Pertahankan Tuntutan 6 Tahun Penjara, JPU Pakai Keterangan Saksi Ahli Guna Tangkis Pledoi Syahganda

Pertahankan Tuntutan 6 Tahun Penjara, JPU Pakai Keterangan Saksi Ahli Guna Tangkis Pledoi Syahganda
Lihat Foto

WJtoday, Depok - Nota pembelaan (Pledoi) Inisiator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Syahganda Nainggolan ditangkis oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) melalui nota jawabannya (Replik).

Dalam sidang lanjutan yang digelar hari ini, JPU mambacakan nota jawabanya dengan menyampaikan kembali keterangan saksi ahli yang dihadirkan di dalam persidangan sebelumnya.

Di mana, mereka mengambil keterangan saksi ahli sosiolog Dr. Trubus Rahardiansyah, yang memperkuat tuntutan yang diajukan JPU yang menilai Syahganda melanggar Pasal 14 ayat 1 UU 1/1946 terkait penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran.

Salah seorang Jaksa membacakan pernyataan Dr. Trubus mengenai definisi kabar bohong atau hoax, yaitu tindakan komunikasi suatu individu atau kelompok dalam interaksi sosial yang menyampaikan suatu peristiwa yang tidak sesuai dengan realitas sosial dan fakta-fakta sosial.

Dalam replik yang ditandatangani ketua tim penuntut umum Syahnan Tanjung itu, disampaikan bahwa jika ada pernyataan terdakwa Syahganda yang memiliki ciri penyebaran berita bohong dan juga mengundang keonaran, maka bisa dipastikan memiliki unsur perbuatan hukum.

"Dengan demikian, unsur menyiarkan berita bohong terpenuhi secara sah dan meyakinkan menurut hukum," ujar Jaksa dalam sidang yang digelar di Ruang 1 Cakra, Pengadilan Negeri (PN) Depok, Kamis (15/4).

Maka dari itu, Jaksa Syahnan dalam repliknya kukuh mempertahankan tuntutannya kepada Syahganda, yang meminta Majelis Hakim untuk menghukum Syahganda 6 tahun penjara.

"Uraian-uraian replik di atas, demi terciptanya keadilan dan menjamin kepastian hukum. Maka kami JPU tidak sependapat dengan nota pledoi dari tim penasihat hukum dan terdakwa. Kami tetap semula, pada amar tuntutan kami," ucap Syahnan dalam repliknya.

"Supaya majelis hakim yang memeriksa memutuskan, menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dengan menimbulkan keonaran, sebagaimana diatur pada pasal 14 ayat 1 UU 1/1946 KUHP," tandasnya.

Dalam sidang pembacaan pledoi pekan lalu, penasihat hukum Syahganda, Abdullah Alkatiri mengatakan dalam nota pembelaannya menyebutkan bahwa tuntutan JPU tidak dapat dibuktikan.

Karena berdasarkan keterangan saksi lapangan atas nama Andika Fahreza menyatakan, dirinya yang merupakan seorang massa aksi ricuh menolak RUU omnibus law Cipta Kerja Oktober 2020 lalu, tidak terinspirasi dari cuitan Syahganda di Twitter yang menjadi materi dakwaan. Justru, dia terinspirasi mengikuti aksi karena melihat postingan di Instagram.

Sementara, Syahganda dalam pledoinya menyatakan bahwa dirinya merasa dijadikan kambing hitam oleh rezim yang tengah mengalami kemunduran demokrasi di masa sekarang ini. Selain itu juga, dia menilai JPU yang memberikan tuntutan 6 tahun penjara atas dugaan pelanggaran yang diarahkannya justru menunjukkan kesan tidak berpengalaman.

Adapun dalam sidang pemeriksaan sebelumnya, Sosiolog Trubus Rahardiansyah, juga memaparkan fungsi sosial media adalah untuk memudahkan manusia saling berkomunikasi. Dalam konteks pernyataan Syahganda di akun Twitternya, dia menilai itu telah menimbulkan keonaran.

Akan tetapi, terlihat ada kontradiksi pernyataan Dr. Trubus dengan yang di dalam BAP dan di depan persidangan. Sebab, dia sempat ditanya oleh penasihat hukum Syahganda mengenai hoax yang disampaikan di dalam kicauan clientnya.

"Saudara Ahli, Anda tadi katakan bahwa apa yang ditulis terdakwa di Twitter merupakan bentuk ekspresi aspirasi. Lalu dimana letak hoaxnya Syahganda sehingga kemudian ditahan?” tanya Abdullah Alkatiri Rabu (24/2).

"Kalau soal penahanan terdakwa itu bukan kapasitas saya (untuk menjawab)," jawab Dr. Trubus.

Selanjutnya Abullah Alkatiri bertanya lagi, apakah pernyataan Syahganda di akun Twitter, yang menjadi materi dakwaan, yang berbunyi, “Selamat bergerak kaum buruh, kawan-kawan PPMI yang akan turun berdemonstrasi menolak RUU Omnibuslaw” adalah salah.

Untuk pertanyaan ini, saksi ahli yang adalah dosen di Universitas Trisakti mengatakan pernyataan itu tidak salah, dan di dalam sosiologi termasuk sebuah ekspresi.***