Mempertanyakan Kegentingan Penerbitan Perppu Cipta Kerja

Mempertanyakan Kegentingan Penerbitan Perppu Cipta Kerja
Lihat Foto

WJtoday, Bandung - Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Jumat (30/12/2022).

Airlangga menegaskan, penerbitan Perppu dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan mendesak dalam mengantisipasi kondisi global, baik yang terkait ekonomi maupun geopolitik.

“Pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global, baik yang terkait dengan ekonomi, kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi,” ujar Airlangga.

Dia menyampaikan, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah berbicara dengan Ketua DPR RI Puan Maharani terkait dengan penerbitan Perppu ini.

“Bapak Presiden telah berkonsultasi, sudah berbicara dengan Ketua DPR dan pada prinsipnya Ketua DPR sudah terinformasi mengenai Perppu tentang Cipta Kerja,” sebutnya.

Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay mempertanyakan aspek kegentingan dalam penertiban Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja tersebut. 

Menurutnya, pemerintah harus menjelaskan kepada masyarakat segenting apa situasi yang dihadapi sehingga Perppu harus diterbitkan.

"Dalam konteks kegentingan, ini adalah tugas pemerintah untuk menjelaskan ke publik. Apakah betul bahwa resesi ekonomi global bisa dijadikan sebagai pertimbangan. Pertimbangan untuk menyebutkan adanya kegentingan yang memaksa," ujar Saleh dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (3/1/2023).

Saleh menjelaskan, karena yang menerbitkan Perppu pemerintah, maka yang berhak menjelaskan soal kegentingan adalah pemerintah. DPR dan masyarakat adalah bagian yang ikut untuk menilai soal kegentingan tersebut. 

"Masalahnya, aspek kegentingan itu kan belum dijelaskan secara rinci. Mungkin masih ada aspek-aspek lainnya. Kita tunggu saja penjelasan yang mungkin akan disampaikan pemerintah dalam waktu dekat ini," katanya.

Menurutnya, pemerintah perlu menjelaskan setidaknya dua hal terkait Perppu tersebut. Pertama, apa ketentuan baru yang masuk di dalamnya. Kedua, apa perbedaannya dengan UU Ciptaker yang sudah disahkan. 

"Dari situ nanti baru kita bisa membandingkan apa yang sudah baik, yang perlu disempurnakan, yang perlu dilengkapi dengan aturan turunan, dan seterusnya," jelas Saleh.

Lebih lanjut, Politisi dari Fraksi PAN ini juga mendengar Perppu Ciptaker dikeluarkan untuk menggugurkan keputusan MK yang mengatakan bahwa UU Ciptaker itu inkonstitusional bersyarat. 

"Apa betul seperti itu? Apa benar dengan keluarnya perppu ini, status inkonstitusional bersyarat jadi hilang? Ini pun pemerintah yang mestinya menjelaskan," sebutnya.

"Bagaimana kalau nanti setelah berubah jadi UU, lalu di-judical review lagi ke MK. Lalu MK mengambil keputusan yang sama? Kalau ini, mungkin para ahli hukum dan tata negara yang bisa menganalisis dan berkomentar. Masyarakat tentu tidak bisa membaca secara detail persoalan hukum seperti ini," tambahnya.

Selain itu, Saleh menilai perlu ditegaskan setiap produk perppu, tentu perlu mendapat persetujuan DPR. Untuk itu, perlu ada kajian. Masing-masing partai akan membahas dan memberikan pandangannya. 

Pada akhirnya, DPR secara kelembagaan akan menyatakan pendapat menerima atau menolak. Jika menerima, berarti berlaku, jika menolak berarti tidak berlaku. 

Alasan yang Mengada-ada
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia mengkritik pemerintah yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). PSHK meminta DPR menolak Perppu Ciptaker tersebut.

Direktur Eksekutif PSHK Gita Putri awalnya mempertanyakan dasar penerbitan Perppu Ciptaker. Dia mengatakan pemerintah membuat alasan yang mengada-ada soal penerbitan Perppu ini.

"Menurut Pemerintah, kehadiran Perppu Ciptaker telah memenuhi syarat dibentuknya sebuah Perppu yakni adanya kebutuhan mendesak dan kekosongan hukum. Pernyataan ini tidak berdasar dan patut dipertanyakan logikanya, mengingat MK dalam Putusan 91/PUU-XVIII/2020 mensyaratkan UU Ciptaker untuk diulang proses pembentukannya dengan memerhatikan salah satunya mengenai partisipasi yang bermakna." kata Gita kepada wartawan, Sabtu (31/12/2022).

"Penerbitan Perppu adalah seperti siasat sehingga secara keseluruhan seolah mengkhianati amanah MK demi mengakali syarat partisipasi bermakna ini," dia menambahkan.

Gita mengatakan penerbitan Perppu Ciptaker merupakan bukti pemerintah tidak menjadikan publik sebagai mitra dalam penyusunan produk legislasi. 

Dia juga menuding penerbitan perppu itu menunjukkan pemerintah dalam posisi tidak seimbang dalam perencanaan, penyusunan dan pembahasan produk hukum.

"Terlihat bahwa ada perbedaan dalam pelibatan pihak-pihak terdampak dalam proses legislasi. Contohnya bisa dilihat dari penyusunan Omnibus Cipta Kerja di tahun 2019 hingga KUHP di tahun 2022. Hanya mereka yang memiliki kepentingan sama dengan Pemerintah yang mendapat karpet merah mendapat panggung untuk didengar." ungkap Gita.

"Namun kelompok buruh, kelompok disabilitas, kelompok minoritas agama, kelompok minoritas seksual, serta kelompok masyarakat rentan lainnya justru terdiskriminasi dengan tidak mendapat ruang dan pelibatan secara aktif dalam penyusunan produk hukum tersebut," imbuhnya.

Selain itu, Gita juga menilai ada ketidakjelasan soal kedaruratan untuk membuat Perppu. Menurutnya, tak ada kekosongan hukum yang terjadi usai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji materi UU Ciptaker.

"Justru mandat dari putusan MK untuk menyusun ulang UU Omnibus Cipta Kerja tersebut malah secara aktif diabaikan oleh Pemerintah dengan keluarnya Perppu ini. Argumentasi kepentingan ekonomi dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja ini juga memberikan kode yang membingungkan bagi publik." paparnya.

"Apabila ada kebutuhan pengencangan anggaran karena potensi ekonomi yang memburuk, mengapa justru ada pengeluaran uang dengan skala masif, misalnya untuk membangun IKN dan memaksakan pembentukan UU IKN," tambah Gita.

Dia menganggap pemerintah abai terhadap partisipasi publik. Gita juga menuding Perppu Ciptaker sebagai wujud ruang gelap legislasi karena dokumen Perppu Ciptaker belum dipublikasi.

"Di samping banyaknya pertanyaan dan polemik yang ditimbulkan dari penerbitan Perppu Ciptaker, celakanya sampai dengan rilis ini disusun dokumen Perppu Ciptaker belum dapat diakses." jelas Gita.

"Hal itu menguatkan kesan bahwa Pemerintah semakin menarik proses pembentukan peraturan perundang-undangan ke ruang gelap. Padahal prinsip transparansi adalah prasyarat terbukanya ruang partisipasi yang bermakna," tandasnya.

Pemerintah tak Hormati Putusan MK
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher mengkritik penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja oleh pemerintah. 

Ia menilai pemerintah tidak menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan menerbitkan Perppu Cipta Kerja. Mengingat, MK dalam putusannya menyatakan Omnibus Law Cipta Kerja inkonstitusional sehingga perlu adanya perbaikan.

“Ini hanya akal-akalan pemerintah buat menelikung keputusan MK yang meminta agar UU Cipta Kerja diperbaiki dalam waktu dua tahun. Kenapa diminta untuk diperbaiki? karena UU tersebut dianggap cacat secara formil,” kata Netty dalam keterangan tertulis, Senin (2/1).

Netty menjelaskan, berdasarkan Putusan MK, UU Cipta Kerja dinyatakan cacat formil. Pertama, tata cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti. 

Kedua, terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden. Ketiga, bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. 

Kemudian yang keempat untuk menghindari ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan.

“Eloknya ini dulu yang diperbaiki. sehingga status UU Cipta Kerja yang masih inkonstitusionalitas bersyarat itu bisa berubah. Jangan justru arogan dengan menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja,” ucap Netty.

Menurut Netty, penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja ini menunjukkan kalau pemerintah tidak menghormati keputusan MK sebagai Lembaga Yudikatif.

“Ini berbahaya bagi perjalanan demokrasi Indonesia, karena MK itu sebagai pemegang kekuasaan Yudikatif. Kalau Lembaga yudikatif tidak lagi dihormati maka sistem demokrasi yang sudah kita bangun puluhan tahun ini bisa kacau,” jelas Netty.

Selain itu, Netty khawatir jika Perppu Cipta Kerja ini tidak berpihak kepada masyarakat, khususnya para pekerja.

“Banyak kekhawatiran yang muncul, salah satunya bahwa Perppu ini sengaja dimunculkan untuk tetap lebih mengedepankan kepentingan investor dan tidak berpihak kepada para pekerja,” pungkasnya.  ***