Dalil dan Hadits Rabu Wekasan Menurut Islam

Dalil dan Hadits Rabu Wekasan Menurut Islam
Lihat Foto

WJtoday, Bandung - Di sebagian wilayah Jawa, terdapat tradisi Rebo Wekasan atau Rabu Wekasan yang dilaksanakan pada bulan Safar menurut kalender Kamariah.

Rebo wekasan atau Rabu pungkasan adalah hari Rabu terakhir di bulan Safar. Pada hari tersebut dipercaya banyak orang sebagai hari sial, hari turunnya penyakit dan bencana.

Karena itu, banyak masyarakat muslim terutama di Indonesia melakukan amalan tertentu untuk menolak sial tersebut.

Ada yang melakukan ritual sholat tolak bala, membaca Yasin dan doa tolak bala berjamaah, ada pula yang mengisi Rebo wekasan dengan sedekah.

Amalan dan ritual Rabu wekasan berbeda-beda setiap daerah. Tetapi pada intinya tujuannya sama; memohon perlindungan kepada Allah dari segala bencana.

Lantas bagaimana hukumnya melakukan ritual Rabu wekasan dalam Islam? Adakah penjelasan ulama mengenai hukum mengamalkan amalan Rabu wekasan?

Asal usul Dan Sejarah Rabu Wekasan

Kepercayaan bahwa Rabu wekasan merupakan hari turunnya bala bencana sebenarnya sudah ada sebelum Islam, tepatnya di masa Jahiliah.

Dulu, orang jahiliah mempercayai bahwa bulan Safar adalah bulan sial, bulan terjadinya banyak bencana dan penyakit. Terutama di hari Rabu terakhir bulan Safar.

Mereka tidak keluar rumah selama bulan Safar. Mereka juga tidak melaksanakan pernikahan pada bulan Safar.

Mereka orang jahiliah meyakini jika keluar rumah atau melangsungkan akad nikah di bulan Safar maka akan berakhir nahas.

Kepercayaan itu rupanya berlangsung turun temurun hingga sekarang.

Lalu ketika Islam datang, Rasulullah menghapus mitos dan kepercayaan orang jahiliah tersebut.

Rasulullah mengganti nama bulan Safar dengan nama Shafarul Khair yang artinya bulan yang baik.

Bahkan Rasulullah sendiri pernah menikah di bulan Safar dan menikahkan putrinya, Sayyidah Fatimah dengan Sayyidina Ali di bulan Safar.

Hukum Dan Hadits Rebo Wekasan

Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam telah menyampaikan dakwahnya mengenai Rebo Wekasan pada Safar. Hadist tentang Rebo Pungkasan terdapat dalam sejumlah riwayat, termasuk dari Tirmidzi dan Bukhari.

Berkaitan dengan mitos bahwa bulan Safar adalah bulan sial dan bulan diturunkannya bala bencana, Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya sebagai berikut ini:

أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم.

Artinya: "Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya sial dari bulan Shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati, rohnya menjadi burung yang terbang. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Tak hanya itu, penjelasan tentang larangan mengerjakan amalan Rebo Wekasan juga disebutkan dalam hadits Rebo Wekasan yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim berikut ini:

لاَ عَدْوَى ، وَلاَ طِيَرَةَ ، وَلاَ هَامَةَ ، وَلاَ صَفَرَ

Artinya: “Tidak dibenarkan menganggap penyakit menular dengan sendirinya (tanpa ketentuan Allah), tidak dibenarkan beranggapan sial, tidak dibenarkan pula beranggapan nasib malang karena tempat, juga tidak dibenarkan beranggapan sial di bulan Safar” (HR. Bukhari no. 5757 dan Muslim no. 2220)

Keterangan dari Nabi Muhammad tersebut menjadi petunjuk jelas bagi setiap muslim untuk tidak mempercayai kesialan sebagai sebuah takdir. Tidak ada pula penentuan hari khusus di Safar yang bisa membuat banyak orang mengalami kesialan.

Rabu Wekasan Menurut Ulama

Islam tidak mengenal hari baik dan buruk. Dalam Islam, semua hari bersifat baik. Kalaupun sedang mengalami musibah, itu adalah bentuk ujian dari Allah. Setiap muslim akan diberikan ujian untuk menguji keimanan, tetapi sudah pasti kadarnya tidak melebihi kemampuan seorang hamba.

Dalam menafsirkan kalimat “walaa shafar” dalam hadits di atas, al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Ibn Rajab al-Hanbali, ulama salafi dan murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata sebagai berikut:

أَنَّ الْمُرَادَ أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوْا يَسْتَشْئِمُوْنَ بِصَفَر وَيَقُوْلُوْنَ: إِنَّهُ شَهْرٌ مَشْئُوْمٌ، فَأَبْطَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ذَلِكَ، وَهَذَا حَكَاهُ أَبُوْ دَاوُودَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ رَاشِدٍ الْمَكْحُوْلِيِّ عَمَّنْ سَمِعَهُ يَقُوْلُ ذَلِكَ، وَلَعَلَّ هَذَا الْقَوْلَ أَشْبَهُ اْلأَقْوَالِ،

Artinya: Maksud hadits di atas, orang-orang jahiliyah meyakini datangnya sial dengan bulan Shafar. Mereka berkata, Shafar adalah bulan sial. Maka Nabi SAW membatalkan hal tersebut. Pendapat ini diceritakan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Rasyid al-Makhuli dari orang yang mendengarnya berpendapat demikian. Barangkali pendapat ini yang paling benar.

وكَثِيْرٌ مِنَ الْجُهَّالِ يَتَشَاءَمُ بِصَفَر، وَ رُبَّمَا يَنْهَى عَنِ السَّفَرِ فِيْهِ، وَ التَّشَاؤُمُ بِصَفَر هُوَ مِنْ جِنْسِ الطِّيَرَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا. (الإمام الحافظ الحجة زين الدين ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص/١٤٨).

Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan Shafar, dan terkadang melarang bepergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial dengan bulan Shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini adanya pertanda buruk) yang dilarang. (Al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 148).

Persepsi kesialan ini merupakan bentuk khurafat atau mitos. H.A Zahri, dalam Pokok-Pokok Akidah yang Benar (2019), menjelaskan bahwa khurafat adalah cerita bohong atau khayalan belaka. Mempercayai khurafat merupakan sikap lemahnya iman kepada Allah.

Dari penjelasan ulama di atas dapat disimpulkan bahwa meyakini bulan Safar, Rebo wekasan atau hari Rabu terakhir di bulan Safar adalah hari sial tidak dibenarkan menurut Islam.

Adakah Amalan Khusus di Rebo Wekasan?

Tujuan Rebo Wekasan adalah menolak bala yang akan datang pada Safar. Tradisi selamatan hingga gunungan yang ditujukan secara khusus untuk memperingati Rebo Wekasan bukanlah ajaran yang berasal dari Islam. Para ulama pun menyerukan penolakannya terhadap keyakinan adanya bulan atau hari sial seperti Rebo Pungkasan.

Rabu Wekasan menurut Islam, dikutip dari artikel NU Online bertajuk "Penjelasan Mengenai Rebo Wekasan", tidak memiliki dasar. Penetapan Rabu terakhir pada Safar sebagai Rebo Wekasan juga tidak tidak ada juntrungan dalil atau hadis yang sahih.

Rebo Wekasan juga tidak dituntunkan oleh syara' sebagai bagian dari ibadah. Syara' adalah nama hukum yang disandarkan pada syariat atau syariah. Oleh karena itu, ibadah yang tidak ada tuntunannya secara otomatis tertolak, sebagaimana hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)

Sementara itu, menurut pandangan sebagian ulama NU, ibadah yang boleh dilakukan karena memiliki landasan syara' yaitu salat hajat lidaf’il bala’ al-makhuf untuk menolak bala yang dikhawatirkan, atau nafilah mutlaqah sebagai salat sunah mutlak.

Namun apabila seseorang melakukan amalan tertentu pada bulan Safar dengan tujuan murni untuk memohon perlindungan kepada Allah dari bencana maka tidak masalah, asalkan tidak mempercayai bahwa malapetaka tersebut terjadi pada hari atau bulan tertentu

Imam al-Hafizh al-Hujjah Zainuddin Ibn Rajab al-Hanbali dalam kitabnya, Lathaif al–Ma’arif lebih menganjurkan menyibukkan diri dengan amal-amal yang dapat menolak bala seperti berdoa, berdzikir, bersedekah, memantapkan tawakal kepada Allah dan beriman kepada keputusan dan ketentuan Allah SWT.

Demikianlah penjelasan lengkap dari ulama tentang tradisi Rebo wekasan atau Rabu pungkasan lengkap dengan dalil haditsnya.***