Respons Keluarga dan YLBHI Atas Putusan Vonis Bebas 2 Terdakwa Unlawful Killing Laskar FPI

Respons Keluarga dan YLBHI Atas Putusan Vonis Bebas 2 Terdakwa Unlawful Killing Laskar FPI
Lihat Foto

WJtoday, Jakarta - Suhada, ayah Faiz Ahmad Syukur (22) salah satu dari enam Laskar FPI yang terbunuh menegaskan pihaknya tak percaya dengan putusan pengadilan yang mengadili dua orang terdakwa kasus unlawful killing.

Hal itu ia sampaikan merespons vonis hakim yang menyatakan dua orang terdakwa polisi dalam kasus unlawful killing dinyatakan bebas.

"Kami keluarga korban sudah tak percaya dengan pengadilan tersebut. Kami gunakan itu istilah sidang dagelan, sidang manipulasi atau sidang kamuflase. Itu dari awal sudah begitu kami seluruh keluarga korban menyikapi sidang itu," kata Suhada, Jumat (18/3).

Suhada menilai sidang dua orang terdakwa yang membunuh 6 laskar FPI belakangan ini bukan proses untuk menegakkan keadilan, melainkan proses zalim terhadap keadilan.

"Rakyat Indonesia enggak bodoh. Betapa zalimnya mereka itu para pembunuh, penguntit komandannya, otak dan dalangnya. Mereka sangat zalim," ucap dia.

Suhada tak mau ambil pusing mengenai vonis tersebut. Ia yakin bahwa perbuatan yang dilakukan para terdakwa atau otak intelektual di baliknya akan mendapatkan balasan dari Allah SWT.

"Itu akan menambah laknat dan azab bagi mereka semua. Makanya akan dibalas oleh Allah SWT. Mereka hidup dalam laknat Allah," ucapnya.

YLBHI sebut ada kejanggalan

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai, putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang memvonis lepas dua terdakwa unlawful killing atau pembunuhan di luar proses hukum terhadap empat laskar Front Pembela Islam (FPI) janggal.

Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur, memaparkan kejanggalan itu. Pertama, penilaian majelis hakim bahwa tindakan dua terdakwa yang merupakan anggota Polda Metro Jaya, yaitu Yusmin Ohorella dan Fikri Ramadhan, menembak empat laskar FPI merupakan upaya membela diri padahal kedua terdakwa tidak dalam posisi sebagai korban.

“Karena dalam pasal pembelaan itu seseorang dalam keadaan menjadi korban. Sementara polisi ini kan dalam kondisi menguasai keadaan para korban,” kata dia kepada wartawan, Jumat (18/3/2022).

Keanehan kedua terjadi dalam proses pembuktian kebenaran. Tidak ada saksi mata selain terdakwa sendiri saat insiden itu terjadi.

“Ketika ada kejanggalan harus dilihat rangkaian-rangkaian sebelumnya makanya ada namanya petunjuk. Petunjuk diambil oleh hakim tentang bagaimana sebenarnya sejak awal polisi mengejar mereka,” kata dia.

“Makanya kita harus mengacu pada temuan lain, misalnya temuan Komnas HAM,” ujar dia.

Isnur menegaskan, majelis hakim mestinya memasukan temuan Komnas HAM sebagai pembanding.

“Sebab tidak ada saksi yang bisa membantah itu (keterangan terdakwa),” ucapnya.

Komnas HAM dalam temuannya menyatakan ada pelanggaran HAM atas insiden penembakan yang menewaskan empat korban tersebut. 

Komnas HAM menyatakan, pelanggaran HAM terjadi karena korban masih hidup saat dimasukkan ke dalam mobil di Jalan Tol KM 50 Jakarta-Cikampek.

Lalu korban tewas di dalam mobil dalam kondisi sedang dalam penguasaan aparat penegak hukum.
Temuan itu telah disampaikan Komnas HAM dalam persidangan perkara itu.

Dalam putusannya hari ini majelis hakim menilai bahwa laskar FPI berusaha merebut senjata api milik Yusmin dan Fikri.

Kedua terdakwa lantas dinyatakan bersalah sesuai dengan dakwaan primer yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) yaitu sengaja menghilangkan nyawa orang lain.

Namun karena penembakan itu dinilai untuk mempertahankan diri maka majelis hakim menyatakan kedua terdakwa tak bisa dijatuhi pidana.

Vonis Bebas 

Majelis Hakim PN Jakarta Timur memvonis bebas terdakwa pembunuhan anggota Laskar FPI Ipda M Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan pada Jumat (18/3).

Briptu Fikri dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan dan penganiayaan yang menyebabkan kematian akan tetapi dalam rangka pembelaan.

"Menyatakan perbuatan terdakwa Fikri Ramadhan dan M. Yusmin sebagaimana dakwaan primer dalam rangka pembelaan terpaksa melampaui batas, menyatakan tidak dapat dijatuhi pidana karena alasan pembenaran dan pemaaf," kata Ketua Majelis Hakim M Arif Nuryanta saat membacakan amar putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (18/3).

Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut Yusmin dan Fikri dengan hukuman 6 tahun penjara. Tuntutan itu sesuai dengan dakwaan primer yakni Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan secara sengaja juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.***