Ahli Digital Bareskrim Ungkap Chat di Grup WhatsApp Deklarator KAMI

Ahli Digital Bareskrim Ungkap Chat di Grup WhatsApp Deklarator KAMI
Lihat Foto
WJtoday, Jakarta - Ahli digital forensic Bareskrim Polri, Herman Fransiskus, dihadirkan jaksa dalam sidang kasus penghasutan demo berujung ricuh di Jakarta dengan terdakwa Syahganda Nainggolan. Herman mengungkapkan isi chat Din Syamsuddin hingga Abdullah Hehamahua dalam grup WhatsApp (WA) 'Deklarator KAMI'.

Awalnya, jaksa Paris Manalu meminta Herman mencarikan chat dari 3 nomor handphone yang tergabung dalam grup WA 'Deklarator KAMI'. Dari hasil pencarian nomor yang disebutkan jaksa, ditemukan 3 nama yang muncul, yakni' Hehamahua KAMI', 'Din Syamsudin', dan 'Nina Bahri ketemu di Bawaslu'. Diketahui sebelumnya, barang bukti digital berupa chat ini diambil dari handphone milik Syahganda yang bertindak sebagai admin grup.

Kembali ke hasil pencarian, saksi ahli menemukan beberapa chat dari nomor Hehamahua. Salah satu isi chat itu, sebut Herman, memuat saran agar KAMI membentuk tim kecil guna menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Jadi saya meminta supaya ahli mencari daripada nomor HP 085882359*** untuk ditampilkan dan saudara ahli menjelaskan apa sih isi," ujar jaksa Paris dalam persidangan di Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, Kamis (18/2/2021).

"Kalau misalkan saya search dari nomor tersebut, ada di (BAP) 382, nomor tersebut mengirimkan chat di dalam WhatsApp tersebut dengan kata-kata (sebagai berikut)," balas Herman.

Herman kemudian membacakan isi chat Hehamahua berisi saran pembentukan tim kecil oleh Presidium KAMI. Salah satu pesannya adalah rencana meminta Jokowi mundur apabila terjadi kericuhan demo seperti pada 8 Oktober 2020 di Jakarta.

"Saran: Kalau besok terjadi kondisi seperti tanggal 8 Oktober atau lebih parah, maka Presidium membentuk Tim Kecil (sekitar 7 orang) untuk menemui Presiden guna meminta beliau mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan ke Wakil Presiden. Wakil Presiden bertugas untuk berkoordinasi dengan MPR dalam menyiapkan sidang umum istimewa MPR untuk antara lain menetapkan kembali ke UUD 45 asli," ucap Herman saat membacakan chat Hehamahua di BAP.

"Untuk maksud tsb, perlu ada pembagian tugas di antara Presidium, Komite Khusus dan Komite Eksekutif dan melobi beberapa pihak mengenai hal tsb. Misalnya, Pak Gatot melobi Pak Moeldoko, Pak Din melobi KH Ma'ruf Amin dan Pak Rachmat melobi Pak Mahfud MD. Saya insya Allah akan melobi Ketua MPR. Pak Bachtiar bisa melobi Menko Ekonomi. Demikian dan terima kasih. Itu pada tanggal 12-10-2020 pukul 05.23.42 PM," lanjutnya.

Herman kemudian membacakan lagi dua chat lain dari Hehamahua di grup itu. Chat tersebut berisi soal gerakan mahasiswa dan rekrutmen anggota KAMI yang asal comot.

"Maaf, saya keliru. Cuma, setahu saya, gerakan mahasiswa sejak 65, 74, 77, dan 98 semuanya adalah gerakan moral dan berhasil melengserkan Soekarno dan Soeharto," ujar Herman saat membacakan chat kedua.

"Maaf, memang kurang taktis. Cuma, saya tidak pernah menjadi orang munafik dalam berjuang sejak mahasiswa. Satu pelajaran yang saya petik di grup ini, ternyata rekrutmen anggota pendukung KAMI dan peserta grup WA ini, tidak secure alias asal comot," lanjutnya membacakan chat ketiga dari Hehamahua.

Herman tidak menjelaskan soal konteks chat tersebut. Dia hanya diminta jaksa menjelaskan isi chat dari hasil pencarian nomor yang ternyata memunculkan nomor milik 'Hehamahua KAMI'.

Selain itu, jaksa meminta saksi ahli menjelaskan isi chat dari nomor 'Nina Bahri ketemu di Bawaslu' dan Din Syamsudin. Herman membacakan chat Din di grup 'Deklarator KAMI' soal permintaan agar pendukung KAMI untuk menahan diri melihat situasi saat itu.

"Dear all, sehubungan dengan dinamika dan eskalasi situasi dan sdh mulai ada gerakan mendeskreditkan KAMI. Diminta kpd semua utk dapat menahan diri," ucap Herman membacakan bagian chat Din.

Dalam sidang ini, terdakwa Syahganda Nainggolan hadir secara virtual. Selaku hakim ketua adalah Ramon Wahyudi, sementara penasihat hukum dipimpin Abdullah Alkatiri. Tim jaksa dihadiri Putri Dwi Astrini, Syahnan Tanjung, Paris Manalu, dan Maylany Wuwung.

Dalam perkara ini, Syahganda didakwa menyebarkan berita bohong terkait kasus penghasutan demo menolak omnibus law yang berujung ricuh di Jakarta. Syahganda didakwa melanggar Pasal 14 ayat 1 Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan atau Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dalam pasal ini, Syahganda terancam pidana penjara 10 tahun.***