Penembakan 6 Laskar FPI, Pakar Hukum Pidana: Eksekutor Bisa Diseret ke Mahkamah Pidana Internasional

Penembakan 6 Laskar FPI, Pakar Hukum Pidana: Eksekutor Bisa Diseret ke Mahkamah Pidana Internasional
Lihat Foto
WJtoday, Jakarta - Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar berpendapat, eksekutor ataupun pimpinan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang ditugaskan menghabisi enam nyawa laskar anggota Front Pembela Islam (FPI), bisa diancam pidana mati atas tuduhan melakukan pembunuhan berencana.

Fickar lantas menjelaskan, kejahatan kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.

“Eksekutor dan pimpinan yang ditugaskan dapat dikenakan sebagai kejahatan kemanusiaan (crimed against humanity), baik sebagai pelaksana, maupun intelektual dader (pelaku) dapat disangkakan pasal 340 j, pasal 338 jo, pasal 55 KUHP,” kata Fickar kepada wartawan, Rabu (16/11).


Perlu diketahui, kejahatan dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinamakan pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu. Ancaman pidana dalam pasal tersebut adalah hukuman mati atau penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Fickar menegaskan, apabila eksekutor yang secara sengaja menewaskan enam nyawa laskar FPI terbukti melanggar pasal tersebut, maka konsekuensinya teramat berat.

“Ya, (pidana mati atau) seumur hidup atau 20 tahun,” ucapnya menegaskan.

Selain itu, kata Fickar, eksekutor ataupun pihak yang menyuruhnya menghabisi nyawa warga sipil juga bisa tersandung pasal Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang mengatur tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).

"Yang berupa pembunuhan dan lain-lain. Juga bisa disangkakan melanggar Pasal 9 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM," kata dia.


Eksekutor Penembak 6 Laskar FPI Bisa Diseret ke Belanda
Selain itu, Abdul Fickar Hadjar berpendapat, hilangnya nyawa enam laskar pengawal Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab yang ditembak eksekutor merupakan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, bisa diseret ke Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag, Belanda.

“Tindakan ini bisa diadili di Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai pelanggaran HAM, bahkan bisa diadili di ICC (International Criminal Court) di Den Haag,” katanya.

Militer saja tidak diperbolehkan menembak tahanan perang yang tidak bersenjata.

Fickar menilai, eksekutor diduga anggota polisi yang ditugaskan mengamankan enam anggota FPI itu seharusnya tidak mempergunakan senjata api secara sembarangan, apalagi untuk menembak mati masyarakat sipil yang disebut-sebut tidak bersenjata.

"Dalam konteks hukum pidana internasional dalam situasi perang yang berdasarkan hukum perang, militer saja tidak diperbolehkan menembak tahanan perang yang tidak bersenjata, apalagi menembaki sipil, tindakan ini dikualifisir sebagai kejahatan perang," ujarnya.

“Jadi, orang-orang yang bersenjata sebenarnya tidak dibenarkan menggunakan senjatanya dalam keadaan aman dan normal,” ucapnya menambahkan.


Dalam kasus itu, Fickar menyayangkan lahir peristiwa penembakan yang menewaskan enam anggota FPI di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50 pada 7 Desember 2020 lalu. 

Menurutnya, terdapat kesalahan prosedur dilakukan kepolisian saat bertugas 'menguntit' rombongan Habib Rizieq Shihab.

“Polisi itu konteksnya keamanan. Jadi penggunaan senjatanya itu tidak bisa langsung menembak mati, tapi harus bertahap, yaitu mengamankan dengan melumpuhkan, menembak peringatan dengan sasaran ke atas, kemudian menembak kaki untuk melemahkan,” tutur Fickar menjelaskan.

Oleh sebab itu, Fickar menyarankan pemerintah perlu membentuk tim pencari fakta untuk mencari kebenaran agar kasus tewasnya 6 anggota FPI bisa terang benderang.

“Soal penembakan 6 orang itu mustinya Presiden Jokowi juga peka, karena yang ditembak itu warga sipil. Jadi seharusnya sebagi negarawan, presiden berinisiatif juga membentuk tim pencari fakta untuk mencari kebenaran,” ujar dia.


Pakar Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar. 


Sementara, Anggota Komisi I DPR Fadli Zon menilai kasus penembakan terhadap enam laskar FPI janggal, lantaran narasi polisi berubah-ubah.

"Dari narasi yang berubah-ubah, jelas sekali kejanggalan pembunuhan 6 anggota FPI itu," tulis Fadli lewat @fadlizon, dikutip WestJavaToday.com, pada Kamis (17/12).

Maka itu, Fadli meminta polisi bersikap transparan, termasuk membuka pelaku penembakan yang membuat nyawa enam laskar melayang. 

"Sekarang sebaiknya dibuka siapa pelaku/eksekutor penembakan. Jangan disembunyikan!" kata politikus Gerindra itu.

Sebelumnya, Kapoda Metro Jaya Irjen Fadil Imran mengaku, anggotanya sempat melakukan baku tembak melawan laskar FPI di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50 pada Senin dini hari, 7 Desember 2020 lalu. Peristiwa tersebut mengakibatkan enam nyawa melayang, semuanya dari anggota FPI. 


Namun, insiden baku tembak dibantah keras oleh Sekretaris Umum FPI, Munarman. Menurut dia, anggota FPI terbiasa bertempur dengan tangan kosong, dilarang membawa senjata ataupun bahan peledak.

Selain itu, Tim Pemantauan dan Penyelidikan yang dibentuk Komnas HAM sudah meminta keterangan dari 

Kapolda Metro Jaya, Jasa Marga, FPI, saksi, keluarga korban, dan masyarakat. Selain itu, tim juga melakukan pemantauan lapangan secara langsung serta memperdalam penyelidikan di tempat kejadian perkara (TKP). ***