Disebut Bunuh 100 Mantan Pejabat Afghanistan, Ini Bantahan dari Taliban

Disebut Bunuh 100 Mantan Pejabat Afghanistan, Ini Bantahan dari Taliban
Lihat Foto

WJtoday, Jakarta - Pemerintah interim Afghanistan, Taliban, membantah laporan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang menuduh milisi itu telah membunuh 100 mantan pejabat dan pasukan keamanan di pemerintahan sebelumnya.

Penolakan tersebut muncul dari Juru Bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Dalam Negeri Afghanistan.

Zahibullah Mujahid menolak secara tegas laporan PBB. Ia menekankan di bawah amnesti umum itu, tak ada yang diizinkan mengambil tindakan keji seperti membunuh.

Sejalan dengan Zahibullah, Kementeriaan Perindustrian versi Taliban juga menyatakan keberatan atas laporan tersebut. Menurut mereka, usai memberikan amnesti umum tak ada yang terbunuh oleh milisi kelompok itu.

"Imarah Islam (Taliban) tak membunuh siapapun usai amnesti umum," demikian pernyataan Kementerian Perindustrian Taliban yang dikutip Tolo News, pada Senin (31/1).

Menurut mereka, beberapa anggota mantan pasukan keamanan mungkin menjadi target karena masalah pribadi. Taliban pun mengklaim tengah menyelidiki kasus tersebut.

PBB, lanjut pernyataan itu, harus membiasakan diri dengan kenyataan di lapangan dan tak bergantung pada informasi yang diberikan kelompok tertentu yang sifatnya bias.

Sebelumnya, PBB merilis laporan yang berisi bahwa Taliban dan sekutunya membunuh lebih dari 100 mantan pejabat, pasukan keamanan Afghanistan, dan orang yang membantu pasukan asing.

Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mengungkapkan pembunuhan itu masih terjadi meski Taliban mengumumkan memberi pengampunan bagi eks pejabat di pemerintahan Hamid Karzai.

"UNAMA (Misi Bantuan PBB di Afghanistan) masih menerima berbagai laporan pembunuhan, penghilangan paksa, dan pelanggaran lain terhadap individu-individu tersebut," kata Guterres dalam laporan yang dilihat AFP pada Minggu (30/1).

PBB mencatat dari 100 laporan yang diterima, lebih dari dua pertiganya merupakan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan penguasa de facto atau sekutunya.

Afghanistan berada dalam krisis politik, ekonomi dan kemanusiaan usai Taliban mengambil alih negara itu pada Agustus 2021 lalu.

Di negara itu banyak warga yang kelaparan, ledakan terjadi di sejumlah titik, dan pembatasan terhadap perempuan juga dilakukan.

Krisis ekonomi yang menjerat membuat Taliban melakukan serangkaian upaya agar bantuan dari komunitas internasional cair. Sementara itu, sejumlah negara masih pikir-pikir lantaran kelompok tersebut tak memenuhi janjinya untuk menjunjung hak asasi manusia usai berhasil menaklukkan Afghanistan.***