Satu Dekade Diakui UNESCO, Angklung Warisan Budaya Dunia dari Jawa Barat

Satu Dekade Diakui UNESCO, Angklung Warisan Budaya Dunia  dari Jawa Barat
Lihat Foto
WJtoday, Bandung - Alat musik sekaligus karya seni tradisional asal Jawa Barat (Jabar), angklung, pada tahun 2020 ini telah satu dekade diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia kategori Tak Benda sejak dikukuhkan pada November 2010 lalu. 

Sebuah kebanggaan atas pengakuan dunia terhadap karya budaya Jabar, yang juga sebagai momentum untuk memotivasi kita semua agar dapat lebih meningkatkan berbagai giat pelindungan karya-karya budaya lainnya. 

Ditetapkannya sebuah karya budaya menjadi Warisan Budaya Tak Benda merupakan hasil dari sebuah proses panjang upaya pelindungan objek pemajuan kebudayaan Indonesia khususnya Jabar memiliki tingkat keragaman budaya yang tinggi yang menjadikannya sebagai pusat kekayaan khasanah budaya dunia.

Untuk meningkatkan kecintaan anak bangsa dengan alat musik angklung pemerintah menjadikan angklung sebagai salah satu mata pelajaran di beberapa sekolah di Jabar. 

Bukan hanya itu, pemerintah bahkan menggunakan gambar alat musik angklung di uang logam 1.000 rupiah  agar anak muda zaman sekarang mengetahui bangsa Indonesia memiliki alat musik yang dapat dibanggakan.

Pada 2008 terdapat 11.000 pemain angklung di Jakarta dan 5.000 pemain angklung di Washington DC dan memecahkan rekor terbaru saat itu. 

Pada Konferensi Asia-Afrika (KAA) April 2015 sebanyak 20.704 orang berkumpul bersama-sama di Stadiun Siliwangi Bandung untuk memainkan lagu “I Will Survive” dan “We Are The World” dengan menggunakan alat musik angklung. 4.117 di antaranya adalah anak berkebutuhan khusus. 

Sejarah angklung telah berubah dari yang tadinya hanya diperdengarkan di daerah Sunda sekarang seluruh dunia sudah mengenal musik angklung.


Asal Usul Angklung
Sejarah angklung sangatlah penting untuk dipelajari karena dengan mengetahui sejarah dibalik terciptanya angklung sebagai alat musik, bisa menambah rasa kagum dan bangga akan warisan budaya Indonesia yang satu ini. 

Kata “angklung” sendiri berasal dari 2 kata dari bahasa Sunda, yaitu “angkleung-angkleung” yang berarti diapung-apung dan “klung” yang merupakan suara yang dihasilkan oleh alat musik tersebut. Dengan kata lain angklung berarti suara “klung” yang dihasilkan dengan cara mengangkat atau mengapung-apungkan alat musik itu. 

Ada teori lain yang mengatakan angklung berasal dari 2 kata dalam bahasa Bali, yaitu “angka” yang berarti nada dan “lung” yang berarti hilang. Sehingga angklung dapat diartikan sebagai nada yang hilang..

Angklung merupakan alat musik berasal dari Jabar yang terbuat dari beberapa pipa bambu dengan berbagai ukuran yang dilekatkan pada sebuah bingkai bambu. Cara memainkan alat musik angklung adalah satu tangan memegang bagian atas angklung dan tangan lain memegang bagian bawah dari sisi lain angklung tersebut lalu menggoyangkannya. 

Hal ini menyebabkan pipa-pipa bambu yang menyusun angklung saling berbenturan menghasilkan suatu bunyi tertentu. Setiap satu alat musik angklung hanya menghasilkan satu nada. Berbeda ukuran angklung yang digetarkan atau digoyangkan menghasilkan nada yang berbeda pula. 

Oleh karena itu, dibutuhkan beberapa pemain angklung untuk menghasilkan melodi yang indah untuk didengar. Seorang pemain angklung dapat memainkan 2 atau 3 buah alat musik angklung.

Pada abad ke 12 sampai abad ke 16 terdapat Kerajaan Sunda di Nusantara, diperkirakan pada saat itulah awal dari sejarah angklung. Saat itu rakyat dari Kerajaan Sunda mempercayai dengan memainkan alat musik angklung dapat menyenangkan Nyai Sri Pohaci. 

Nyai Sri Pohaci sendiri dipercaya sebagai dewi kesuburan bagi rakyat Kerajaan Sunda. Nyai Sri Pohaci yang terpikat dengan alunan alat musik yang terbuat dari bambu itu akan turun dan membuat tanah para rakyat menjadi subur dan menghasilkan tanaman apapun yang ditanam oleh rakyat saat itu.

Selain untuk “mengundang” Nyai Sri Pohaci, angklung pun digunakan untuk membangkitkan semangat para prajurit yang berperang. Oleh karena itu, pemerintah Hindia Belanda pernah melarang alat musik ini untuk dimainkan. Larangan keras dari pemerintah Hindia Belanda membuat pemain angklung semakin berkurang.

Permainan angklung selalu ada di setiap acara perayaan panen sebagai persembahan untuk Nyi Sri Pohaci. 

Seiring berjalanya waktu, permainan angklung dijadikan sebagai arak-arakan setiap kali ada perayaan di tanah. Bahkan alat musik angklung dapat menyebar tidak hanya di Jawa tapi sampai ke seluruh dunia. 

Pada awal abad ke 20, Thailand mengadopsi alat musik angklung sebagai misi kebudayaan antara Thailand dan Indonesia. Bahkan angklung Buncis Sukaejo dapat ditemui di The Evergreen Stage Collage, sebuah universitas di Amerika Serikat.

Udjo Ngalagena yang dikenal sebagai tokoh yang mengembangkan teknik angklung mengajarkan cara memainkan angklung pada banyak orang. Beliau pun membangun Saung Angklung Udjo di Bandung agar semakin banyak orang yang mengetahui sejarah angklung dan seluk-beluknya. 


Filosofi Angklung
Salah satu hal yang mengagumkan dari leluhur bangsa Indonesia adalah, mereka selalu punya makna tersembunyi dibalik suatu ciptaan. Cobalah bertanya pada sesepuh batik, mereka dengan fasih akan menjelaskan makna dibalik corak yang buat kita orang awam, sekedar “terlihat bagus ketika dipakai”. Demikian pula angklung. Itu bukan sekedar “alat musik yang bersuara merdu”. Ada makna dibalik bentuknya yang sederhana.

Kalau diperhatikan, tabung angklung selalu dipasang sehadap, dimana tabung kecil ada di depan tabung yang besar. Ketika dimainkan, maka tangan orang harus menggetarkan angklung pada sisi tabung yang besar. 

Maknanya adalah, seorang yang lebih besar/tua harus berani mengambil tanggung jawab untuk mulai bergerak, dan mendorong yang kecil. Sementara itu yang kecil/muda sebaiknyalah bergerak serentak dengan yang besar, menuju arah tujuan yang sama.

Kemudian bisa dilihat semua tabung suara memiliki dua kaki yang masuk ke tabung dasar. Ketika digetarkan, kaki-kaki inilah yang akan bertumbukan dengan tabung dasar sehingga bunyipun muncul. Maknanya adalah, bahwa manusia, seberapa aktifpun bergerak harus selalu eling menginjak bumi. Apabila lepas kendali, maka justru akan tak berbunyi sama sekali.

Sebaliknya di sisi atas, tabung angklung harus bersedia dilubangi pada titik “mati” untuk digantung pada palang. Jika lubang ini tidak tepat, maka suarapun akan tenggelam. Maknanya adalah, bahwa manusia harus percaya untuk berkorban dan bergantung pada Tuhan.

Pada lingkup yang lebih luas, sejumlah angklung harus bersatu membentuk unit, untuk dimainkan oleh sekelompok orang. Jumlah angklung yang dipakai harus disesuaikan dengan rantang nada maupun dinamika lagunya. Kemudian angklung pun dibagi-bagi dengan prinsip:

"Pemain yang kecil memegang angklung nada tinggi sementara pemain besar memegang nada rendah. Jika seseorang memegang banyak angklung,  adanya jangan sama. Setiap orang kira-kira akan mendapat giliran bermain sama banyak dengan orang yang lain."

Dalam kenyataan, tindakan ini tidak mudah dilakukan. Ada sistem khusus untuk membagi angklung yang namuanya tonjur. Jika diambil maknanya, dalam kelompok sebaiknyalah ada keadilan dalam membagi beban dan peran. Walau sulit pada awalnya, hal itu akan membawa kebaikan bagi semua.

Kemudian tibalah saatnya permainan dimulai. Para pemain pun secara bergiliran memainkan angklungnya sesuai lantunan lagu, di bawah pimpinan konduktor. Maknanya adalah, setiap orang dalam tim haruslah mempersiapkan diri dengan baik (menghapal lagu), lalu patuh pada pemimpin. 

Ketika tiba giliran nadanya, maka segera mainkan angklung. Ketika nada selesai, tunggu sampai teman berikutnya bermain, lalu segera berhenti. Hanya dengan disiplin diri dan saling pengertian, tugas bersama akan bisa tercapai.

Secara filosofi, permainan angklung mengajarkan kita sebuah pemahaman akan nilai dan sikap budaya masyarakat Jabar yang saling menghormati, saling menghargai dan mampu menjalankan perannya masing-masing sehingga menghasilkan sebuah kekuatan budaya. Permainan angklung mengajarkan pula kerendahan hati dan sikap toleransi untuk menghasilkan sebuah harmoni. 

Ada tersirat nilai bambu dalam kehidupan untuk dapat mewujudkan sikap budaya yang menjadi cir budaya masyarakat di tatar Pasundan yaitu silih asih, silih asuh, silih asah.

Ada ucapan para orang tua dahulu, makna bambu bagi masyarakat Jabar, yaitu “ti iwung nepi ka padung (dari rebung sampai ke nisan).” yang didalamnya terkandung makna tentang kelahiran dan kematian.  ***
(Pam./ dari berbagai sumber)