Renungan Jumat

Bolehkah Melaknat Pelaku Maksiat? Ini Penjelasannya

Bolehkah Melaknat Pelaku Maksiat? Ini Penjelasannya
Lihat Foto

WJtoday, Jakarta - Setiap orang yang terkena laknat Allah SWT, maka dia berarti jauh dari rahmat Allah. Perbuatan yang dilaknat masuk dalam kategori dosa besar. 

Lantas bolehkah kita bermudah-mudah dalam melaknat seseorang yang berbuat dosa?

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya sebagai berikut:

عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ، أَنَّ رَجُلًا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اسْمُهُ عَبْدَ اللَّهِ، وَكَانَ يُلَقَّبُ حِمَارًا، وَكَانَ يُضْحِكُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ جَلَدَهُ فِي الشَّرَابِ، فَأُتِيَ بِهِ يَوْمًا فَأَمَرَ بِهِ فَجُلِدَ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ القَوْمِ: اللَّهُمَّ العَنْهُ، مَا أَكْثَرَ مَا يُؤْتَى بِهِ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ تَلْعَنُوهُ، فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ»

Dari Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu, bahwa ada seorang di zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang bernama Abdullah, namun digelari dengan ‘himar’ (keledai). Ia sering membuat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tertawa.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah menderanya karena meminum arak. Suatu ketika ia ditangkap (karena mengkonsumsi arak), maka Beliau memerintahkan untuk didera, lalu ada seorang yang hadir berkata, “Ya Allah, laknatlah dia. Sering sekali ia ditangkap.”
Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kamu melaknatnya. Demi Allah, setahuku, dia cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Jumhur (mayoritas) ulama berdalih dengan hadits ini tentang haramnya melaknat pelaku maksiat secara khusus meskipun ia melakukan dosa besar seperti mengkonsumsi minuman keras dan sebagainya.

Imam Ahmad menyatakan makruh hal tersebut sebagaimana disebutkan Ibnu Taimiyah dalam Minhajus Sunnah, namun Ibnul Jauzi berpendapat boleh. Demikian pula Imam Al Balqini dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya. Mereka berdalih dengan laknat para malaikat terhadap wanita yang menolak ajakan suami ke ranjangnya.

Dalam kitab Nihayatul Muhtaj karya Syamsuddin Ar Ramli disebutkan bolehnya melaknat jika tertuju kepada orang kafir dan fasik. Orang fasik di sini adalah pelaku dosa besar dan orang yang terus menerus melakukan dosa kecil, namun menurut jumhur sebaiknya meninggalkan hal itu.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah melaknat orang-orang kafir dengan menyebutkan nama-nama mereka dalam doa qunut, lalu Allah melarangnya dan memerintahkan untuk bersabar dan mendoakan kebaikan.

Intinya, kita tidak boleh bermudah-mudahan dalam melaknat, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ

“Orang mukmin  bukanlah orang yang suka mencela, melaknat, berkata keji, dan berkata kotor.”
(HR. Bukhari dalam Al Adabul Mufrad dan dishahihkan oleh Al Albani)

مَنْ لَعَنَ مُؤْمِنًا فَهُوَ كَقَتْلِهِ

“Barang siapa yang melaknat orang mukmin, maka dia seperti membunuhnya.”
(Hr. Bukhari)

Melaknat secara khusus (menyebut orangnya) hendaknya tidak dilakukan, dan tidak mengapa melaknat secara umum terhadap pelaku dosa besar karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan kebalikannya, melaknat pemakan riba dan yang memberi riba serta pencatat dan saksinya, melaknat wanita pentato dan pencabut bulu alis, dan semisalnya. 

Hendaknya kita berhati-hati dalam masalah laknat. Bahkan kepada orang kafir sekalipun. Orang kafir yang masih hidup tidak boleh ditujukan laknat kepadanya secara personal. Hukumnya haram melaknat orang kafir secara personal yang masih hidup. Karena boleh jadi Allah merahmati dia, sehingga dia mendapatkan hidayah untuk masuk Islam.

Dalilnya adalah ketika Nabi shallallahu’alaihiwasallam mendoakan laknat untuk Abu Jahl, begitu juga orang-orang musyrik Quraisy lainnya, Allah ta’ala menegur beliau melalui firmanNya:

لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ

“Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim” (QS. Ali imran:128).

Adapun untuk orang kafir yang sudah meninggal. Maka boleh bagi Anda untuk mendoakan laknat untuknya. Karena orang yang mati dalam keadaan kafir, maka dia sudah pasti mendapatkan laknat Allah ‘azza wa jalla.

Meskipun boleh, bagi seorang mukmin meninggalkannya lebih utama. Karena Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ

“Seorang mukmin bukanlah orang yang banyak mencela, bukan orang yang banyak melaknat, bukan pula orang yang keji (buruk akhlaqnya), dan bukan orang yang jorok omongannya” (HR. Tirmidzi, no. 1977; Ahmad, no. 3839 dan lain-lain)

Dan tanpa Anda laknat sekalipun, mereka telah divonis oleh Allah sebagai orang-orang terlaknat. Dan cukuplah ini bagi kita,

إِنَّ اللَّهَ لَعَنَ الْكَافِرِينَ وَأَعَدَّ لَهُمْ سَعِيرًا

Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka).

خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۖ لَا يَجِدُونَ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا

mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; mereka tidak memperoleh seorang pelindungpun dan tidak (pula) seorang penolong (QS. Al-Ahzab: 64-65).

Bila melaknat secara personal orang kafir saja terlarang, maka melaknat seorang muslim tentu lebih terlarang lagi. Sungguh mengherankan bila seorang muslim begitu mudah mengucapan laknat kepada saudaranya. Padahal perkara laknat ini adalah perkara yang besar.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Siapa yang melaknat seorang Mukmin maka ia seperti membunuhnya ” (HR. Bukhari dalam Shahihnya 10/464).

Beliau juga bersabda: “Orang yang banyak melaknat tidak akan diberi syafaat dan syahadatnya tidak akan diterima pada Hari Kiamat” (HR. Muslim dalam Shahihnya no. 2598 dari Abi Darda radhiallahu ‘anhu)

Jadilah insan muslim yang santun dan lembut tutur katanya. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah nabi yang penuh dengan kasih sayang. Beliau pernah bersabda,

إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً

“Sesunguhnya aku tidak diutus sebagai tukang melaknat, sesungguhnya aku diutus hanya sebagai rahmat.”

Orang yang Dilaknat Allah SWT dan Alasannya

Dalam Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Madani, Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan,

كُلُّ ذَنْبٍ كَانَتْ عُقُوْبَتُهُ اللَّعْنَةَ فَهُوَ مِنْ كَبَائِرِ الذُّنُوْبِ 

“Setiap dosa yang hukumannya adalah mendapatkan laknat, dosa tersebut tergolong dalam dosa besar.”

Dalam kitab Nashaihul ‘Ibad, Syekh Nawawi Al Bantani telah mencontohkan beberapa golongan terlaknat. Dalam karyanya tersebut, ulama asal Banten ini setidaknya mengungkapkan enam orang terlaknat, yang dikutip dari hadits yang diriwayatkan At Tirmidzi dan Al Hakim dari Asiyah RA, dan diriwayatkan pula oleh Al Hakim dari Ali bin Abi Thalib.

سِتَّةٌ لَعنتُهم ولَعَنَهم اللهُ -وكلُّ نبيٍّ مُجابٌ-: الزائدُ في كِتابِ اللهِ، والمُكذِّبُ بقَدَرِ اللهِ، والمُتسلِّطُ بالجبروتِ ليُعِزَّ مَن أذلَّ اللهُ، ويُذِلَّ مَن أعَزَّ اللهُ، والمُستحِلُّ لحُرُمِ اللهِ، والمُستحِلُّ من عِتْرَتي ما حرَّم اللهُ، والتاركُ لسُنَّتي

Dalam hadits tersebut, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Aku, Allah dan para nabi melaknat enam golongan manusia.”

Pertama, yaitu orang yang menambah (ayat) dalam Kitabullah. Maksudnya, menurut Syekh Nawawi, orang tersebut menambah sesuatu yang bukan bagian dari kitab atau menakwilkan/menafsirkan ayat dalam Kitabullah dengan pendapat yang tidak sesuai atau tidak pantas.

Kedua, orang yang mendustakan ketetapan Allah, yakni dengan menggantungkan ketetapan sesuatu pada waktu-waktu tertentu. Menurut Syekh Nawawi, orang tersebut menggantungkan segala kondisi pada kondisi-kondisi sesuatu dengan waktu tertentu dan sebab tertentu pula, lalu menganggapnya sebagai sebuah ketetapan dari Allah.

Ketiga, penguasa sombong yang semena-mena, yang dengan kekuasaannya dia memuliakan orang yang dihinakan oleh Allah. Menurut Syekh Nawawi, penguasa tersebut berbuat kebatilan dan menghinakan orang-orang yang dimuliakan Allah Swt.

Keempat, orang yang menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah. Artinya, kata Syekh Nawawi, orang tersebut mengerjakan sesuatu yang dilarang di Tanah Haram.

Kelima, orang dari keluarga dan keturunan Nabi yang menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, seperti maksiat dan kezaliman.

Keenam, orang yang meninggalkan sunah Rasul. Menurut Syekh Nawawi, orang tersebut menolak atau meningkari sunnah secara halus. Dalam di akhir hadits tersebut, Rasulullah Saw menegaskan,

فإن الله تعالى لا ينظر إليهم يوم القيامة نظر الرحمة 

“Sesungguhnya Allah tidak akan melihat mereka pada Hari Kiamat dengan pandangan kasih sayang.” ***