Guru Besar FHUI: Banyak Pasal dalam KUHP Baru Merupakan Hasil 'Jalan Tengah'

Guru Besar FHUI: Banyak Pasal dalam KUHP Baru Merupakan Hasil 'Jalan Tengah'
Lihat Foto

WJtoday, Mataram - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hukum Indonesia (FH UI) Topo Santoso menyebutkan banyak pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang merupakan hasil "jalan tengah".

"Misalnya, Pasal 100 KUHP terkait dengan pidana mati. Pasal ini sesungguhnya menengahi mereka yang menginginkan penerapan pidana mati secara zakelijk, sementara di sisi lain ada yang menginginkan agar pidana mati tidak perlu diterapkan," kata Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H., yang juga salah satu anggota tim penyusun KUHP baru melalui siaran pers, Sabtu.

Dalam acara pertemuan ilmiah yang diselenggarakan oleh Indonesian PhD Council di Desa Lingsar, Lombok, Nusa Tenggara Barat, dia mengatakan bahwa pelaksanaan pidana mati dalam Pasal 100 KUHP mengharuskan ada semacam "masa percobaan" selama 10 tahun (Pasal 100 ayat 1), maka pasal ini memberikan waktu jeda kepada si terpidana sebelum pelaksanaan eksekusi mati.

Hal lainnya, kata dia, adalah Pasal 240 terkait dengan penghinaan kepada pemerintah maupun lembaga negara. Pasal ini pun dikatakan sebagai "jalan tengah" karena belajar dari masa lalu saat berlakunya pasal haatzaai artikelen maupun UU No. 11/PNPS/1963 tentang Subversi karena bangsa ini mengalami sejarah kelam masa haatzaai artikelen dan ketentuan tentang subversi.

Pada masa Orde Baru terlalu banyak korban dari pasal haatzaai artikelen maupun UU Subversi. Sedikit saja mengkritik penguasa Orde Baru maka dengan mudah dijebloskan ke penjara. Pada masa Presiden B.J. Habibie ketentuan tentang subversi ini dicabut.

"Pertanyaannya apakah pada masa Presiden RI Joko Widodo pasal tersebut akan dihidupkan kembali?" katanya.

Menurut Prof. Topo, Pasal 240 KUHP baru merupakan "jalan tengah". Jangan sampai adanya Pasal 240 membuat pejabat pemerintah menjadi baper, misalnya sedikit-sedikit melakukan laporan karena dikritik. Harus dibedakan yang disebut kritik dan fitnah.

Kalau terhadap kritik, seorang pejabat sudah seharusnya terbuka dan menerima dengan sikap positif (if you are opened for criticism, you are on the right track for improvement). Pasal tentang perzinaan dalam Pasal 284 ayat 1 (b) di KUHP yang lama juga mendapat sorotan Prof. Topo. Sebagaimana diketahui pada masa lalu acap kali terjadi tindakan eigenrichting (main hakim sendiri) terkait dengan "kumpul kebo" dan samen-leven (hidup bersama tanpa ikatan pernikahan).

Untuk menghindari kebrutalan atau tindakan main hakim sendiri, pasal perzinaan dalam KUHP baru direvisi. Dalam konteks delik aduan, kecil kemungkinan orang tua sendiri mengadukan atau melaporkan anak kandungnya sendiri yang melakukan kesalahan perzinaan.

Dengan demikian, kata dia, penyelesaiannya diharapkan agar orang tua sendiri yang melakukan pengayoman atau pembinaan secara kekeluargaan terhadap anak kandungnya sendiri.


Menata Ulang Negara Hukum

Wakil Ketua Indonesian Ph.D. Council atau Dewan Doktor Hukum Indonesia Dr. T.M. Luthfi Yazid menyatakan pentingnya menata ulang negara hukum yang bersandar pada Pancasila dan konstitusi.

"A constitution without constitutionalism (konstitusi tanpa konstitusionalisme) tak ada artinya," kata Luthfi Yazid melalui siaran pers.

Dalam acara pertemuan ilmiah yang diselenggarakan oleh Indonesian Ph.D. Council atau Dewan Doktor Hukum Indonesia di Desa Lingsar, Lombok, Nusa Tenggara Barat itu, gagasan pentingnya menata ulang negara hukum bersandar Pancasila dan Konstitusi mendapat tanggapan positif dari panelis dan peserta konferensi lainnya, seperti Prof. Dr. O.K. Saidin dari Sumatera Utara.

Prof. Saidin menekankan pentingnya pengelolaan sumber daya berbasis keadilan yang sesungguhnya, bukan sekadar artificial ungkapan dan jargon-jargon yang menyesatkan dan menipu publik. Menanggapi hal tersebut, Hayyan ul Haq, S.H., L.L.M., Ph.D., pendiri Indonesian Ph.D. Council, memandang penting penyelenggaraan semua urusan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bersandar pada Pancasila dan konstitusi.

Ia mengingatkan pentingnya semua elemen bangsa untuk berinteraksi, bekerja sama, dan bertransformasi bersama dengan melekatkan Pancasila sebagai jiwa sekaligus fondasinya.

Hal ini didasarkan atas pemahaman bahwa Pancasila bukan saja sebagai the way of life, seperti kata Bung Karno, melainkan juga sebagai "takdir" dalam kehidupan bersama di Indonesia.

Hal ini, kata dia, didasarkan atas world realms yang menunjukkan realita bahwa Indonesia adalah bangsa yang bertuhan. Oleh karena itu, dia mengakui dengan tulus bahwa eksistensi kehidupannya merupakan anugerah dari kemahakuasaan Tuhan YME.

"Sangat logis jika eksistensi dan kebebasan berperilaku, bersikap dan bertindak dari manusia Indonesia itu harus melekatkan nilai-nilai ketuhanan yang berkeadaban," katanya.

Sila kedua ini merupakan konsekuensi logis dari pemahaman terhadap eksistensi manusia dalam kehidupan bersama yang terikat dengan nilai-nilai Ilahiah, seperti kebaikan, kebenaran, kejujuran, keseimbangan, dan keutuhan keberlanjutan.

Secara faktual, kehidupan bangsa Indonesia yang berkeadaban itu tidak berhenti sampai pada kehidupan bersama saja, tetapi sebagai bangsa yang bertujuan mewujudkan cita-cita keadilan sosial membentuk wadah yaitu NKRI yang diikat oleh prinsip persatuan Indonesia.

Pemahaman atas konsep persatuan Indonesia ini harus dipahami secara utuh dan komprehensif, bukan persatuan dalam konteks teritorial saja, melainkan dalam konteks cara pandang yang utuh, termasuk cara pandang geopolitik. Dalam konteks ini, kata dia, terlihat jelas bahwa Pancasila sebagai jawaban atas eksistensi kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun bagian dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan berdasar prinsip musyawarah.

"Dengan demikian, semua urusan penyelenggaraan negara harus disandarkan pada prinsip yang utuh dalam mewujudkan keadilan dengan disinari oleh cahaya ketuhanan yang berkeadaban," katanya.

Dengan pemahaman tersebut, lanjut dia, maka konsekuensinya adalah semua nilai konstitusi dan produk peraturan perundang-undangan harus diarusutamakan secara koheren, khususnya dalam menata ulang sistem pengembangan hukum di Tanah Air guna menjamin keberlanjutan kehidupan bersama.***