kota atau kabupaten, provinsi maupun di pusat. Jadi orientasinya sudah berbeda. Kalau dulu ingin jadi kaum pergerakan, independen, tidak mau masuk ke sistem. Pokoknya ingin jadi watchdog, jadi penyeimbang.

DR. Wawan Gunawan

Fenomena ketiga atau fenomena apalagi yang tampak dari kejadian unjuk rasa belakangan ini ?

Yang ketiga saya berharap ada kebajikan demonstran. Memang salah kalau demonstran bajik?. Demostran tidak dilarang tapi demonstran yang bijak, yang bajik itu juga tidak dilarang.

Unjuk rasa, ya unjuk rasa tapi sesama teman harus ada yang saling mengingatkan. Ini milik kita..Itu pot bunga teu boga kesalahan, kunaon kudu diancurkeun ? Hal ini namanya civic virtue, kebijakan sipil seperti inilah yang sekarang tidak ada. 

Akibatnya kalau demontrasi sudah bersekutu dengan vandalisme, bersekutu dengan anarkisme ujungnya pasti saling tuding.

Ini free rider kah yang membuat ulah ? Atau ada penumpang gelapkah ? Siapa pelakunya, Apakah oknum LSM, oknum buruh atau oknum mahasiswa ?

Atau bisa jadi kekuatan yang sedang berkuasa karena terganggu kemudian menggembosi kekuatan para penentangnya dengan cara menciptakan aksi yang selalu berujung dengan kerusuhan atau kekerasan ?

Ya, bisa jadi ada sinyalemen seperti itu. Demonstran suruh menghancurkan agar ada justifikasi. Tuh kan rusak semua. Akhirnya kan jadi saling tuding. Jadi sekali lagi, saya berharap demonstrasi itu bijak.

Dalam teorinya, good goverment yang sekarang sedang berkembang, pilarnya ada 3 yakni Pemerintah, swasta dan publik. Masing masing punya kewajiban,hak dan tanggung jawab. Masyarakat entah itu buruh, mahasiswa, LSM punya hak untuk berunjukrasa, mengemukakan pendapat. Tapi mereka juga punya kewajiban untuk menjaga ketertiban.Jangan terjebak oleh jiwa massa.

Memang betul jiwa massa itu akan menegasikan rasionalitas. Bahkan seorang profesor pun kalau berada dalam kerumunan pengunjuk rasa mungkin akan secara tidak sadar ikut apa yang diteriakkan oleh massa. Memang ada teorinya unjuk rasa itu menghilangkan rasionalitas manusia. Tapi jangan di justifikasi,mentang mentang ada teorinya, jadi wajar saja kalau setiap demonstrasi ada pengrusakan.

Nah, ini yang berbahaya kalau setiap demonstrasi ada pengrusakan dianggap wajar, maka selamanya akan ada pengrusakan.

Aksi unjuk rasa yang terjadi selalu diakhiri dengan anarkistis, apakah fenomena ini akan memundurkan proses demokratisasi kita yang masih dalam tahap belajar ?

Ini kaitannya dengan masyarakat sipil. Civil society memang punya hak untuk berdemostrasi. Ada 3 jalan masyarakat dalam menyampaikan ekpresinya.

Pertama, kebebasan ekspresi grafis seperti, menulis, surat pembaca, bikin artikel dll. Kedua,ekspresi verbal, dialog, lobby, dekspresi

Ketiga,ekspresi kinestetis. Yang ketiga ini, menyatukan antara ekspresi grafis dan verbal, wujudnya bisa unjuk rasa. Namun jika unjuk rasa selalu melahirkan vandalisme disebut anarkisme. Hal itu sesungguhnya sedang melemahkan proses demokrasi yang sedang kita bangun.

Kita masih dalam tahap konsolidasi demokrasi belum demokrasi benar. Buktinya kita masih berwacana soal demokrasi prosedural. Belum demokrasi esensial.

Di negara yang masih demokrasi prosedural, orang hanya ngomong, suaranya memang terbanyak, masyarakat memang memilih. Terserah deh, mau latar belakangnya pencuri, mau perampok. Hasil suaranya dapat nyogok atau beli suara, terserah asal prosedurnya ditempuh gak jadi masalah.

Nah inikan namanya prosedural bukan esensial. Ini permasalahannya, ketika kita sedang konsolidasi demokrasi menuju demokrasi yang benar kemudian dirusak oleh cara cara anarkis seperti tadi.

Yang terjadi malah jadi mundur proses demokratisasinya. Apalagi tindakan anarkistis tadi dilakukan oleh sebagian mahasiswa.

Apa ada terminologi yang kurang tepat dari kata "unjuk rasa " ?

Kita kadang menggunakan terminologi yang kurang pas juga. Coba perhatikan kata yang kita gunakan yakni, unjuk rasa. Saya inginnya unjuk argumen kalau untuk mahasiswa jangan unjuk rasa.

Kalau rasa itu adanya di dalam subyektivitas. Ada yang senang warna coklat, ada yang senang warna merah. Ada yang senang pedas ada yang senang manis. Itu namanya rasa.

Kalau unjuk rasa itu cocoknya bagi seniman yang mengekspresikan dirinya melalui kalimat, melalui lukisan, melalui puisi. Itu unjuk rasa.

Tapi kalau untuk mahasiswa harusnya unjuk argumen saja. Misalnya, kalau mau unjuk rasa yang tertib itu surati gubernur ajak gubenur untuk debat di Gasibu.

Sampaikan, Pak Gubernur menurut kita omnibus law itu pasal ini, pasal itu, banyak yang tidak sesuai. Debat di situ, undang wartawan, media, tokoh tokoh dll, tanpa ada kekerasan, tanpa ada penghinaan. Nah, mahasiswa levelnya harus di sana.

Coba lihat demonstrasi di negara negara maju, Inggris misalnya,demo itu tertib.Tuntutan juga disampaikan dalam kalimat kalimat yang menyentuh dan bagus. Enak nontonnya juga.

Jadi anarkisme itu ada semacam penegasian terhadap demokrasi yang sedang kita bangun.***