Mantan Menhan Ryamizard Ryacudu Belum Juga Diperiksa, Ini Kata Kejagung

Mantan Menhan Ryamizard Ryacudu Belum Juga Diperiksa, Ini Kata Kejagung
Lihat Foto

WJtoday, Jakarta - Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah mengatakan pihaknya belum berniat memanggil Eks Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu terkait kasus dugaan korupsi pengadaan satelit di Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2015.

"Belum sampai situlah," kata dia di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (17/1/2022).

Febrie menjelaskan alasan pihaknya belum berniat memanggil Ryamizard.

"Yang jelas kita lihat dari materil perbuatan. Ada beberapa yang sudah akan dipanggil penyidik," kata dia.

Adapun sejauh ini, dikatakan Febrie, Kejagung sudah memeriksa 11 orang berkaitan dengan dugaan pelanggaran tersebut.

"Sudah 11, tapi karena penyidikan masih ada tindakan-tindakan lain lah, pengumpulan dokumen dan alat bukti lain," kata dia.

Terpisah, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengungkap hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait kasus ini.

Mahfud MD mengatakan berdasarkan hasil audit BPKP barang yang diterima dari perusahaan Navayo sebagian besar diduga selundupan.

Dugaan tersebut muncul, karena tidak ditemukan dokumen Pemberitahuan Impor Barang di Bea Cukai.

Sedangkan barang yang dilengkapi dengan dokumen, kata dia, hanya bernilai sekitar Rp 1,9 miliar atau sekitar USD 132.000.

"Berdasar hasil audit yang dilakukan BPKP, barang yang diterima dari Navayo sebagian besar diduga selundupan, karena tidak ditemukan dokumen Pemberitahuan Impor Barang di Bea Cukai," kata Mahfud MD dalam keterangan pers yang disampaikan Tim Humas Kemenko Polhukam RI, Senin (17/1/2022).

Mahfud MD mengatakan Pemerintah menempuh langkah hukum terkait kasus tersebut setelah melalui pertimbangan mendalam dan komprehensif sampai akhirnya dilakukan Audit Tujuan Tertentu (ATT), bukan hanya audit reguler
oleh BPKP.

Selain itu, kata dia, untuk sampai pada proses hukum tersebut pemerintah juga sudah membahas dengan berbagai pihak terkait, bukan hanya sekali atau dua kali, tetapi berkali-kali.

Hasilnya, kata dia, ditemukan terjadi dugaan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan yang kemudian merugikan keuangan negara dan berpotensi akan terus merugikan keuangan negara.

Contohnya, lanjut dia, Pemerintah Indonesia telah membayar gugatan Avanti sebesar Rp 515 miliar, berdasarkan putusan Arbitrase di London pada tahun 2019.

Selain itu, kata dia, pada tahun 2021 Pemerintah Indonesia menerima tagihan lagi sebesar 21 juta USD berdasarkan putusan Arbitrase Singapura atas gugatan Navayo.

Untuk itu, ia menghargai pendapat yang disuarakan oleh berbagai pihak dengan segala pro dan kontranya.

Ia mengajak semua pihak mengikuti proses hukum yang kini sedang bergulir terkait kasus tersebut.

"Pemerintah telah dan akan tetap melakukan upaya-upaya maksimal untuk menyelamatkan satelit orbit ini, untuk kepentingan pertahanan negara," kata Mahfud.

Negara Rugi Rp 819 Miliar

Sebelumnya Mahfud MD membenarkan bahwa saat ini pihaknya dan Kejaksaan Agung sedang menindaklanjuti kasus dugaan pelanggaran hukum di lingkungan Kementerian Pertahanan (Kemhan).

Kasus ini terkait dengan kontrak sewa atau pengadaan satelit komunikasi pertahanan slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT).

Kontrak penyewaan tersebut menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 819 miliar.

Sehingga perlu adanya tindak lajut yang mendalam terkait kewajiban pembayaran ini.

"Kami melakukan penyelidikan dan penilaian terhadap beberapa informasi yang kami konfirmasikan."

"Yakni tentang adanya dugaaan pelanggaran hukum yang melibatkan kerugian negara atau berpotensi menyebabkan kerugian negara."

"Padahal kewajiban itu lahir dari sesuatu yang secara prosedural salah dan melanggar hukum."

"Yaitu Kemenhan, tahun 2015, melakukan kontrak dengan PT Avanti untuk melakukan sesuatu padahal anggarannya belum ada, (tapi sudah) dia kontrak."

"Karena, oleh pengadilan negara ini, (negara) kemudian diwajibkan membayar uang yang sangat besar."

"(Masalah ini) sudah lama menjadi perhatian Kejaksaan Agung (Kejagung) dan kami juga sudah melakukan audit investigasi itu."

"Kami mengkonfirmasi dengan Kejagung bahwa benar Kejagung sedang dan sudah cukup lama menelisik masalah ini."

"Sekali lagi kabar itu memang benar, kami akan tindak lanjuti," kata Mahfud MD dalam konferensi pers virtual melalui YouTube Kemenko Polhukam RI, Kamis (13/1/2022).

Kontrak itu yakni denganAvanti, Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat pada tahun 2015 hingga 2016.

Mahfud menyebut kontrak itu dilakukan untuk membuat Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkumham) dengan nilainya sangat besar.

Sementara, lanjut Mahfud, anggarannya belum ada.

Dan pada 9 Juli 2019 Pengadilan Arbitrase di Inggris menjatuhkan putusan.

Sehingga negara harus membayar sewa satelit Artemis beserta biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filling kepada PT Avanti sebesar Rp 515 miliar. 

“Jadi negara diminta membayar Rp 515 miliar untuk kontrak yang tidak ada dasarnya,” jelas Mahfud

Selain itu, pemerintah juga baru diputus oleh arbitrase di Singapura untuk membayar yang nilainya sampai saat ini sebesar US$ 20.901.209 kepada Navayo yang ditaksir nilainya Rp 304 (miliar).

Sehingga total kewajiban negara sebanyak Rp 819 miliar.***