Pernyataan Macron Mengundang Permusuhan,Umat Islam Bereaksi di Seluruh Dunia

Pernyataan Macron Mengundang Permusuhan,Umat Islam Bereaksi di Seluruh Dunia
Lihat Foto
WJtoday, Jakarta - Gelombang unjuk rasa dan kecaman atas pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron merebak di sejumlah negara mayoritas berpenduduk muslim.

Arab Saudi mengecam keras kartun Nabi Muhammad, penerbitan yang dibela oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron, menyusul pemenggalan seorang guru.

Pernyataan dari pejabat kementerian luar negeri Saudi seperti yang dilaporkan kantor berita SPA pada Selasa (27/10) menyebutkan negara kerajaan itu "mengecam penggambaran yang menyinggung terkait Rasul umat Islam, Muhammad...atau nabi-nabi yang lain."

Kerajaan juga "menolak upaya untuk mengaitkan antara Islam dan terorisme," sebut pernyataan itu dengan tambahan negara itu juga "mengecam segala bentuk terorisme, siapapun pelakunya."

Saudi juga menyebut "kebebasan berpikir dan kebebasan kultural adalah satu hal yang harus dijunjung dengan saling menghargai, toleransi dan damai."

Pernyataan Macron ini juga menimbulkan gelombang kritikan dan protes di sejumlah negara termasuk di Irak, Palestina, Libia dan Suriah.

Belakangan, Pernyataan Macron juga menimbulkan seruan sejumlah negara untuk memboikot produk Prancis. Di Kuwait, Yordania, dan Qatar barang-barang bermerek dagang dari Prancis telah ditarik dari beberapa toko.

Pengumuman di sebuah supermarket di ibu kota Yordania, Amman, memberitahu konsumen bahwa barang-barang Prancis diboikot.

Seruan boikot juga dilontarkan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan karena apa yang menyerukan kepada disebutnya sikap bermusuhan terhadap Muslim yang ditunjukkan oleh pemimpin Prancis.

"Sekarang saya menyerukan kepada bangsa kita, sebagaimana yang telah terjadi di Prancis untuk tidak membeli merek-merek Turki, maka saya menyerukan kepada bangsa saya di sini dan mulai sekarang: jangan perhatikan barang-barang berlabel Prancis, jangan beli barang-barang itu," tegas Erdogan dalam pidato di televisi pada Senin (26/10).

Presiden Erdogan juga menyerukan kepada Uni Eropa untuk membatasi hal yang disebut sebagai agenda anti-Islam yang diusung Macron.

Beberapa toko di Kuwait telah menurunkan produk-produk buatan Prancis dari rak mereka pada hari Minggu. (Foto:Reuters)

Di Indonesia, seruan boikot disuarakan Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS) dalam aksi demonstrasi yang digelar di Bundaran Gladak, Solo, Rabu (28/10).

Ratusan orang itu mengungkapkan kemarahan dan kekecewaannya dengan meletakkan foto Presiden Macron di jalan raya sehingga terlindas kendaraan dan menginjak-injaknya.

Massa juga membentangkan spanduk yang berisi ajakan boikot.

"Kami mengimbau kepada umat Islam di manapun untuk mempertimbangkan melakukan boikot pembelian dan pemakaian produk apapun buatan Prancis," ujar Juru bicara DSKS, Endro Sudarnono, Rabu (28/10).

"Presiden Macron mengeluarkan statement yang bersifat Islamofobia sekaligus melindungi majalah Charlie Hebdo yang jelas-jelas melakukan publikasi terhadap pelecehan Nabi Muhamad SAW," sambungnya.

Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, berkata karikatur Nabi Muhammad merupakan hal sensitif bagi umat Islam. Tapi hal itu, klaimnya, tak dipahami pemerintah Prancis.

"Dalam agama Islam, haram hukumnya mencela Tuhan orang lain. Kalau kamu mencela, mereka akan mencela Tuhanmu. Kalau Charlie Hebdo tidak menghiraukan nilai-nilai agama, itu kesalahan berat," ujar Anwar Abbas seperti di kutip dari  BBC Indonesia.

MUI berpendapat, pernyataan Presiden Macron mengundang permusuhan dan perselisihan umat Islam.

Kendati perbuatan memenggal kepala Samuel Paty tidak bisa dibenarkan namun, katanya, tindakan guru sejarah itu yang memperlihatkan karikatur Nabi Muhammad ke murid-muridnya lebih tidak bisa dibenarkan.

"Kalau menurut saya tindakan kekerasan itu salah tapi yang memancing orang berbuat salah itu lebih salah lagi."

Massa Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS) juga membentangkan spanduk yang berisi ajakan boikot produk Prancis.

Itulah mengapa, ia mendesak Presiden Macron segera menghentikan penerbitan karikatur Nabi Muhammad oleh Charlie Hebdo yang disebutnya sebagai "biang keladi" kekerasan di Prancis.

Namun demikian, MUI belum menganjurkan aksi boikot terhadap produk Prancis.

"Tidak sekarang. Kalau enggak ada perubahan dan sikap dari Presiden Macron dan Charlie Hebdo akan kami imbau boikot. Untuk selesaikan ini gampang, Macron minta maaf kepada umat Islam. Saya yakin umat Islam akan memaafkan."

Hampir senada dengan MUI, Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf,  melihat cara Presiden Macron menyikapi permasalahan di negaranya cenderung sepihak yakni dengan sudut pandang sekularisme dan mengabaikan ajaran agama Islam.

"Karena Nabi Muhammad SAW adalah subyek suci dalam agama Islam dan merupakan simbol utama Islam. Merendahkan kehormatan Nabi Muhammad SAW dianggap sebagai penghinaan terhadap Islam," jelasnya.

"Tapi menanggapi penghinaan terhadap Nabi dengan membunuh pelakunya adalah tindakan biadab yang berpotensi memicu instabilitas yang meluas tanpa kendali," sambungnya.

Karena itulah, ia meminta umat Islam di Indonesia menyikapi persoalan ini dengan tenang dan tidak terbawa secara emosional.

Solusi atas kekerasan yang terjadi di Prancis, katanya, dengan menggelar dialog antar-negara yang didasarkan atas konsensus terhadap nilai-nilai keadaban yang disepakati bersama.



Apa respon pemerintah?
Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, mengatakan pemerintah turut mengecam tindakan pelaku pembunuhan Samuel Paty. Tapi pemerintah menilai mengaitkan perbuatan itu dengan agama "adalah suatu kesalahan besar".

Pada Selasa (27/10), Kementerian Luar Negeri memanggil Duta Besar Prancis, Olivier Chambard. Dalam pertemuan itu, kata Teuku, Olivier menyampaikan maksud pernyataan Presiden Macron.

Lewat Duta Besar RI di Prancis pula, Indonesia melayangkan nota diplomatik yang mendorong diaktifkannya dialog antar-agama sehingga menumbuhkan "pengertian yang lebih baik terhadap perbedaan agama," kata Teuku.

Sementara mengenai seruan boikot, pemerintah tidak bisa melarang. Tapi pemerintah tidak akan memberikan ruang bagi tindakan yang bakal merugikan hubungan bilateral kedua negara.***