Kerangkeng Milik Bupati Langkat, Rehabilitasi Narkoba atau Perbudakan Modern?

Kerangkeng Milik Bupati Langkat, Rehabilitasi Narkoba atau Perbudakan Modern?
Lihat Foto

WJtoday, Jakarta - Psikolog forensik Reza Giri Amriel, menyoroti dua narasi yang berbeda antara temuan Migrant Care dan pengakuan Terbit Rencana Peranginangin terkait temuan kerangkeng di rumah eks Bupati Langkat tersebut. 

Semula, Migrant Care yang mengungkap kasus ini menyebut, terdapat kerangkeng manusia bagi pekerja di kebun kelapa sawit milik Terbit. Para pekerja mengalami eksploitasi yang diduga kuat merupakan praktik perbudakan modern.

 Namun, Terbit mengkalim, ia membangun kerangkeng manusia di kediamannya sebagai tempat pembinaan pecandu narkoba.

"Jika situasinya sesuai dengan narasi Migrant Care, maka langkah represif harus Polda Sumut lakukan dengan target memidana pelaku, serta rehabilitasi dan restitusi bagi korban," kata Reza, seperti dikutip Alinea.id, Rabu (26/1/2022).

Menurut Reza, andaikan situasi si rumah Terbit seperti penjelasan tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu, maka hukum harus kembali ke posisi awalnya berupa ultimum remedium. Sebagai inisiatif warga, kata dia, banyak hal di rumah Terbit yang tidak sesuai dengan parameter rehabilitasi profesional.

"Tapi terhadap sarana-prasarana yang jauh dari memadai dan terhadap perlakuan yang kurang tepat, dinas-dinas terkait justru perlu melakukan standarisasi layanan serta penguatan kompetensi para personel yang berasal dari masyarakat awam. Dinas kesehatan, dinas sosial, dinas ketenagakerjaan, dan dinas kepemudaan adalah beberapa institusi yang perlu turun tangan guna mengatasi masalah ini," ujar Reza.

Baca juga: Polisi Selidiki Kamar Mirip Ruang Tahanan di Kediaman Bupati Langkat

Menurut dia, situasi serupa (praktik pengobatan alternatif) sesungguhnya berlangsung di banyak tempat. 

"Terkait, kelemahan justru bisa diubah menjadi kekuatan," katanya.

Untuk diketahui, penemuan kerangkeng dan dugaan praktik perbudakan berawal dari operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap Terbit Rencana sebagai penerima suap dari kontraktor yang menggarap proyek infrastruktur di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. 

Adapun lokasi dari kerangkeng berada pada lahan belakang rumah Terbit dan praktik tersebut telah berlangsung lebih dari 10 tahun.

Kemudian, berdasarkan temuan Migrant Care, setidaknya ada dua kompleks penjara sebagai tempat tinggal para pekerja.

Kepala Divisi Advokasi HAM Kontras, Andi Rezaldi, sebelumnya menilai penemuan kerangkeng manusia di rumah Teerbit sebagai praktik perbudakan modern. Alasannya, Bupati jelas tidak memiliki otoritas melakukan pembinaan atau rehabilitasi terhadap pengguna narkotika.

Dalam pernyataan sikap, Kontras juga menyayangkan sikap institusi lainnya ,seperti Badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Langkat yang seakan mendukung praktik kerangkeng walaupun sudah mengetahui sejak lama.

LBH: Rehabilitasi Jadi Alibi Perbudakan

LBH Masyarakat (LBHM) menduga kerangkeng yang beradi rumah eks Bupati Langkat, Terbit Rencana Peranginangin bukanlah sebuah tempat rehabilitasi ilegal. Penyebutan temoat rehabilitasi ilegal dipandang sebagai sebuah dalih dari Terbit.

“Publik patut menduga jika alibi fasilitas rehabilitasi ini hanya jadi alasan untuk menutupi dugaan perbudakan yang terjadi,” ujar staf penanganan kasus LBHM Aisya Humaida dalam keterangan tertulis, Rabu (26/1). 

Menurutnya, penempatan manusia ke dalam kerangkeng jelas telah merampas kemerdekaan seseorang untuk bergerak. Pasalnya, rehabilitasi hanya bisa dilakukan oleh otoritas berwenang dan dengan dasar putusan pengadilan.

Disisi lain, masalah ini pun tidak bisa dikecilkan sebatas masalah legalitas perizinan. Jika benar digunakan sebagai panti rehabilitasi, kata dia, ini tidak lantas menghapuskan pelanggaran berat yang dilakukan. Bahkan, sekalipun dengan dalih untuk membantu orang-orang yang mengalami adiksi. 

“Konsep panti rehabilitasi bukan penjara, dan tidak bisa dipersamakan dengan penjara,” tutur Aisya.

Dia menyebut, Kkecenderungan menggunakan pendekatan pemidanaan terhadap pengguna narkotika hanya akan menciptakan ruang-ruang korupsi yang masif, tak terkecuali proses rehabilitasi. Banyak pengguna narkotika yang diserahkan begitu saja pada tempat-tempat rehabilitasi tanpa asesmen mengenai adiksinya. 

Beberapa orang yang tertangkap tanpa bukti, tetap dipaksa direhabilitasi hanya karena memiliki urine positif dan kerap dimintai sejumlah uang. Padahal, secara medis tidak semua pengguna narkotika perlu direhabilitasi.

Baca juga: Orang yang Dikerangkeng Bupati Nonaktif Langkat Mengaku Pekerja Sawit

“Kondisi ini memikul segudang masalah pelanggaran hak asasi manusia yang serius di samping dugaan praktik perbudakan. Ditinjau dari aspek kewenangan, otoritas yang oleh hukum dapat melakukan perampasan kemerdekaan seseorang hanya aparat penegak hukum, bukan Bupati,” ujar Aisya.

Bupati Langkat, Terbit Rencana Peranginangin, katanya, dapat dijerat dengan Pasal 333 ayat 1 KUHP tentang perampasan kemerdekaan. Bahkan, hukuman atas perbuatan tersebut dapat diperperberat jika ditemukan luka berat bagi orang yang dirampas kemerdekaannya.

Ditambahkan dia, praktik serupa kerap terjadi pada panti-panti sosial bagi penyandang disabilitas mental. Praktik yang diklaim sebagai upaya penyembuhan justru menghadirkan permasalahan baru, karena abai terhadap pelindungan hak-hak dasar para korbannya. 

Praktik pengurungan seperti itu merupakan bukti akan adanya pengambilan keputusan secara sepihak, sewenang-wenang, dan di luar pengawasan medis, sehingga tergolong sebagai bentuk kejahatan.  ***