Polemik yang Timbul dari Putusan MK Perpanjang Masa Jabatan Pimpinan KPK
WJtoday, Jakarta - Pakar hukum tata negara dan aktivis antikorupsi menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perpanjangan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK bakal menimbulkan polemik. Polemik tersebut, yakni terkait kapan putusan itu berlaku.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia atau MAKI Boyamin Saiman menilai perdebatan yang muncul adalah terkait apakah putusan itu berlaku untuk periode pimpinan yang saat ini atau periode pimpinan berikutnya. “Dalam pelaksanaannya pasti itu yang akan menimbulkan perdebatan,” kata Boyamin Saiman, saat dihubungi, Kamis, (25/05/2023).
Boyamin berpendapat bahwa putusan MK tersebut seharusnya tidak berlaku untuk periode pimpinan yang sekarang. Melainkan, baru bisa berlaku pada pimpinan episode selanjutnya. “Kalau versi saya tetap 4 tahun. Lima tahun itu untuk periode selanjutnya,” kata dia.
Boyamin berkata prinsip hukum yang berlaku itu adalah tidak berlaku surut. Menurut dia, pimpinan KPK saat ini dilantik untuk masa jabatan 4 tahun. Sehingga, mereka hanya memiliki hak untuk masa jabatan tersebut. Masa jabatan 5 tahun seperti dalam putusan MK, baru bisa berlaku di pimpinan yang akan datang. “Empat tahun itu harus dipatuhi,” kata dia.
Putusan MK untuk memperpanjang masa jabatan Ketua KPK, Firli Bahuri dan para pimpinan KPK lain menimbulkan polemik lain. Banyak pihak yang menganggap keputusan MK ini tidak sesuai dengan undang-undang dan terkesan tergesa-gesa.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron mengajukan kepada MK untuk mengaudit permohonannya. Penilaian MK terhadap performa dan kinerja KPK pun menjadi alasan utama mengapa masa jabatan diperpanjang hingga 5 tahun.
Alasannya karena MK ingin menjaga independensi KPK hingga masa akhir jabatan tahun depan. Alasan pihak MK untuk segera memutus keputusan dalam waktu yang singkat ini pun juga menjadi pertanyaan besar.
Polemik yang ditimbulkan akibat keputusan MK ini pun berpengaruh terhadap ke penilaian pihak eksternal, termasuk para mantan pegawai KPK. Mantan Ketua KPK, Abraham Samad pun menyebut bahwa keputusan MK ini terdengar ambigu karena tak ada dasar hukum yang jelas.
"Putusan ini kayak ambigu juga. Seharusnya ditegaskan bahwa putusan yang dibuat MK ini juga diberlakukan kedepannya. Itu sih yang jadi permasalahan pada putusan ini. Karena dasarnya dia tidak mempertegas, padahal seharusnya dipertegas untuk peraturan baru ini. Kalau pun diterima (permohonan Ghufron), tapi putusan ini hanya bisa diberlakukan ke depannya, bukan berarti cuma sekarang,” ungkap Abraham
Tak hanya Abraham, mantan penyidik KPK Saut Situmorang juga menduga adanya kepentingan politik terhadap keputusan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK ini.
"Kalau kita lihat dari argumentasi dan nalar hukumnya, MK ini nampaknya sudah diwarnai dengan kepentingan politik. Apalagi kalau bukan kontestasi (pemilu) pada 2024,” kata Saut saat ditemui wartawan pada Kamis, (25/05/2023) kemarin.
Kontra dari berbagai pihak ini pun juga dibenarkan oleh mantan penyidik KPK, Novel Baswedan. Sebelumnya, Novel sempat mengungkap prihatin dengan kondisi KPK yang penuh dengan polemik, baik internal maupun eksternal. Kali ini, Novel pun kembali menyampaikan prihatinnya.
"Jawabannya dari keputusan ini ya innalilahi wa innailaihi raji'un. Karena kita sekarang jelas sedang prihatin dengan kondisi KPK. Lalu kemudian ada perpanjangan (masa jabatan)," ungkap Novel di Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (25/05/2023) kemarin.
Pihak lain yang juga kontra terhadap keputusan MK ini adalah Anggota Komisi III DPR, Benny K Harman yang mempertanyakan atas keputusan MK untuk perpanjangan jabatan pimpinan KPK ini. Ia pun mempertanyakan kewenangan MK dalam perubahan ini.
"Jadi apakah betul MK mengubah masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun jadi lima tahun? Sebenarnya darimana sumber kewenangan MK untuk mengubah periode masa jabatan pimpinan KPK ini?" tanya Benny di akun resmi Twitter miliknya @BennyHarmanID.
Banyaknya komentar negatif dari berbagai pihak atas keputusan MK ini pun pada akhirnya memberikan kesan buruk terhadap kinerja MK atas kewenangannya untuk mengubah masa jabatan KPK.***