Soroti Nasib Muslim Prancis Pasca Terpilihnya Emmanuel Macron Jadi Presiden

Soroti Nasib Muslim Prancis Pasca Terpilihnya Emmanuel Macron Jadi Presiden
Lihat Foto

WJtoday, Prancis - Pemilihan Presiden (Pilpres Prancis) yang berlangsung cukup sengit diakhiri dengan kemenangan petahana, Emmanuel Macron. Di putaran kedua, Macron bertarung dengan politikus sayap kanan, Marine Le Pen yang terkenal dengan retorika anti Muslimnya, salah satunya menganjurkan larangan jilbab.

Macron memperoleh 58,55 persen suara, sementara Le Pen meraih 41,45 persen. Ini adalah kali kedua Macron dan Le Pen bersaing dalam pilpres setelah pemilu 2017.

Kendati Le Pen dianggap anti Muslim, namun masyarakat Muslim Prancis banyak yang marah dengan kebijakan Macron dalam beberapa tahun terakhir. Setelah undang-undang anti-separatis yang dinilai banyak kalangan sebagai anti-muslim disahkan pada Agustus 2021, aparat menutup 718 masjid, sekolah muslim, dan lembaga yang dianggap mendukung separatis dan membekukan aset mereka senilai 40 juta euro.

Kini dengan kembalinya Macron ke tampuk kekuasaan, Muslim Prancis cemas dengan masa depan mereka. Macron dinilai bakal melanjutkan dan memperluas kebijakannya sebagaimana yang diberlakukan tahun lalu.

"Keduanya (Macron dan Le Pen) memandang Islam dan praktiknya yang terlihat sebagai "ancaman peradaban", berpandangan bahwa "separatisme Islam" harus ditentang dengan tegas," tulis Rayan Freschi, peneliti CAGE (organisasi advokasi untuk memberdayakan komunitas yang terdampak kampanye perang terhadap teror) yang berbasis di Prancis, dalam artikelnya di Middle East Eye, dikutip Selasa (26/4/2022).

Kendati Macron mengkritik gagasan larangan jilbab Le Pen, Freschi menilai Macron mungkin bakal terinspirasi keberanian gagasan Islamofobia Le Pen.

"Apapun hasil kotak suara, persekusi anti Muslim telah menang," tulisnya.

Islamofobia di Prancis semakin berkembang karena kampanye "perang melawan teror" yang berlangsung dalam dua dekade terakhir. Ambisi Prancis untuk memimpin Eropa juga membuatnya menjadi yang terdepan dalam kampanye perang melawan teror, mendorong negara-negara tetanggnya untuk mengikuti kebijakan anti-Muslimnya, menurut Freschi.

"Dengan Prancis yang saat ini memegang presidensi Uni Eropa, Macron menggunakan platform ini untuk menggambarkan pemerintahan anti-Muslim negaranya sebagai cara efisien untuk mencegah terorisme, dan bahkan mendorong Uni Eropa mengadopsi strategi keamanan bersama dengan meneladani visi Prancis," jelas Freschi.

Akibatnya, banyak Muslim Prancis yang meninggalkan negara itu, meninggalkan lingkungan yang semakin opresif. Namun, kata Freschi, ini bukan solusi yang bisa dilakukan semua orang dan masih ada jutaan Muslim lainnya di Prancis.

"Ketika situasi dalam negeri semakin mengerikan, dampak spiritual, psikologi, dan politik dari persekusi ini mengakar kuat," ujarnya.

"Di kancah internasional, Muslim dan sekutu-sekutu mereka harus tegas melawan kefanatikan Islamofobia Prancis," pungkasnya.

Larangan jilbab
Kekhawatiran semakin menguatnya Islamofobia di negara sekuler itu juga disuarakan seorang Muslim Prancis, Hiba Latreche.

Empat kandidat pilpres pada putaran pertama, termasuk Macron dan Le Pen pernah melontarkan narasi anti-Islam. Hanya satu kandidat, Jean-Luc Melenchon yang konsisten mengecam diskiriminasi terhadap Muslim. Pada putaran pertama, hampir 70 persen Muslim memilih Melenchon. Dia berada di urutan ketiga setelah Macron dan Le Pen.

"Dengan normalisasi Islamofobia, kami secara langsung merasakan konsekuensinya," kata Latreche, yang juga aktivis perempuan ini, dikutip dari CNN, Selasa (26/4/2022).

"Kami terus menerus dipinggirkan, dikeluarkan dari masyarakat dan kemudian diberitahu bahwa kami bukan bagian dari masyarakat," lanjutnya.

Bulan lalu, Mahkamah Agung Prancis memutuskan asosiasi pengacara lokal dapat melarang jilbab, dan "simbol agama" lainnya, dari ruang sidang atas nama sekularisme - memaksa perempuan berjilbab seperti Latreche harus memilih antara karir atau menjalankan perintah agama mereka.

Latreche mengatakan putusan itu sangat mengecewakan dan membuat para perempuan yang memiliki kemampuan tidak bisa berkontribusi terhadap masyarakat.

"Kami (seharusnya) punya kontrol atas hak dan tubuh dan keyakinan kami," ujarnya.

Imam Masjid Besar Prancis, Said Aalla mengatakan Muslim Prancis memiliki aspirasi yang sama dengan warga Prancis lainnya.

"Muslim Prancis telah berada di sini dalam beberapa generasi, tapi kita masih terus menganggap mereka sebagai orang asing," ujarnya.***