Rentan Jadi Klaster Sekolah, FAGI Jabar Minta Tunda Pembelajaran Tatap Muka Januari 2021

Rentan Jadi Klaster Sekolah, FAGI Jabar Minta Tunda Pembelajaran Tatap Muka Januari 2021
Lihat Foto
WJtoday, Bandung - Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI) meminta Pemerintah dan Pemerintah Daerah menunda Rencana Pembelajaran Tatap Muka (PTM) pada Januari 2021. Ketua FAGI Jawa Barat, Iwan Hermawan mengatakan pihaknya memeliki beberapa alasan mengapa proses belajar tatap muka harus ditunda.

Pertama, menurut Iwan, Pandemi Covid 19 masih tinggi  sehingga bisa terjadi penularan di antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru dan guru dengan guru.

"Ini bisa menimbulkan klaster sekolah yang dibawa dari klaster keluarga. para peserta didik yang berusia remaja dan anak-anak dianggap rentan tertular Covid-19 apabila PTM digelar," ujar Iwan dalam siaran persnya, Minggu (20/12).

Iwan mengatakan, bisa terjadi resiko penularannya saat ruang belajar diramaikan peserta didik. Padahal, kesehatan peserta didik lebih penting dibanding urgensi menjalani kegiatan belajar mengajar di sekolah. 

Alasan kedua, kata dia, hampir setengah  dari guru-guru berusia 50 tahun keatas sangat rentan terhadap penularan Covid 19. Apalagi ada yang sudah memiliki penyakit bawaan, namun karena rasa tanggung jawab dan kepatuhan terhadap pimpinan maka guru-guru tersebut akan memaksakan hadir ke sekolah walau Covid 19 mengancam jiwanya. 

"Guru ingin menyelesaikan tugas mengajarnya sampai pensiun dan menikmati masa pensiunnya dengan bahagia," katanya. 

Ketiga, kata dia, dalam pelaksanaanya Sekolah tidak dapat melaksanakan PTM seluruhnya, siswa bergantian ada yang PTM ada yang PJJ (Pendidikan Jarak Jauh) dan akan lebih banyak waktu PJJ nya dari pada PTM. 

Hal ini, kata dia, akan lebih merepotkan siswa dan guru. Karena, guru akan lebih repot harus menyiapkan media pembelajaran PTM dan PJJ apalagi ada beban dalam satu kelas  dibagi 2 sehingga harus mengajar 2 kali dalam satu kelas dan sehari-hari. 

Menurutnya, berdasarkan hasil penelitian Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia  yang melibatkan sekitar 15 ribu siswa di Indonesia ini menemukan, kondisi psikologis siswa yang mengikuti PJJ justru lebih baik dibandingkan mereka yang mengikuti pembelajaran secara tatap muka maupun campuran antara PJJ dan PTM. 

"PJJ juga ditemukan tidak menimbulkan stres yang lebih tinggi daripada metode pembelajaran lainnya," katanya.

Alasan keempat, kata dia, kegagalan PJJ selama ini karena sebagian besar guru dan orang tua kurang memahami Regulasi PJJ yang telah di keluarkan oleh Kemendikbud, berdasarkan Surat Edaran Sesjen kemendikbud No 15 tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19. 

Dalam regulasi tersebut, kegiatan belajar dan mengajar disederhanakan jadi hanya esensinya saja yang diberikan siswa. Termasuk evaluasi pembelajarannya, proses belajaran tidak hanya daring guru boleh memilih pake daring atau luring seperti dengan mengunakan Whatsapp atau Modul pembelaran. 

Dalam regulasi tersebut, kata dia, termuat pedoman PJJ bagi manajemen sekolah,guru,siswa dan orang tua. Namun sayangnya, hasil pengamatan FAGI hanya sebagian kecil guru dan orang tua yang sudah membaca regulasi tersebut. Sehingga pelaksanaan penilaian hasil belajar siswa, Penilaian kinerja guru dan penilian kinerja kepala  sekolah masih menggunakan instrumen masa normal.

"Akibatnya walau saat pandemi guru memaksakan melaksanakan KBM, dan Evaluasi Pembelajaran seperti masa normal  karena tuntutan administratif atasannya," katanya.

Alasan kelima, kata dia, pengalaman pemerintah dan pemerintah daerah sebetulnya sudah lama dilakukan, sejak  dulu PJJ sudah dilakukan dalam pelaksanaan SD,SMP dan SMA terbuka , termasuk Universitas terbuka modul sudah disiapkan sejak dulu. Namun, kenapa tidak mengadopsi PJJ sekolah dan Universitas terbuka tersebut.

Oleh karena itu, kata dia, agar siswa dapat memperoleh pengalaman belajar yang bermakna selama pandemi, sependapat dengan pernyataan Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia.  

FAGI pun, menurut Iwan, memberikan beberapa saran yang dapat dilakukan Pemerintah dan Pemerintah daerah. Yakni, pertama meningkatkan kapasitas dan keterampilan guru dalam hal pengelolaan kelas dan penyampaian materi belajar yang sesuai dengan konsep PJJ. Guru diharapkan lebih percaya diri dalam memberikan materi saat PJJ.

Saran kedua, kata dia, guru juga disarankan untuk dapat meningkatkan kemampuannya dalam memberikan dukungan psikososial pada siswa. Pemberian keterampilan dukungan psikologis awal (DPA) adalah salah satu alternatif kegiatan yang dapat diberikan pada guru.

Saran ketiga, menurut Iwan, memberikan bantuan pada orang tua atau pendamping belajar selama PJJ agar lebih mudah memahami proses belajar yang sedang dijalani anak. Salah satunya dengan menyiapkan modul-modul belajar untuk pengayaan bagi pendamping belajar anak atau orang tua.

“Kehilangan Ilmu Pengetahuan  sementara bisa di ganti di kemudian hari, tapi kehilangan nyawa anak dan guru tidak akan bisa terhgantikan," katanya. ***