DPR: Rencana Blokir Media Sosial Akan Ancam Kebebasan Berekspresi

DPR: Rencana Blokir Media Sosial Akan Ancam Kebebasan Berekspresi
Lihat Foto
WJtoday, Jakarta - Rencana peraturan menteri (Permen) oleh Kemenkominfo untuk memblokir media sosial saat massifnya unjuk rasa mahasiswa dan buruh seperti saat ini dinilai sebagai upaya pembungkaman kebebasan berekspresi masyarakat.

“Saya kira akan muncul dugaan rencana Menkominfo keluarkan Permen pemblokiran media sosial, ini merupakan reaksi atas banyaknya suara kritis masyarakat terhadap pemerintah yang alami masalah dalam komunikasi," kata anggota Komisi I DPR asal Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) Sukamta, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (21/10).

Tak hanya itu, lanjut Sukamta, dirinya meyakini latar belakang dibentuknya Permen tersebut akibat beragamnya opini publik terkait pengesahan omnibus law RUU Cipta Kerja.

"Pemerintah kan punya kuasa untuk menyatakan yang hoaks dan bukan seperti pernyataan Pak Menkominfo beberapa waktu lalu," kritiknya.

"Tentu ini akan menimbulkan kekhawatiran jika kebijakan pemblokiran ini dilakukan dengan pertimbangan yang subjektif. Ini akan membahayakan kebebasan berekspresi," imbuhnya.

Pada dasarnya, ia sepakat dengan pemblokiran media sosial yang menyebarkan fitnah, hoaks, pornografi, tindakan kekerasan dan hal negatif lainnya. Namun, pemblokiran tersebut juga harus disertai dengan edukasi secara masif ke masyarakat.

"Pendekatan pemerintah saat ini terlihat ramai di penegakan hukum. Penegakan hukum ini hanya bagian hilir, ini pun kadang terkesan tebang pilih. UU ITE lebih dikenal sebagai UU untuk memidana masyarakat dan tokoh yang kritis dan berseberangan dengan pemerintah," sambungnya.

Lebih lanjut, Sukamta mengingatkan ada satu tugas Kominfo yang selama ini dilupakan. Selama ini, peran komunikasi seperti tidak serius dilakukan karena lebih banyak pada sisi informatika semata.

"Padahal peran komunikasi sangat penting sebagai jembatan antara pemerintah kepada rakyat. Masyarakat selama ini dibingungkan dengan pernyataan para pejabat pemerintah yang tidak konsisten dan berpotensi memunculkan respons bersifat spekulasi, " demikian Sukamta.***