Jaksa Agung R Soeprapto, Sosok yang Disematkan untuk Mengganti Nama Flyover Pelangi Bandung

Jaksa Agung R Soeprapto, Sosok yang Disematkan untuk Mengganti Nama Flyover Pelangi Bandung
Lihat Foto

WJtoday, Bandung - Flyover atau Jalan Layang Pelangi di Kota Bandung resmi berganti nama menjadi Jalan Layang Jaksa Agung R Soeprapto.

Jalan Layang Pelangi ini berada di perempatan Jalan Jakarta-Ibrahim Adjie. Jaka Agung R Soeprapto merupakan Bapak Kejaksaan RI.

Wali Kota Bandung Yana Mulyana menyampaikan latar belakang dari dipilihnya nama Jaksa Agung R. Soeprapto untuk flyover tersebut.

"Kita meresmikan flyover Jalan Jakarta-Ibrahim Adjie menjadi nama salah satu pahlawan Bapak Kejaksaan RI, yakni Jaksa Agung R. Soeprapto karena jasa-jasa beliau terhadap penegakan hukum di Indonesia," kata Yana keterangannya dikutip Minggu (20/11/2022).

Yana menjelaskan alasan pergantian nama. Salah satunya adalah agar masyarakat bisa lebih mengenal jasa Bapak Kejaksaan RI. Ia juga berharap masyarakat terinspirasi dengan Jaksa Agung R Soeprapto.

Ia menjelaskan proses dipilihnya nama Jaksa Agung R. Soeprapto bermula dari permohonan Kejaksaan Tinggi Jabar. 

"Ada tim kajian. Lalu, karena ini jalan milik nasional, sehingga kami ajukan izin ke PUPR. Akhirnya disetujui," jelasnya.

Sementara itu, Kepala Kejaksaan Tinggi Jabar Asep N Mulyana berterima kasih kepada Pemkot Bandung yang telah membantu proses penamaan fly over tersebut.

"Nama flyover ini sebagai Jalan Jaksa Agung R. Seoprapto, bukan semata sebagai simbol. Tapi, bisa memberikan inspirasi akan perjuangan, dedikasi, dan integritas beliau yang menjadi dasar kami juga dalam melaksanakan tugas di kejaksaan," ucapnya.

Ia memaparkan Jaksa Agung R Seoprapto tak hanya disematkan di Kota Bandung. Di beberapa wilayah seperti Garut dan Karawang juga sudah meresmikan nama Jaksa Agung R. Seoprapto sebagai jalan.

Sosok Jaksa Agung R Soeprapto yang Kini Jadi Nama Flyover di Bandung

Pemkot Bandung mengganti nama flyover atau Jalan Layan Pelangi menjadi Jalan Layang Jaksa Agung Raden Soeprapto. 

Siapakah Raden Soeprapto?

Dikutip dari situs resmi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) lipi.go.id menyebutkan, Soeprapto yang pernah menjabat Jaksa Agung tahun 1950-1959.

Raden Soeprapto lahir di Trenggalek, Kediri 27 Maret 1897. Ayahnya seorang juru tulis asisten residen Trenggalek. Kemudian asisten wedana di Nganjuk. Karena itu ia dapat menempuh pendidikan yang lumayan.

Soeprapto bersekolah di Hollands Inlandse School (HIS) dan Europese Lagere School (ELS). Setelah lulus dari ELS, ia melanjutkan ke Rechtsschool di Jakarta Selatan.

Karir pendidikannya terputus. Selepas dari Rechtsschool, Soeprapto semestinya dapat mengambil gelar Mr. (Meester in de rechten sarjana hukum) di Belanda. Namun, ia memilih langsung bekerja. Ia memulai karirnya sebagai jaksa atau hakim.

Sejak 31 Mei 1917, Soeprapto menjadi staf Kedua Pengadilan Negeri Tulungagung. Gaji yang ia dapatkan 100 gulden per bulan. Soeprapto menjalani tugasnya berpindah-pindah daerah, di Surabaya, Semarang, Demak, Purworejo, Bandung, Banyuwangi, Singaraja, Denpasar, Mataram (Lombok), Cirebon dan Salatiga.

Tiga tahun sebelum merdeka, tepat saat Jepang tiba di Indonesia pada Maret 1942, Soeprapto telah menjabat sebagai Kepala Pengadilan Pekalongan hingga masa clash pertama tahun 1947. Karena memilih sikap non-kooperatif, ia mengungsi ke wilayah republik di Yogyakarta.

Delapan tahun setelah Jepang tiba di Indonesia, Soeprapto akhirnya menjabat sebagai Jaksa Agung ada 28 Desember 1950. Sebelum menjabat sebagai Jaksa Agung, ia sempat menjadi hakim anggota Mahkamah Agung.

Sebagai jaksa Soeprapto sangat tegas. Ia tidak segan menjatuhkan hukuman mati. Seperti yang dijatuhkan terhadap Kutil, jagoan dari Talang, Tegal. Semula ia pemangkas rambut, tetapi revolusi telah mengantarkannya sebagai pemimpin lokal AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia), dan bermarkas di gedung Bank Rakyat, Talang. Mereka merampas rumah pegawai Belanda dan pedagang kaya lalu membagikan kepada rakyat miskin. Akhir gerakannya ini menjadi tidak terkendali.

Pada 4 November misalnya, dua orang pemimpin perjuangan Tegal dan wakil ketua KNI (Komite Nasional Indonesia) Tegal, terbunuh di Talang. Maka, ketika Kutil diadili, masyarakat membelanya. Di pengadilan, Kutil mengakui semua pembunuhan yang dilakukannya. Dalam kondisi seperti itulah, Hakim Soeprapto harus mengambil keputusan. Dan ia memilih alasan-alasan hukum, bukan politik. Siapa pun, tidak boleh melakukan pembunuhan tanpa proses hukum. Kutil yang telah terbukti di meja hijau melakukan serangkaian pembunuhan, akhirnya 21 Oktober 1946, dijatuhi vonis mati. Ia tercatat sebagai penerima vonis mati pertama di Indonesia setelah masa kemerdekaan.

Pada zaman Belanda dan Jepang, Soeprapto telah empat kali menuntut hukuman mati bagi perkara pembunuhan sadis. Soal vonis mati tetap dianggapnya perlu sampai ketika ia menjabat Jaksa Agung. Ketika sejumlah perkara besar terjadi tahun 1958, seperti Peristiwa Cikini, peledakan granat saat Presiden Soekarno di SD Cikini. Soeprapto menganggap tepat saatnya dilaksanakan hukuman mati, karena begitu banyak jatuh korban jiwa tewas akibat peristiwa itu.

Soeprapto wafat pada 2 Desember 1964. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.***