DPR RI Didesak Dengar Aspirasi Masyarakat Sebelum Sahkan RKUHP
WJtoday, Jakarta - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendesak DPR RI agar mendengarkan aspirasi masyarakat sebelum mengesahkan draf RKUHP. DPR RI segera mengesahkan draf RKUHP sebelum 15 Desember 2022.
"Ya tidak juga, ini kan pembahasan masih di DPR dan pemerintah. Seharusnya anggota DPR menyerap, menerima masukan secara maksimal, bukan karena kompromi politik, bukan karena kesepakatan antarpartai saja, tapi harus memahami arti pidana," jelas Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur, Minggu (27/11/2022).
"Ketika sebuah pasal disusun dengan tidak memperhatikan keketatan pasal itu bisa sangat karet, bisa multitafsir dan bisa kemudian menjadi jerat pidana bagi semua orang," sambungnya.
Isnur kemudian membandingkan dengan UU ITE yang disahkan pada tahun 2019 lalu. Pada saat itu, sejumlah elemen masyarakat telah melakukan penolakan dan baru sekarang ini pemerintah menyadari bahwa UU ITE sangat karet.
"Ketika 2019 kita lakukan demonstrasi terhadap RKUHP mereka sadar kemudian, mereka berubah, mereka banyak memperbaiki pasal. Tapi banyak pasal yang masih bermasalah," jelaa Isnur.
Dia juga menjelaskan sejumlah pasal yang baru saja disetujui dalam draf RKUHP pada Kamis (24/11) lalu. Di antaranya, menyebarkan paham terhadap umum lalu bertentangan dengan Pancasila dapat dijatuhi hukum pidana 4 tahun.
"Orang melakukan unjuk rasa, demonstrasi tanpa pemberitahuan ini juga bisa kena pidana juga gitu. Ada orang sedang ke hotel, berkumpul dianggap kumpul kebo kena pidana juga," ucapnya.
"Makanya banyak perusahaan hotel yang protes kan. Ini bukan soal kami, ini bukan soal YLBHI dan kawan-kawan tapi ini soal tiap-tiap individu WNI, tiap WNA yang ada di Indonesia bisa kena pidana dan pidananya yang selama ini sesat karena hukumnya peraturannya tidak jelas, tidak bagus," lanjutnya.
Polisi Bubarkan Massa Tolak RKUHP di CFD Kawasan Bundaran HI
Sejumlah masyarakat melakukan aksi penolakan RKUHP yang rencananya akan disahkan DPR RI pada 15 Desember 2022 mendatang.
Aksi yang digelar saat CFD di kawasan Bundaran HI, Jakarta Pusat, ini dibubarkan oleh petugas kepolisian, Minggu (27/11/2022).
Terlihat sejumlah aparat kepolisian membubarkan aksi ini. Pihak kepolisian menarik paksa spanduk-spanduk bertuliskan ragam protes terhadap RKUHP seperti 'RKUHP: Korban Perkosaan Dikriminalisasi, Impunitas Langgeng.' dan 'RKUHP: di Persidangan Hakim = Dewa' yang dibentangkan oleh massa.
Sempat terjadi ketegangan antara massa aksi dan petugas. Salah satu massa bahkan meminta agar tidak dibubarkan.
"Pak, kan bisa dibicarakan dengan baik," ucap salah satu massa.
Setelah itu, sejumlah warga yang berada di kawasan CFD HI juga ikut menyoraki petugas yang menarik paksa spanduk tersebut. Salah satu warga yang berpakaian olahraga juga turut meneriaki petugas.
Kemudian, massa lainnya ada yang meneriaki petugas dengan menyinggung eks Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo. Ketegangan ini berlangsung selama kurang lebih 10 menit. Salah satu petugas kepolisian lalu menyebut CFD hanya untuk olahraga.
"Olahraga ini, olahraga," ucap salah satu polisi.
"Bapak nggak ada hak untuk merampas," jawab salah satu massa aksi lainnya.
Tak hanya itu, salah satu petugas terlihat hendak merampas kamera salah satu massa. Namun demikian, hal itu tidak terjadi dan massa selanjutnya kembali berjalan dengan membawa spanduknya.
"Tolak, tolak RKUHP, tolak RKUHP sekarang juga," teriak massa bebarengan.
Di kawasan Bundaran HI, Jakarta Pusat, Minggu (27/11) mereka membentangkan sejumlah spanduk besar. Spanduk itu bertuliskan sejumlah protes terhadap disahkannya RKUHP.
Di antaranya bertuliskan, 'RKUHP: Korban Perkosaan Dikriminalisasi, Impunitas Langgeng.' Kemudian, ada lagi soal, 'RKUHP: di Persidangan Hakim = Dewa'.
Selain itu, terlihat beberapa dari mereka mengenakan kostum loreng. Mereka juga melakukan penolakan keras terhadap RKUHP.
Salah satu massa aksi, Ravina, menyebut bahwa RKUHP ini bermasalah. Dia menilai RKUHP terkesan disahkan secara buru-buru padahal masih banyak pasal yang bermasalah.
"Jadi kami semua masyarakat mendesak ini dan melakukan penolakan apabila hal itu mengancam kebebasan berekspresi masyarakat," jelas Ravina.
"Juga banyak pasal bermasalah sehingga kita harus berbicara, kita harus membuka ruang diskusi kembali supaya rkuhp digodok dengan benar tidak buru-buru untuk disahkan," sambungnya.
Koalisi Masyarakat Sipil Kecam RKUHP Mau Disahkan: Belum Penuhi HAM
Sebelumnya, Rencana DPR RI akan segera mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sebelum 15 Desember 2022 dikecam oleh Koalisi Masyarakat Sipil. Sebabnya, RKUHP dinilai belum memenuhi hak asasi manusia (HAM).
"Masyarakat sipil mengecam disepakatinya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) oleh pemerintah dan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) di pembahasan tingkat 1 pada 24 November 2022. Kami memandang, proses perumusan RKUHP tidak memenuhi aspek-aspek partisipasi bermakna dan belum memenuhi standar-standar hak asasi manusia (HAM)," kata Koalisi Masyarakat Sipil dalam keterangannya, Jumat (25/11/2022).
Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari Amnesty International Indonesia, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Sindikasi, dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Koalisi ini menilai pemerintah dan DPR RI gagal menjalankan kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak setiap orang untuk terlibat dalam urusan-urusan publik. Koalisi menyinggung pimpinan Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto yang menyatakan bahwa para perwakilan masyarakat sipil yang hadir dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) 14 November 2022 tidak memiliki hak untuk menuntut anggota DPR RI menjelaskan mengapa aspirasi masyarakat tidak diakomodasi.
"Pengesahan RKUHP yang tergesa-gesa merupakan salah satu indikasi kegagalan pemerintah dan DPR RI menegakkan hak masyarakat untuk terlibat dalam urusan-urusan publik. Pasalnya, di tengah kritik keras dari berbagai kelompok masyarakat atas berbagai isu di RKUHP, pemerintah dan DPR RI tetap mengesahkan peraturan ini, tanpa mengakomodasi masukan-masukan dari masyarakat sipil secara memadai," ujarnya.
Selain itu, pemerintah dan DPR dinilai tutup mata akan korban dan peristiwa pembungkaman kebebasan berekspresi yang dalam beberapa tahun belakangan terjadi, termasuk di dalamnya terhadap jurnalis, akademisi, pembela hak lingkungan, masyarakat adat, dan masyarakat secara luas.
Sebagai negara pihak Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), pemerintah dan DPR RI dinilai wajib menegakkan hak berpartisipasi dalam urusan-urusan publik sesuai dengan Pasal 25 ICCPR, Komentar Umum 25 Tahun 1996, dan Panduan PBB untuk Negara-Negara tentang Implementasi yang Efektif atas Hak atas Keterlibatan dalam Urusan-Urusan Publik.
"Pejabat negara, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif, wajib memberikan informasi tentang proses pengambilan keputusan, memampukan masyarakat untuk terlibat secara aktif sesuai dengan prinsip-prinsip keterbukaan yang maksimal, seperti dengan memberikan, meninjau, dan mengutarakan pendapat tentang rancangan dan pemutakhiran sebuah kebijakan, dan membangun sistem pengumpulan, analisa, akomodasi, penghapusan, dan pengarsipan masukan yang transparan," ucapnya.
Koalisi Masyarakat sipil juga menilai isi RKUHP masih bermasalah karena pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan berekspresi masih dipertahankan. Koalisi menyinggung pasal makar hingga penghinaan lembaga negara.
"Misalnya, pasal-pasal tentang tindak pidana makar dapat membungkam kritik dan unjuk rasa damai. Tidak hanya itu, orang-orang yang terjerat pasal-pasal makar juga dapat dihukum secara berlebihan, misalnya dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup. Potensi pembungkaman lainnya dapat berasal dari pasal-pasal tentang penghinaan, penghinaan terhadap lembaga negara, dan penyelenggaraan pawai, unjuk rasa, pesta, dan keramaian tanpa pemberitahuan atau izin," imbuhnya.
Atas dasar-dasar di atas, Koalisi Masyarakat Sipil menuntut agar pemerintah dan DPR RI:
1. Menunda pengesahan RKUHP sampai pasal-pasal yang berpotensi mengancam hak asasi dicabut
2. Menelaah kembali duplikasi pasal di dalam RKUHP dan menyesuaikannya dengan aturan hukum lain yang berlaku
3. Menghormati dan menjamin hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam urusan publik
4. Memastikan pembungkaman kritik terhadap pengesahan dan substansi RKUHP tidak terjadi
5. Menghapus pasal-Pasal terkait Tindak Pidana Khusus seperti Tindak Pidana Narkotika, Tindak Pidana yang Berat Terhadap Hak Asasi Manusia dan Tindak Pidana Lingkungan dari RKUHP.***