Ir. Djuanda Kartawidjaja, Tokoh Dibalik Peringatan Hari Nusantara

Ir. Djuanda Kartawidjaja, Tokoh Dibalik Peringatan Hari Nusantara
Lihat Foto
WJtoday, Bandung - Keputusan Presiden RI Nomor 126 tahun 2001 menetapkan bahwa setiap tanggal 13 Desember setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Nusantara.

Peristiwa apa yang terjadi di tanggal 13 Desember?

Tokoh nasional dan negarawan besar NKRI asal tanah Pasundan, Ir. Djuanda Kartawidjaja pernah mendengungkan deklarasi bersejarah pada 13 Desember 1957. Deklarasi tersebut menjadi tonggak kesatuan wilayah tanah dan air Indonesia yang meneguhkan jati diri sebagai negara kepulauan.

Di balik peristiwa bersejarah itu, peran Djuanda yang kala itu menjabat sebagai Perdana Menteri (Kepala Pemerintahan) sangatlah besar dalam meng-orkestrasi gagasan dan ide di tengah maraknya pemberontakan serta kampanye membebaskan Irian Barat.

Pada peringatan Hari Nusantara 2020, Swalamaya Pra Kongres Sunda menggelar webinar bertajuk “Reaktualisasi Pemikiran Kebangsaan dan Kenegaraan PM NKRI dari Pasundan Ir Djuanda Kartawidjaja”, Minggu (13/12).

Hadir sebagai narasumber dalam acara tersebut antara lain, Prof Sri Edi Swasono, Mantan Menlu Hasan Wirayuda, Mantan Kasal Laksamana TNI (Purn) Dr Ade Supandi, Mantan Menteri Kelautan Sarwono Kusumaatmadja, pengamat politik UNAIR Airlangga Pribadi, pakar ekonomi Faisal Basri, pakar sosio politi Dr Fachry Ali, pakar hukum Tata Negara Dr Indra Perwira.

Dalam paparannya, Hasan Wirayuda menyampaikan bahwa gagasan besar Djuanda perlu diteruskan dan direalisasikan dalam kehidupan sekarang. Terutama terkait pengelolaan laut seiring dengan bertambahnya luas laut Indonesia.

“Deklarasi Djuanda telah menguatkan azas-azas kewilayahan kita yang kemudian dituangkan dalam UU No.4 Prp/1960 tentang Perairan. Deklarasi itu juga diperjuangkan dalam Konvensi Hukum Laut Internasional pertama, kedua dan ketiga,” jelas Hasan.

Akhirnya pada Konvensi Hukum Laut Internasional ketiga, konsep Arcipelagic State disahkan di dalam United Nations Convention on the Law of the Sea tahun 1982 (UNCLOS 1982).

“Kita sudah meluaskan hukum laut kita ke dunia, sekarang luas laut kita mencapai 6,1 juta kilo meter persegi. Itulah yang kemudian menjadi cara pandang kita dalam Wawasan Nusantara, yaitu cara pandang kita terhadap ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam,” jelasnya lagi.

Pemikiran Djuanda ini menuurtnya juga sangat relevan dan visi Poros Maritim Dunia yang didengungkan oleh Presiden Joko Widodo tahun 2014. Namun visi tersebut perlahan-lahan hilang di periode kedua pemerintahannya.

Seiring berjalannya waktu, Hasan sangat prihatin dengan komitmen para penyelenggara negara kita saat ini yang terus menjual tanah dan airnya yang akhirnya lebih mementingkan kepentingan negara lain.

“Saya kaget dan prihatin tentunya, kita telah menjual tanah dan air kita. Ada air dan pasirkita yang dijual ke Singapura. Sampai sekarang termasuk menjual benih lobster,” pungkasnya.

Sementara itu mantan Menteri Lingkungan Hidup di era Presiden Soeharto, Sarwono Kusumaatmadja menyatakan jika kita tidak memegang teguh Deklarasi Djuanda maka terus dihantui krisis hingga sekarang.

“Deklarasi ini untuk mengatasi krisis  dan landasan masa depan. Krisis itu terus menghantui kita sampai sekarang, di mana kita belum mampu mengelola laut kita,” ungkap Sarwono.

Melalui deklarasi yang luhur tersebut, sambung dia, Djuanda telah melawan rezim hukum laut internasional yang dianggap tidak bersahabat dengan kondisi Indonesia saat itu.

“Melawan rezim hukum laut internasional, tak ada satu pun butir peluru yang dimuntahkan dalam menghadapi itu. Hanya lewat deklarasi hukum ini kita bisa berdaulat,” pungkas Sarwono.

Sedangkan Kasal periode 2014-2018, Laksamana TNI (Purn) Ade Supandi dalam kesempatan itu mengulas sikap kenegarawanan Djuanda sebagai putra asli Sunda yang gagasannya sangat besar untuk NKRI.

“Beliau putra Sunda yang memegang jabatan di pemerintahan paling lama.  Menjadi menteri hingga akhirnya memimpin negara sebagai Perdana Menteri. Tidak kita pungkiri bahwa Perdana Menteri adalah kepala pemerintahan saat itu,” kata Ade.

Dia pun salut dengan gagasan dan sepak terjang Djuanda yang tidak memiliki background militer tapi memiliki strategi maritim yang baik untuk meneguhkan kedaulatan NKRI.

“Kalau almarhum masih hidup mungkin beliau bicara ‘si laing pada kamana?’ Saya sudah merumuskan, lalu whats the next? Luas wilayah yang luar biasa ini harusnya bisa menjadi ruang hidup yang bisa memberikan kesejahteraan,” bebernya.

Deklarasi Djuanda, Mengusir Belanda Tanpa Peluru
Deklarasi Djuanda yang didengungkan pada 13 Desember 1957 merupakan tonggak kesatuan wilayah tanah dan air Indonesia yang meneguhkan jati diri sebagai negara kepulauan. Peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi deklarasi itu salah satunya ialah adanya konfrontasi dengan Belanda soal Irian Barat.

Pada tahun 1956, diadakan nasionalisasi besar-besaran aset Belanda di Indonesia. Djuanda juga termasuk aktor penting di balik program nasionalisasi tersebut.

Terkait adanya Territoriale Zee en Marietieme Kringen Ordonantie (TZMKO) 1939 yang menyatakan laut teritorial hanya dihitung sejauh 3 mil menyebabkan laut dalam di kepulauan Indonesia menjadi laut bebas. Atas dasar itu, kapal-kapal perang Belanda bebas lalu lalang mengirim logistik untuk menguatkan basis pertahanan di Irian Barat.

“Melawan rezim hukum laut internasional yang tak bersahabat, tak ada satu pun butir peluru yang dimuntahkan dalam menghadapi itu. Hanya lewat deklarasi hukum ini kita bisa berdaulat,” kata mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sarwono Kusumaatmadja.

Praktis dengan adanya deklarasi ini kapal-kapal perang Belanda akhirnya harus berputar untuk menuju Irian Barat. Hingga akhirnya PBB bisa menekan Belanda untuk menyerahkan Irian Barat secara penuh kepada Indonesia.

Kasal periode 2014-2018, Laksamana TNI (Purn) Dr Ade Supandi juga menegaskan dengan adanya Deklarasi Djuanda, Belanda terusir secara hukum.

“Beliau tidak memiliki background militer tapi memiliki strategi maritim yang baik untuk meneguhkan kedaulatan NKRI. Lewat deklarasi ini beliau bisa Belanda dengan hukum,” ujar Ade.

Lulusan AAL tahun 1983 itu lebih lanjut mengutarakan bahwa deklarasi itu juga diiringi dengan penguatan armada TNI AL dan SDM pelayaran niaga.

“Dalam kampanye Irian Barat ini beliau memperkuat Armada AL dan ini sudah diimplementasikan saat beliau menjadi Menhan. Di tahun 1950-an juga banyak berdiri Perguruan Tinggi lalu SDM pelayaran niaga dengan berdirinya AIP (Akademi Ilmu Pelayaran – sekarang STIP),” ucapnya.

“Perluasan laut teritorial 12 mil ini tentu ada konsekuensi logis bahwa kemampuan bangsa untuk mengelola lautnya juga harus disiapkan. Jadi ini paralel dengan penyiapan SDM,” tambah Ade.

Dalam kesempatan itu, Ade juga menjelaskan kiprah Djuanda saat menjadi Sekretaris I Paguyuban Sunda di tahun 1930-an. Dia melihat dari situ gagasan kebangsaannya tumbuh dan berkembang.

“Dalam buku Bu Nina Lubis, saat Pak Djuanda menjadi sekretaris I Paguyuban Sunda pertama dinyatakan bahwa Indonesia harus berdiri di tengah-tengah dengan bangsa lain. Kedua terkait pendidikan dan berkaitan dengan mengembangkan kelompok menengah untuk berkembang bisa mengembangkan ekonomi Indonesia,” ungkapnya.

Masih kata Ade, sosok Djuanda juga merupakan tokoh yang bisa menerima secara kultural perbedaan bangsa Indonesia ini. Dengan kata lain, persatuan dan kesatuan merupakan hal penting dalam mewujudkan cita-cita bangsa.

Terkait bertambahnya luas wilayah hingga Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) pada UNCLOS 1982, Ade menyebut bahwa Djuanda telah memikirkan jauh ke depan tentang kemampuan bangsa ini dalam mengelola lautnya.

“ZEE kita luas tapi kompetensi kita masih kurang. Nah dalam Poros Maritim Dunia ini bisa menjadi acuan untuk meneruskan lagi gagasan-gagasan Pak Djuanda,” pungkasnya.

Foto Ir. Djuanda Kartawidjaja yang diabadikan dipecahan uang Rp50.000,-

Kini Terjadi Penyusutan Nasionalisme
Dewasa ini telah terjadi penyusutan nasionalisme dan patriotisme, integrasi dan kohesi nasional terkoyak. Bhineka Tunggal tidak lagi sepenuhnya dilaksanakan dengan ketaatan. Berbagai gejala disintegrasi nasional terjadi dengan beragam sebab yang dapat dijelaskan dan memerlukan solusi kedaruratan.

“Sementara itu modernisasi seringkali diartikan sebagai westernisasi. Padahal seharusnya modernisasi dipahami sebagai memanfaatkan keindonesiaan,” kata ekonom Sri Edi Swasono saat menjadi pembicara kunci.

Webinar itu membahas tentang Deklarasi Djuanda, yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja. Pada pokoknya, deklarasi itu menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia, menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Inilah yang kemudian disebut sebagai Wawasan Nusantara.

Menurutu Sri Edi Swasono, di kampus-kampus kini berkumandang paham yang serba ilusif dan bisa melemahkan paham nasionalisme. Padahal negara bangsa merupakan dan akan tetap menjadi realistik dan final dari institusi manusia di muka bumi. Kewaspadaan adalah harga kemerdakaan yang setiap nasionalis siap untuk membayarnya. Saat ini kewaspadaan nasional sama sekali diremehkan, paham kebangsaan meluntur.

Produk impor
Dia juga mencemaskan, cukup banyak anak muda di negeri ini lebih menyukai produk impor, tak terkecuali kuliner luar negeri yang dijajakan di Indonesia. Penuh dengan konten impor dan mencederai produk dalam negeri. Harus digalakkan lagi gerakan untuk memberli produk Indonesia, cintai produk dalam negeri.

Dalam kaitan itulah, mantan Ketua Dewan Koperasi Indonesia ini meminta agar pemerintah tidak tergantung pada produk impor, yang rakyat sendiri mampu memproduksinya. Artinya pemerintah  harus menerapkan lagi apa yang dulu disebut sebagai daftar negatif investasi. Bukan berarti Indonesia anti asing, tapi tidak ingin ekonomi Indonesia didominasi asing.

Melihat fenomena tersenut, Sri Edi mengajak untuk memahami kembali apa yang diperjuangkan para pendahulu, termasuk di antaranya tentang kelahiran Deklarasi Djuanda.  Deklarasi itu telah membuka cakrawala besar bagi bangsa Indonesia.

Wawasan Nusantara memberikan landasan untuk memperkokoh makna kebangsaan atau nasionalisme dan patriotisme Indonesia. Nasionalisme adalah paham yang mengutamakan kepentingan nasional tanpa mengabaikan tanggung jawab global. Bingkai dari nasionalisme Indonesia itu adalah Wawasan Nusantara.***