Berbuat Baiklah ke Semua Orang, Sekecil Apa Pun!

Berbuat Baiklah ke Semua Orang, Sekecil Apa Pun!
Lihat Foto
WJtoday, Bandung - Kita sering mendengar ungkapan “sedikit-sedikit, nanti jadi bukit”. Hal-hal besar tidak selalu lahir dari pekerjaan besar. Hal besar juga bisa lahir dari hal-hal kecil atau terlihat sepele, tapi lambat-laun menjadi besar. Kita sering hanya melihat segala sesuatu dari “hasil”, tapi kita melupakan bahwa yang besar bisa saja lahir dari “proses” penumpukan yang kecil-kecil atau dianggap sepele atau dianggap tetik bengik. Tumpukan pasir yang dulunya hanya butir-butir kecil bisa menjadi gunung pasir, atau bahkan padang pasir luas.

Hal itu juga berlaku dalam kehidupan kita. Kita sering menyepelekan hal-hal kecil, padahal hal yang kecil itu bernilai, bahkan jika berakumulasi, hal-hal itu menjadi besar. Sadarkah kita bahwa segelas air putih akan tampak tidak berarti jika disandingkan dengan minuman mewah lain, tapi air putih bisa jadi sangat berarti bagi seseorang yang sangat kehausan di tengah terik matahari.

Perbuatan baik yang kecil sering kita anggap tidak bernilai. Membuang duri dari tengah jalan menjadi tampak sepele, tapi jika tidak disingkirkan, akan ada orang yang terluka. Jika perbuatan baik yang tampak sepele sering dilakukan, ia akan menjadi tumpukan kebaikan yang besar. Sebaliknya, misalnya, mengunjing orang mungkin bagi kebanyakan kita dianggap sepele, tapi perbuatan kecil itu akan berdampak negatif secara luas. Bayangkan saja, betapa banyak kepanikan sosial, isu-isu, desas-desus, stigma, pembentukan opini, bahkan yang meski faktual, tapi termasuk penggunjingan, akan berdampak besar, dan sistemik di masyarakat. Tak hanya perbuatan baik yang kecil, melainkan perbuatan jahat yang juga jika rutin dilakukan, akan berdampak besar. Tidak ada dosa besar, melainkan dosa-dosa kecil yang selalu dilakukan, demikian dikatakan dalam ajaran Islam.

Dalam al-Qur'an, disebutkan, Allah Ta’ala berfirman,

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8)

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.“
(Qs. al-Zalzalah: 7-8).  

Dua ayat terakhir persisnya adalah “penutup/ lanjutan yang berisi kesimpulan” (disebut dengan tafri’ al-fadzlakah), untuk memberi motivasi atau dorongan agar orang berbuat kebaikan (targhib) dan ancaman agar orang tidak berbuat kejahatan (tarhib). Penutup yang berisi kesimpulan merupakan penjelasan ayat sebelumnya tentang mengapa manusia dikumpulkan dan mengapa mereka diperlihatkan hasil perbuatan mereka di dunia. Itu–sekali lagi–karena prinsip yang berlaku adalah bahwa siapa yang melakukan perbuatan, baik atau jahat, akan diberi balasan, sekecil apa pun perbuatan itu.

Dua ayat di atas–karena merupakan prinsip–disebut oleh Nabi Muhammad sebagai “ungkapan ringkas, padat, dan satu-satunya” (al-jami’ah al-fadzdzah). ‘Abdullah ibn Mas’ud menyebut bahwa ayat ini adalah ayat paling tegas/ jelas keberlakuannya (ahkam ayah) dalam al-Qur'an. 

Suatu ketika Sha’sha’ah bin Najiyah, kakek al-Farazdaq, datang kepada Nabi Muhammad meminta untuk dibacakan ayat al-Qur'an. Kemudian Nabi memilih untuk membacakan kedua ayat ini. Sha’sha’ah berkomentar, “Cukuplah bagiku ayat ini. Segala nasehat telah berakhir. Aku tidak peduli tidak mendengarkan ayat lain dari al-Qur'an.” Komentar ini tentu harus dipahami dalam pengertian begitu penting dan padatnya kandungan dalam ayat ini; tidak berarti baginya bahwa ayat-ayat lain tidak penting. Tentu saja, ada beberapa lain serupa, seperti 

اِنۡ اَحۡسَنۡتُمۡ اَحۡسَنۡتُمۡ لِاَنۡفُسِكُمۡ‌ۖوَاِنۡ اَسَاۡتُمۡ فَلَهَا ‌ؕ فَاِذَا جَآءَ وَعۡدُ الۡاٰخِرَةِ لِيَسُـوْۤءُو ا وُجُوۡهَكُمۡ وَلِيَدۡخُلُوا الۡمَسۡجِدَ كَمَا دَخَلُوۡهُ اَوَّلَ مَرَّةٍ وَّلِيُتَبِّرُوۡا مَا عَلَوۡا تَتۡبِيۡرًا‏

“jika kalian berbuat baik, maka berarti kalian berbuat baik untuk diri kalian sendiri, dan jika kalian berbuat jahat, maka untuk diri kalian sendiri (juga)” (Qs. al-Isra': 7).

Kaedah ini dikategorikan oleh ‘Umar bin ‘Abdullah al-Muqbil sebagai salah satu “kaedah Qur'aniyyah” (ke-38) dalam karyanya, Qawa’id Qur'aniyyah. Menurutnya, kaedah yang terkandung dalam ayat ini memuat prinsip keadilan dan pembalasan. Atas dasar ini, istri dan sahabat Nabi Muhammad menerapkan kandungan ayat ini dalam praktik kehidupan. Misalnya, ‘Aisyah r. anha tidak segan dan tidak malu untuk bersedekah dan juga menganjurkan orang untuk bersedekah meskipun hanya dengan sebiji kurma. Begitu juga hal serupa diterapkan oleh ‘Umar bin al-Khaththab.

Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad bersabda, “Janganlah sama sekali kamu menganggap enteng kebaikan seberapa pun jua, walaupun dalam bentuk bertemunya kamu dengan saudaramu dengan wajah yang manis”.

Dalam hal level kebaikan yang dilakukan, al-Syinqithi dalam Adhwa' al-Bayan mengklasifikasi level perbuatan baik menjadi tiga level. 

Pertama, level terendah (al-hadd al-adna), yaitu berbuat baik atau melaksanakan kewajiban hanya sekadar melepaskan kewajiban, seperti membayar zakat. Termasuk dalam pengertian ini adalah bersedekah (sunnat), meski dengan sebiji kurma, sebagaimana dianjurkan dalam Qs. al-Zalzalah: 7-8 ini. 

Kedua, level tengah atau sedang (al-hadd al-awsath), yaitu berbuat baik atau melaksanakan kewajiban dengan kadar secukupnya (kadar yang bisa sekadar menggugurkan kewajiban) dan berbagi dengan kepentingan diri sendiri, seperti tergambar dari anjuran al-Qur'an agar bersikap moderasi (tidak berlebihan), termasuk dalam bersedekah. 

Ketiga, level tinggi (al-hadd al-aqsha), yaitu berbuat baik atau melaksanakan kewajiban untuk orang lain, walaupun dirinya sendiri memerlukannya, seperti yang dilakukan oleh kalangan Anshar untuk kepentingan kalangan Muhâjirîn.

Jika suatu perbuatan baik tampak dari kuantitas tidak banyak, namun sudah dilakukan semaksimal kemapuan dan dengan totalitas ketaatan kepada perintahnya, maka perbuatan sekecil itu pun tetap bermakna. 

Seorang yang miskin mungkin harus merogoh saku lebih dalam jika ia bersedekah dengan seratus ribu rupiah, karena pendapatannya tidak banyak. Jika ia bersedekah dengan lima puluh ribu, jumlah itu barangkali masih dianggapnya besar, dan sudah berlaku adil antara hak sosial dan hak pribadinya (kepentingan diri sedniri, anak, dan istrinya). 

Berbeda dengan hal itu, seorang milyarder mungkin tidak akan susah jika ia berbsedekah dengan seratus ribu, karena hartanya melimpah dan pendapatannya banyak. 

Oleh karena itu, kebernilaian suatu perbuatan  baik tidak bisa semata hanya dilihat dari kuantitas, melainkan dari kualitas berupa totalitas pengorbanan yang dilakukan. Begitu juga, berbuat baik kepada orang atau makhluk lain yang memerlukan akan lebih bernilai daripada kepada orang yang kurang atau sama sekali tidak memerlukan bantuan. ***