Demo di Gedung Sate, Aktivis Lingkungan Sebut Program Citarum Harum Gagal

Demo di Gedung Sate, Aktivis Lingkungan Sebut Program Citarum Harum Gagal
Lihat Foto

WJtoday, Bandung  - Sejumlah pegiat lingkungan dari Bandung yang berhimpun dalam Arum, Aliansi Rakyat untuk Citarum menggelar aksi protes di depan Gedung Sate, Kota Bandung, pada Selasa, 24 Mei 2022, yang juga diperingati sebagai Hari Citarum ke-7.  

Program Citarum Harum dianggap masih gagal menangani ragam permasalahan mulai dari banjir, sampah, limbah, kerusakan hutan dan lahan di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, hingga setumpuk masalah lainnya di sungai terpanjang di Jawa Barat.

Program pemerintah yang diteken Presiden Jokowi pada tahun 2018 dan dicanangkan untuk menangani Citarum dinilai tak membuahkan hasil maksimal.

Aktivis mengkritisi  lantaran peran militer yang terlalu dominan, sementara partisipasi masyarakat dan komunitas lokal dirasa nyaris tak ada ruang.

"Program Citarum Harum gagal, (pernyataan) ini akan disertai kajian yang komprehensif. Kami akan melakukan audit sosial," ungkap Wahyudin Iwang, Koordinator aksi Arum dan Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jabar, dalam orasinya

Dalam waktu ke depan lanjut Wahyudin, Arum segera menyusun hasil evaluasi atas program Citarum Harum yang bakal disampaikan langsung kepada Presiden Jokowi. Rencananya, hasil kajian itu akan dibawa dengan tiga perahu yang menyusur Sungai Citarum dari hulu ke hilir.

Arum juga mempertanyakan klaim Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang menyatakan pencermaran Sungai Citarum terlah bergeser dari tercemar berat ke tercemar ringan. Sebab pada kenyataan di lapangan, kondisi air sungai Citarum masih tercemar.

"Di mana beliau mengambil sampelnya? Terus oleh lembaga apa cek lab-nya? Itu harus tersampaikan ke publik," katanya.

Ia mengabarkan, pencemaran itu padahal masih terjadi seperti di Sungai Cikijing, anak sungai yang bermuara ke Citarum. Alirannya masih terbebani dengan limbah mengandung parasetamol. Limbah pabrik, katanya, juga masih didapati di Majalaya, Kabupaten Bandung, serta kawasan industri lainnya seperti di Karawang dan Bekasi.

"Sungai Citarum tidak baik-baik saja," jelasnya.

Pengelolaan sampah Citarum juga masih bermasalah. Selain masih kerap ditemukan gundukan sampah, lebih dari itu menyangkut pengelolaannya yang berbasis teknologi yang tak solutif, justru menimbulkan masalah baru serupa insenerator.

Menurut Wahyudin, mestinya program Citarum Harum bisa lebih mendorong budaya mengurangi dan memilah sampah dari sumbernya. "Salah urus sampah ini masih menjadi problem," katanya.

Sengkarut lain yang tak kalah akut ialah banjir. Lima tahun program itu sudah berjalan, namun sejumlah kawasan masih juga tergenang. Di antaranya, "Majalaya, Dayeuhkolot, Baleendah, Soreang, hingga Sapan," kata Wahyudin.

"Ada sodetan, ada kolam retensi, benar kata warga banjir berkurang, tapi ternyata hanya memindahkan banjir ke lokasi lain. Besarnya anggaran nyatanya tidak mengatasi masalah banjir," ungkapnya lagi.

Program untuk memulihkan sungai terpanjang di Jawa Barat ini digagas langsung oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.

Dalam anggapan Dindin Rosidin, Anggota Perhimpunan Pelestarian Mikro-DAS (Daerah Aliran Sungai) Indonesia, masalah lainnya menyangkut fokus pemulihan. Normalisasi Sungai Citarum itu tak cukup jika hanya fokus mengurus sungai utama, tapi seharusnya lebih serius pula memelihara anak-anak sungai terkecil.

Dalam catatannya, di wilayah hulu Sungai Citarum terdapat sekitar 857 DAS mikro, dari hampir 772 gunung. Maka, pemulihan Sungai Citarum tak bisa lepas sebagai kerja pemulihan ekosistem.

"Nah, gunungnya tidak diurus, kemudian anak sungainya tidak diurus," kata Dindin.

Dindin juga menitikberatkan pada pemulihan lahan kritis. Ia mengatakan, di wilayah hulu Sungai Citarum tercatat ada sekitar 77 ribu hektare lahan kritis. Ia menganggap Pemerintah Provinsi Jawa Barat tidak sungguh-sungguh memulihkannya.

"Contohnya, Ridwan Kamil Sampai saat ini masih mempertahankan Balai Benih Kentang di Pangalengan, artinya gubernur memprovokasi lahan kritis melalui kentang. Kita tahu Suku Inca, suku Maya, di Bolivia itu hancur gara-gara kentang. Rakyat Kabupaten Bandung juga bisa saja hancur gara-gara kentang yang di belakangnya ada perusahaan besar yang tidak bisa disentuh," katanya.

"Sigana (sepertinya) Pemprov Jawa Barat soal urusan lahan kritis mah heureuy (becanda)," Dindin Rosidin melanjutkan.

Dadang Hermawan biasa dipanggil Mang Utun,yang  turut hadir dalam aksi tersebut  secara lantang meminta pihak TNI, khususnya Pangdam III Siliwangi, untuk mengevaluasi kembali peran dan fungsi tentara dalam Program Citarum Harum.

Dalam hematnya, kehadiran militer bisa jadi diperlukan, namun hanya dititikberatkan pada penindakan, dengan kata lain memperkuat penegakan hukum terhadap pelanggar di bidang lingkungan terutama di pabrik-pabrik pencemar.

"Kami meminta kepada pihak TNI untuk lebih melibatkan komunitas dan masyarakat lokal. TNI itu dilatih untuk berperang, dilatih untuk bongkar pasang senjata, lain ngurus runtah, lain ngurus tatangkalan, lain ngored (bukan ngurus sampah, pohon dan memotong rumput)," kata Utun.

"Di Hari Citarum ini saya meminta kepada Pak Pangdam III Siliwangi supaya bisa mengevaluasi gerakan di Citarum Harum," katanya.

Mang Utun juga menyatakan hingga kini sudah Rp 34 triliun  digelontorkan untuk menyelesaikan perosalan Citarum. Namun ia tidak melihat hasilnya signifikan di lapangan.

Sepanjang aksi pada Selasa siang ini, para pegiat lingkungan bergantian menyuarakan sejumlah hal terkait masalah Citarum Harum,mereka sama-sama mendesak agar pemeliharaan Citarum itu dikembalikan saja kepada gerakan rakyat dari hulu ke hilir.

Aksi ini menyerukan empat desakan dalam menyelesaikan masalah Citarum, yaitu mendesak pemerintah untuk menghentikan skema utang dalam penanganan masalah dan pemulihan sungai Citarum.

Berikutnya, transparansi penggunaan anggaran penanganan masalah dan pemulihan Sungai Citarum; mendesak pemerintah melakukan upaya pelibatan masyarakat yang lebih bermakna lewat edukasi, peningkatan kapasitas, dan pemberdayaan. Dan terakhir, mendesak pemerintah mengembalikan mandat ahli waris Citarum kepada rakyat.

Mereka ingin masyarakat lokal sebagai ahli waris Sungai Citarum diberikan keleluasaan untuk lebih berdaya mengurus ruang hidupnya, lebih meresapkan lagi nilai adat istiadat sekitar dalam pola perencanaan, kebijakan, hingga tataran pelaksanaan.***

Aksi protes di depan Gedung Sate, Kota Bandung, pada Selasa, 24 Mei 2022, yang juga diperingati sebagai Hari Citarum ke-7. (Dikdik RA)