Mengenal Profil KH Ahmad Sanusi, Pahlawan Nasional Asal Sukabumi

Mengenal Profil KH Ahmad Sanusi, Pahlawan Nasional Asal Sukabumi
Lihat Foto

WJtoday, Bandung -  Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menyetujui pilihan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang telah menyeleksi berdasarkan usulan masyarakat untuk menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada lima tokoh.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD selaku Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan telah memimpin jajarannya untuk menyampaikan langsung hasil seleksi kepada Presiden Jokowi dalam pertemuan di Istana Kepresidenan Bogor, Kamis (3/11).

Salah satunya, Pemerintah akan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada almarhum KH Ahmad Sanusi dari Jawa Barat.

Mahfud menjelaskan almarhum Kiai Ahmad Sanusi merupakan salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang belum mendapat gelar Pahlawan Nasional.

Beliau juga tokoh Islam yang memperjuangkan dasar negara yang menghasilkan kompromi lahirnya negara Pancasila.

"Dari semula ada sisi kanan ingin menjadikan negara Islam, sisi kiri menjadikan negara sekuler, kemudian diambil jalan tengah lahirlah ideologi Pancasila sesudah menyetujui pencoretan tujuh kata di Piagam Jakarta," sebut Mahfud.

Ahmad Sanusi atau dikenal dengan sebutan Kiai Haji Ahmad Sanusi atau Ajengan Cantayan atau Ajengan Genteng atau Ajengan Gunungpuyuh (18 September 1889 – 31 Juli 1950) adalah tokoh Sarekat Islam dan pendiri Al-Ittahadiyatul Islamiyah (AII), sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan, sosial kemasyarakatan dan ekonomi.

Pada awal Pemerintahan Jepang, AII dibubarkan dan secara diam-diam ia mendirikan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII). Ia juga pendiri Pondok Pesantren Syamsul Ulum, Sukabumi.

Selain itu, Kiai Sanusi juga pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945.

Kiai Sanusi adalah putera dari Ajengan Haji Abdurrahim bin Yasin, pengasuh Pesantren Cantayan di Sukabumi. Sebagai putera seorang ajengan (kiai), ia telah belajar ilmu-ilmu keislaman sejak ia masih kanak-kanak, selain ia juga banyak belajar dari para santri Senior|senior di pesantren ayahnya.

Menginjak usia dewasa, Kiai Sanusi mulai mengaji di beberapa pesantren di Jawa Barat. Pada usia 20 tahun, ia menikah dengan Siti Juwariyah binti Haji Afandi yang berasal dari Kebon Pedes, Baros, Sukabumi.

Setelah menikah, ia dikirim ayahnya ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam ilmu-ilmu keislaman. Ia belajar di Mekah selama tujuh tahun.

Di sana Kiai Sanusi mendapat gelar imam besar Masjidil Haram. Diaa berguru kepada ulama-ulama terkenal, khususnya dari kalangan al-Jawi (Melayu).

Pada tahun 1915, sepulang belajar dari Mekah, Kiai Sanusi kembali ke Indonesia untuk membantu ayahnya mengajar di Pesantren Cantayan.

Setelah tiga tahun membantu ayahnya, ia mulai merintis pembangunan pondok pesantrennya sendiri yang terletak di Kampung Genteng, sebelah utara desa Cantayan.

Sehingga ia kemudian dikenal dengan sebutan Ajengan Genteng. Pesantrennya tersebut ia beri nama Pondok Pesantren Babakan Sirna Genteng.

Ketika belajar di Mekah, Kiai Sanusi telah mengenal ide-ide pembaharuan dari Syeikh Muhammad 'Abduh, Syeikh Muhammad Rasyid Ridla, dan Jamaluddin al-Afghani, melalui buku-buku dan majalah aliran pembaharuan di Mesir, sehingga pengaruh tersebut menjadikannya ulama pembaharu ketika pulang ke Indonesia.

Namun demikian, ia tetap tidak meninggalkan mahzabnya, ia tetap mengikuti mazhab Syafi'i sebagaimana yang dilakukan kedua gurunya, Syeikh Ahmad Khatib dan Syeikh Mukhtar at-Tarid.

Bahkan dalam bidang ilmu fikih yang juga merupakan keahliannya, Kiai Sanusi terkenal sangat kritis terhadap dalam menentukan hukum Islam.

Kiai Sanusi dikenal sebagai ulama ahli tafsir dan fikih yang telah mengasilkan banyak karya.

Dalam bidang ilmu al-Qur'an, Kiai Sanusi berpendapat terdapat empat kategori hukum dalam al-Qur'an, yaitu:

1. Berkaitan dengan keimanan dan kebebasan beragama dalam memilih dan menjalankan ketentuan-ketentuan agama,

2. Berkaitan dengan rumah tangga dan pergaulannya seperti pernikahan dan perceraian, keturunan dan kewarisan,

3. Berkaitan dengan prinsip kerjasama antarsesama umat manusia seperti jual-beli, sewa-menyewa, gadai dan lain-lain,

4. Berkaitan dengan pemeliharaan kehidupan, yaitu berupa peraturan pidana dan perdata untuk menghukum di antara sesama manusia yang melakukan kesalahan.  ***

(Pam/ sumber wikipedia dan sumber lainnya)