Pertanyakan Klaim Penurunan Angka Kemiskinan Penduduk Jabar, Berikut Penjelasan Syahrir

Pertanyakan Klaim Penurunan Angka Kemiskinan Penduduk Jabar, Berikut Penjelasan Syahrir
Lihat Foto

WJtoday, Bandung - Wakil Gubernur (Wagub) Jawa Barat (Jabar), Uu Ruzhanul Ulum, belum lama ini telah mengklaim bahwa jumlah penduduk miskin di Jawa Barat mengalami penurunan.

Klaim Wagub UU mengenai penurunan kemiskinan Jabar ini didasari atas rilis Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat mengenai Profil Kemiskinan dan Tingkat Ketimpangan Provinsi Jawa Barat September 2022 berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan pada September 2022. 

Menurut Ketua Tim Fungsi Statistik Provinsi Jawa Barat, Isti Larasati Widiastuty, jumlah penduduk miskin pada September 2022 tercatat 4,05 juta orang (7,98 %). Posisi ini menunjukkan penurunan 17,36 ribu orang (0,08%) dibandingkan Maret 2022 namun naik 48,76 ribu orang (0,01) dibandingkan September 2022. 

Anggota DPRD Jawa Barat Syahrir mempertanyakan apakah benar penduduk miskin di Jawa Barat mengalami penurunan ?

Syahrir menilai untuk menjawab klaim tersebut  diperlukan beberapa indikator agar klaim tersebut dapat dibuktikan dengan benar.

"Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan beberapa indikator agar klaim tersebut dapat dibuktikan mengingat daya beli masyarakat yang dikategorikan miskin tidak bisa dibuktikan oleh sebuah data namun perlu pembuktian di lapangan", kata Syahrir, melalui rilis, dikutip WJtoday, Sabtu (21/1/2023).

Menurut Dia, kemiskinan adalah kondisi keterbatasan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara layak seperti keterbatasan dalam pendapatan, keterampilan, kondisi kesehatan, penguasaan aset ekonomi, ataupun akses informasi. Pengukuran ini bersifat materi atau pendekatan moneter. 

"Pengukuran dengan pendekatan moneter dapat dilakukan dengan menggunakan data pengeluaran sebagai pendekatan pendapatan rumah tangga. Kemudian data pengeluaran ini diperbandingkan dengan suatu batas nilai tukar rupiah yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum", Sebut Anggota Komisi I DPRD Provinsi Jabar itu.

Batas ini sering disebut sebagai garis kemiskinan. 

"Penduduk yang pengeluarannya lebih kecil daripada garis kemiskinan ini disebut penduduk miskin. Pemerintah menggunakan garis kemiskinan berdasarkan ukuran dari BPS yang dihitung berdasarkan data Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas)", tambahnya.

Tak hanya itu, selain dengan pendekatan moneter, kemiskinan juga dapat diukur dengan aspek lain seperti akses terhadap layanan pendidikan, kesehatan, dan informasi publik, kepemilikan barang berharga, kesempatan berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat, kebebasan berpendapat, dan sebagainya.
 
Sejauh ini, Pemerintah tidak henti-hentinya berupaya mengurangi jumlah dan tingkat kemiskinan melalui berbagai program. Dalam hal sasaran program, pemerintah memperbarui sasaran programnya serta memperbarui data penerima program dengan melakukan pemutakhiran data. 
Pemutakhiran data ini dimaksudkan agar manfaat Program pengentasan kemiskinan menjangkau kalangan yang lebih luas, yaitu rumah tangga yang terkena dampak covid 19 maupun kebijakan pemerintah (seperti kenaikan harga BBM dan pajak).

Untuk membuktikan klaim Wagub Jabar terkait penurunan jumlah warga miskin di Jawa Barat diperlukan dukungan data yang terkait dengan 14 variabel kualitatif penjelas kemiskinan.

14 variabel kualitatif penjelas kemiskinan, yaitu : 
1. luas lantai per kapita;
2. jenis lantai;
3. jenis dinding;
4. fasilitas buang air besar;
5. sumber air minum;

6. sumber penerangan;
7. bahan bakar;
8. pembelian daging/ayam/susu; 
9. frekuensi makan;
10. pembelian pakaian baru,

11. kemampuan berobat;
12. lapangan usaha kepala rumah tangga;
13. pendidikan kepala rumah tangga; dan
14. aset yang dimiliki.

Studi Pemetaan Kemiskinan dan Verifikasi Pemetaan Kemiskinan merupakan penggabungan studi yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. 

"Analisis kuantitatif menggunakan data BPS untuk memperbandingkan tingkat kesejahteraan antarwilayah" jelasnya. 

"Hasil analisis kuantitatif ini diverifikasi dengan metode kualitatif dengan cara diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) dengan pemangku kepentingan di wilayah penelitian, di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan  desa/kelurahan", tambahnya.

Ciri-ciri atau indikator yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat di tingkat provinsi, kabupaten ataupun kecamatan memiliki kemiripan seperti faktor pendidikan, kesehatan, dan penghasilan. 

"Ini menunjukkan bahwa warga setempat memiliki persepsi atau ukuran yang relatif sama dalam melihat kondisi kesejahteraan masyarakat yang ada di wilayahnya" ucap Syahrir. 

Meskipun demikian, ditemukan ciri-ciri yang lebih khusus dan cukup menjadi pembeda antara satu desa dan desa lainnya. Misalnya, kemampuan naik haji merupakan salah satu indikator kesejahteraan di suatu desa, namun bukan merupakan indikator di desa lainnya.

Dari berbagai kriteria untuk menentukan kemiskinan atau penduduk miskin yang ditetapkan oleh berbagai lembaga, dan berdasarkan studi-studi yang pernah dilakukan para akademisi, disimpulkan bahwa untuk menentukan kemiskinan di Jawa Barat diperlukan kearifan lokal bagi para pemangku kepentingan, seperti pemerintah lokal, organisasi nonpemerintah, dan lembaga lainnya. 

"Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa karakteristik kemiskinan di suatu wilayah berbeda dengan karakteristik kemiskinan di wilayah lain", kata Syahrir.
 
Syahrir menambahkan, penentuan/kriteria penduduk miskin dapat dilihat berdasarkan kelompok variabel dan variabel- variabelnya. 

"Kelompok variabel mencakup kepemilikan kekayaan/aset, kepemilikan hewan ternak, status perkawinan, jenis kelamin kepala keluarga, tingkat pendidikan kepala keluarga dan pasangannya, status bekerja atau tidak, sektor pekerjaan, akses kepada lembaga keuangan, konsumsi makanan dan indikator kesehatan, indikator kesejahteraan lainnya, serta partisipasi politik dan akses informasi", urai Syahrir.

Variabel-variabel yang termasuk dalam kelompok kepemilikan aset adalah kulkas, telepon, kipas angin, pendingin udara (AC), parabola, DVD/VCD player, televisi berwarna, televisi hitam putih, radio, tape recorder, komputer, mesin jahit, telepon genggam, perlengkapan elektronik lainnya, sepeda motor, mobil, sepeda, tanah, dan rumah. Ke pemilikan hewan ternak oleh keluarga meliputi kepemilikan atas ayam, kambing, atau sapi. Status pernikahan kepala keluarga adalah menikah atau tidak menikah. Jenis kelamin kepala keluarga adalah laki-laki atau perempuan.

"Variabel lain dalam penentuan kemiskinan adalah tingkat pendidikan kepala keluarga dan pasangannya, tambahnya. 

Adapun dalam hal bekerja, indikatornya adalah apakah kepala keluarga bekerja, pasangannya bekerja, atau bahkan ada anggota keluarga yang bekerja. Untuk sektor pekerjaan, indikatornya adalah apakah keluarga bekerja di sektor pertanian, industri, perdagangan, jasa, ataukah keluarga tersebut menerima transfer dari keluarga lain (pengangguran).

Dalam hal akses keluarga terhadap lembaga keuangan, indikatornya adalah apakah keluarga tersebut memiliki tabungan. 

Sementara itu, dalam hal konsumsi makanan, indikatornya adalah apakah keluarga tersebut makan minimal dua kali dalam sehari, dan apakah keluarga tersebut makan daging/ikan/telur minimal sekali seminggu. Dalam hal kesehatan, indikatornya adalah apakah keluarga tersebut berobat ke pengobatan modern bila sakit, apakah air minumnya diambil dari sumur yang terlindung, apakah keluarga tersebut memiliki kamar mandi sendiri, apakah luas rumahnya minimal 8 m2 per anggota keluarga, apakah rumahnya berlantai tanah, dan apakah ada anak balita dalam keluarga tersebut yang meninggal pada tiga tahun terakhir.

Indikator kesejahteraan lainnya adalah penggunaan sumber penerangan listrik, ada/tidaknya anggota keluarga yang masih dalam usia sekolah namun putus sekolah (dropped-out/DO), jumlah orang yang menjadi tanggungan kepala keluarga, dan apakah ada anggota keluarga yang menjadi korban kejahatan dalam setahun terakhir.

"Uraian di atas menunjukkan bahwa penentuan kondisi penurunan angka kemiskinan sungguh sangat kompleks, oleh sebab itulah kita perlu mengkaji kondisi di lapangan sebagai sebuat tindak lanjut pembuktian dari sebuah data yang berasal dari lembaga pemerintah", jelas Syahrir.

Pembuktian ini perlu dilakukan di saat pemerintah lebih banyak mengeluarkan kebijakan yang bernuansa liberalisasi perdagangan serta kebijakan tidak realistis. Akibatnya, harga kebutuhan pokok menjadi mahal dan tidak terjangkau oleh kantong rakyat miskin. Contoh sederhana dapat dilihat pada pencabutan dan pengetatan subsidi elpiji 3 kg. Penyesuaian kebijakan elpiji akan menyulitkan rakyat, meningkatkan jumlah penduduk miskin hingga berpotensi menaikkan inflasi domestik.

"Intinya adalah bahwa pelbagai penyesuaian kebijakan yang tidak merakyat akan menekan daya beli masyarakat" kata Dia. 

Sharir menilai, pencabutan subsidi yang tidak dibarengi kenaikan pendapatan signifikan dapat berdampak mengurangi belanja barang kebutuhan pokok masyarakat. Bahkan jika pencabutan subsidi dilakukan secara serampangan karena pesanan dari para oligarki justru pada akhirnya akan menaikkan angka kemiskinan. 

"Kondisi ini jelas menunjukkan kebijakan yang bernuansa ketidakadilan ekonomi bagi masyarakat padahal di sisi lain cukup banyak proteksi terhadap pelaku ekonomi besar", kata Syahrir.

"Berdasarkan uraian di atas, maka layak dipertanyakan kembali apa benar warga miskin di Jawa Barat telah menurun ?", pungkas Syahrir.***

Anggota DPRD Jawa Barat
H. Syahrir.,SE.,M.I.Pol