Efek Kepemimpinan dan Kelembagaan dalam Penanganan Covid-19

Efek Kepemimpinan dan Kelembagaan dalam Penanganan Covid-19
Lihat Foto
WJtoday, Bandung - Setelah hampir setengah tahun melanda dunia, pandemi COVID-19 belum juga menunjukkan tanda-tanda segera berlalu. Belum ada satu negara pun yang bisa menciptakan obat, apalagi vaksin yang mampu menangkal langsung virus ini. 

Dari data WHO, ternyata tidak semua negara memiliki tingkat keberhasilan yang sama dalam menangani COVID-19. Ada negara yang dipandang lebih berhasil, seperti Tiongkok, Vietnam, Singapura, Australia, dan ada yang dipandang kurang berhasil, semisal Italia, Perancis, dan Spanyol. 

Menariknya, negara semaju Inggris, Amerika Serikat dan Rusia justru masuk dalam kelompok yang masih jauh dari berhasil; posisi mereka hampir sejajar dengan beberapa negara berkembang –India atau Iran-, walaupun tidak seburuk Meksiko, Brazil dan Kolombia. 

Variasi tingkat ini memunculkan sejumlah pertanyaan mengenai faktor-faktor yang berkontribusi terhadap keberhasilan dan kegagalan negara dalam merespon pandemi COVID-19.

Di Indonesia sendiri variasi keberhasilan penanganan COVID-19 juga cukup tinggi. Setelah menyebar ke berbagai provinsi, perkembangan kasus baru menunjukkan jumlah yang tidak seragam antardaerah. Begitu juga angka kesembuhan dan kematiannya. 

Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 mencatat, per 11 Agustus 2020, sepuluh provinsi dengan kasus terbanyak adalah DKI Jakarta (26.162), Jawa Timur (25.626), Jawa Tengah (10.679) Sulawesi Selatan (10.531), Jawa Barat (7.599), Kalimantan Selatan (6.765), Sumatera Utara (4.948), Bali (3.817), Sumatera Selatan (3.713), Papua (3.278).


Proporsi jumlah penduduk tidak serta merta menentukan besaran kasus. Dilihat dari riwayat episenter, Jawa Timur lebih jauh dari DKI Jakarta dibanding Jawa Barat dan Jawa Tengah. Namun Jawa Timur memiliki lebih banyak kasus infeksi dibanding dua provinsi tersebut. 

Dari berbagai penelitian ditemukan bahwa faktor kepemimpinan dan kapasitas institusi menentukan berhasil tidaknya penanganan pandemi COVID-19. Dalam konteks pandemi atau bencana besar, signifikansi dua faktor ini dipandang melampaui variabel lain seperti pendidikan, ekonomi, karakteristik wilayah atau sistem sosial-politik secara umum.

Dalam situasi yang serba mendadak, masyarakat cenderung shok, panik dan sulit mengambil keputusan rasional. Di sinilah diperlukan seorang pemimpin yang mampu memahami keadaan secara komprehensif dan berani mengambil tindakan cepat. Terlepas apakah sistem otoritarian atau  demokrasi, situasi darurat mengharuskan pemimpin untuk responsif, bertindak cepat, dan mampu mengkoordinir bawahannya.

Selain kepemimpinan,  sejumlah penelitian menunjukkan bahwa birokrasi yang baik, aturan kebencanaan yang jelas, dan aparat yang profesional, berkontribusi besar dalam penanganan COVID-19.

Hasil survei Elite yang dilakukan Indikator, yang diterima pada Semin (24/8/2020), mencoba mengevaluasi model penanganan COVID-19 yang telah dicanangkan dan diterapkan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Juga evaluasi terhadap kepemimpinan para pengambil keputusa, struktur birokrasi, serta profesionalisme para ASN.

Survei dilakukan terhadap 304 responden di 20 kota besar Indonesia. Mereka terdiri dari tokoh yang memiliki informasi lebih luas dibandingkan masyarakat umum tentang penanggulangan COVID-19 di Indonesia. Di antara mereka adalah akademisi yang menjadi rujukan media, redaktur politik dan kesehatan media, pengusaha, pengamat kesehatan, sosial dan politik, tokoh organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, LSM, dan organisasi profesi.

Terkait kekhawatiran terhadap Covid-19, 50 persen elite umum menyatakan mereka sangat khawatir, sebanyak 39,8 persen menjawab cukup khawatir, dan sebanyak 7.2 persen mengatakan cukup khawatid. Sedangkan sisanya menjawab tidak khawatir dan tidak sama sekali.


Tentang penularan Covid-19, soal adanya anggota keluarga, relasi, atau rkan kerja yang terpapar, sebanyak 55,6 persen mengatakan ada, dan sebanyak 44,4 persen mengatakan tidak.

Memasuki adaptasi kebiasaan baru, sebanyak 98 persen elite umum menyatakan semkain sering mencuci tangan. 96, 7 persen semakin sering menjaga jarak dengan orang lain. 98,7 semakin sering menggunakan masker saat berada di luar rumah. 80, 6 persen mengatakan sering berada atau menghabiskan waktu di rumah.

Kemudian tentang kinerja pemerintah pusat dalam menangani pandemi, sebanyak 32,9 persen menjawab baik, 28,6 mengatakan buruk, 28,0 persen menjawab biasa saja, sangat buruk 4,3 persen, sangat baik 3,9 persen.

Sedangkan mengenai kinerja pemerintah provinsi, mayoritas menjawab baik yaitu sebanyak 42,8 persen, biasa saja sebanyak 24,7 persen, lalu 19,4 persen mengatakan buruk, dan sangat buruk serta sangat baik masing-masing sebesar 6,3 persen.

Sekitar separuh narasumber merasa sangat khawatir terhadap COVID-19. kekhawatiran yang lebih besar yaitu dampaknya terhadap perekonomian. 64% narasumber merasa sangat khawatir dengan kondisi ekonomi akibat COVID-19. Kemudian terhadap diri sendiri dan keluarganya, 60%, dan terhadap teman atau tetangga sekitar 49%.

Penilaian kelompok elite tampak agak berbeda dibanding temuan pada kelompok masyarakat umum. Hanya sekitar 36.8% yang menilai kinerja pemerintah pusat baik atau sangat baik dalam menangani wabah COVID-19. Tapi tingkat kepercayaan kelompok elite terhadap Presiden dan Menteri Kesehatan dalam mengatasi wabah COVID-19 tampak tidak banyak berbeda dengan penilaian publik secara umum.

Bagi kalangan elite, kesehatan jauh lebih prioritas ketimbang persoalan ekonomi. Mayoritas kalangan elite juga berpendapat PSBB sebaiknya dilanjutkan, 54.6%. Namun sangat besar juga yang lebih cenderung PSSB dihentikan agar perekonomian segera berjalan.

Mayoritas narasumber menilai penyebaran virus Corona di Indonesia hingga sejauh ini masih belum terkendali, 64.4%. Di mata responden, cara-cara pengendalian yang selama ini diterapkan tidak semuanya efektif. 56.9% menilai rapid test kurang atau tidak efektif sama sekali sebagai alat identifikasi awal untuk pencegahan penyebaran virus Corona. Namun, 87.5% beranggapan penerapan protokol  kesehatan (mencuc tangan, menjaga jarak dan menggunakan masker ketika di luar rumah) efektif.

Mayoritas responden (55.2%) berpandangan PSBB cukup atau sangat efektif mencegah penyebaran virus Corona. Oleh karena itu kebanyakan mereka (60.9%) menganggap pelonggaran PSBB masih kurang atau tidak layak untuk diterapkan.

Provinsi Sumatera Barat, Jawa Barat, dan DKI Jakarta mendapat skor lebih tinggi dalam pengendalian penyebaran wabah dibanding provinsi-provinsi yang lain. Ketiga provinsi ini juga dinilai lebih berhasil dalam penerapan dan pelaksanaan PSBB dibanding provinsi lain.

Berkaitan dengan kemampuan logistik, Jawa Barat merupakan provinsi yang berhasil. Apalagi posisinya sebagai daerah berpenduduk terbanyak dan paling dekat dengan episenter awal, DKI Jakarta. Sumatera Barat juga masuk dalam penilaian yang berkinerja baik.

Mayoritas narasumber menilai bahwa pemerintah daerah berhak mengeluarkan kebijakan terkait penanganan wabah di wilayah masing-masing, 62.8%. Meski demikian, sejauh ini sebagian besar menilai kebijakan yang diterapkan pemerintah daerah sudah sejalan dengan pemerintah pusat, 55%.


Pemerintahan daerah cenderung mendapat penilaian lebih positif ketimbang pemerintah pusat. Mereka dipandang lebih peka terhadap krisis, tanggap darurat, Pemerintahan daerah cenderung mendapat penilaian lebih positif ketimbang pemerintah pusat. Mereka dipandang lebih peka terhadap krisis, tanggap darurat, mampu berkomunikasi dengan masyarakat, dan mampu berkordinasi dengan seluruh aparat. mampu berkomunikasi dengan masyarakat, dan mampu berkordinasi dengan seluruh aparat.

Ridwan Kamil, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo dinilai memiliki sikap kepemimpinan yang lebih baik dibanding sejumlah gubernur dari provinsi lain. Namun di antara tiga tokoh ini tidak ada yang menonjol dan bahkan cenderung imbang. Selisih nilai yang mereka dapatkan di semua aspek kepemimpinan dalam penanganan COVID-19 tidak sampai 3%.

Ridwan Kamil unggul dalam komunikasi dengan masyarakat dan koordinasi dengan berbagai sektor pemerintahan. Adapun Anies Baswedan mendapat nilai lebih tinggi dalam hal sense of crisis. Meskipun tidak menempati posisi utama, Ganjar Pranowo memiliki nilai yang mendekati Anies Baswedan dan Ridwan Kamil.

 Bagi kalangan elite, masalah kesehatan lebih menjadi prioritas ketimbang persoalan ekonomi. Mereka juga berpendapat PSBB sebaiknya dilanjutkan, 54.6%. Namun cukup besar juga yang cenderung PSSB dihentikan agar perekonomian segera berjalan. 

Mayoritas narasumber menilai penyebaran virus Corona di Indonesia sampai saat ini masih belum terkendali, 64.4%. Di mata responden, cara-cara pengendalian yang selama ini diterapkan tidak semuanya efektif. 56.9% menilai rapid test kurang atau tidak efektif sama sekali sebagai alat identifikasi awal untuk pencegahan penyebaran virus Corona. Namun, 87.5% beranggapan penerapan protokol kesehatan (mencuci tangan, menjaga jarak dan menggunakan masker ketika di luar rumah) efektif.

Tampaknya masih banyak kekurangan pada pihak pemerintah, khususnya yang menyangkut manajemen. Meskipun kinerja petugas diapresiasi secara baik, narasumber menemukan aspek manajemen masih jauh dari sempurna. Artinya, jika persoalan manajemen ini diperbaiki kinerja pemerintah daerah, tim medis, dan polisi akan meningkat lagi. ***