Fatwa PCNU Cirebon Soal Pernikahan: Kawin Kiai Tidak Sah, Kontrak juga Haram

Fatwa PCNU Cirebon Soal Pernikahan: Kawin Kiai Tidak Sah, Kontrak juga Haram
Lihat Foto

WJtoday, Cirebon - Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Cirebon mengeluarkan fatwa hasil dari Bahtsul Masail Akbar, terkait kawin kiai. Fatwa tersebut, mencatat bahwa kawin kiai tidak lagi sah karena pernikahan ini tanpa pemberitahuan dan pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA).

Ketua Lembaga Bahtsul Masail PCNU Kabupaten Cirebon, Imam Nawawi menjelaskan, meskipun kawin kiai sudah memenuhi syarat dan rukun pernikahan, seperti hadirnya dua mempelai, dua saksi, wali, ijab-kabul dan mas kawin namun tidak sah.

"Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 2, setiap perkawinan harus dicatat secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi mereka yang beragama Islam, atau di Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi mereka yang beragama non-Islam," katanya.

Jadi, menurut Imam, karena tidak tercatat di Kantor Urusan Agama, kawin kiai tidak memiliki kekuatan hukum. Artinya, jika ada masalah rumah tangga seperti perceraian, kekerasan, warisan, perebutan hak asuh anak, kantor urusan agama dan pengadilan agama tidak dapat memutuskan atau menerima pengaduan dari kedua pihak yang sedang mengalami masalah.

"Semua tahu, kawin kiai dilakukan pada umumnya, ada sesuatu yang dirahasiakan, atau mengandung suatu masalah. Karena kawin kiai mengandung masalah, maka masalah itu akan menimpa orang yang bersangkutan, termasuk anak-anak yang dilahirkan," ungkapnya.

Ia menjelaskan, ada berbagai latarbelakang mengapa seseorang memutuskan untuk kawin kiai. Di antaranya, persoalan ketidaksetujuan keluarga; pihak keluarga atau wali nikah tidak menyetujui pilihan anaknya, sehingga memilih untuk kawin kiai tanpa dihadiri wali.

Selanjutnya, persoalan ekonomi; sebagian masyarakat khususnya yang ekonomi menengah ke bawah merasa tidak mampu membayar administrasi pencatatan yang kadang membengkak dua kali lipat dari biaya resmi.

"Berikutnya, persoalan belum cukup umur, sehingga untuk menikah secara tercatat di KUA harus ada keputusan terlebih dahulu dari pengadilan," katanya.

Hal ini, lanjut Imam, terkadang membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan akhirnya pernikahan dilakukan tanpa adanya pencatatan di KUA terlebih dahulu.

Kemudian, persoalan hamil di luar nikah; masyarakat mempunyai pemahaman kehamilan yang terjadi di luar nikah itu aib bagi keluarga, dan akan mengundang cemoohan masyarakat.

"Dari sanalah orang tua menikahkan anaknya dengan laki-laki yang menghamilinya dengan alasan menyelamatkan nama baik keluarga," ungkap Imam. 

Selanjutnya, persoalan sulitnya aturan poligami. Sebab, syarat agar dapat melakukan pernikahan yang kedua, ketiga dan seterusnya harus mendapat izin dan persetujuan dari istri sebelumnya.

Ini sesuai dengan syarat poligami yang dijelaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.

"Syarat ini dianggap menyulitkan pihak laki-laki untuk berpoligami. Belum lagi stigma negatif dari masyarakat tentang laki-laki yang berpoligami semakin mendorong untuk memilih melakukan kawin kiai," ujarnya.

Persoalan lainnya, kata Imam, ketidakjelasan status perceraian. Kasus ini banyak terjadi ketika sepasang suami istri yang telah menikah secara siri, kemudian suami meninggalkan istri tanpa kejelasan.

"Dan untuk melakukan rafa/fasakh juga tidak ditanggapi sebab pernikahan yang dilakukan tidak melalui pencatatan di KUA. Sehingga ada di beberapa kasus istri menikah lagi tanpa melalui KUA. Ada juga yang melalui KUA karena dianggap tidak ada pencatatan pada pernikahan sebelumnya," ujar Imam.

Terakhir, perihal kawin kontrak; kawin kiai ini cukup memberikan andil besar dalam terlaksananya kawin kontrak di beberapa daerah di Indonesia. Kawin kontrak sendiri bisa terjadi baik ada kesepakatan yang jelas ataupun tidak ada, namun sudah menjadi hal yang maklum. 

"Pada intinya dengan kawin kiai pelaku menjadikan nikah kiai sebagai solusi alternatif, dan tidak peduli dengan konsekuensi hukum setelahnya, bahkan tidak peduli apakah secara aturan syariat pernikahannya dianggap sah atau tidak," imbuhnya.

Maka, muncul pertanyaan apakah dibenarkan melakukan kawin kiai karena beberapa alasan yang disebutkan tadi? "Jawabannya, hukum kawin kiai, jika disebabkan adanya wali mujbir yang tidak setuju, maka tidak sah. Karena masih mungkin dilakukan di KUA," ungkapnya.

Dan apabila terjadi pertentangan antar kawin kiai dengan putusan KUA atau pengadilan agama manakah yang dimenangkan? "Untuk keputusan KUA dimenangkan, selama tidak bertentangan dengan ijma’ ulama dan qiyas jalliy," katanya.

Kaitan jawaban dengan masalah ekonomi tidak menjadi pertimbangan karena KUA tidak memungut biaya.

Tapi, jika masalahnya adalah usia mempelai, maka sah nikahnya namun haram karena tidak mematuhi peraturan pemerintah hukum menikah sebab hamil di luar nikah adalah sah, namun haram.

Sedangkan, hukum kawin kontrak adalah haram, karena menikah tanpa ada landasan melanggengkan pernikahan dan karena tidak tertib administratif.***