Syarat Wajib PCR Jadi Langkah Mundur Pemulihan Ekonomi
WJtoday, Jakarta - Anggota Komisi V DPR RI Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz mempertanyakan Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 53 Tahun 2021 tentang PPKM Level 3, 2 dan 1 di Jawa dan Bali.
Aturan yang mewajibkan semua penampang pesawat wajib tes PCR 2x24 jam sebelum keberangkatan tersebut dinilai sebagai langkah mundur dalam upaya pemulihan ekonomi nasional.
Hal tersebut diungkapkan Neng Eem dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema "Menyoal Aturan Penumpang Pesawat Wajib PCR," yang diselenggarakan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (26/10/2021). Turut hadir sebagai narasumber, Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo dan Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah.
"Menurut saya, instruksi Mendagri Nomor 53 itu merupakan kebijakan yang mundur. Sisi lain pandemi sudah melandai dan kesadaran masyarakat akan vaksinasi sudah mulai banyak, mereka sudah merasakan bahwa vaksinasi itu meningatkan imunitas mereka," kata Neng Eem.
Menurut politisi PKB ini, syarat wajib tes PCR bagi penumpang pesawat tidak diperlukan lagi. Sebab, pemerintah sudah menggelar vaksinasi secara masif dan menggunakan aplikasi PeduliLindungi sebagai salah satu syarat layak terbang calon penumpang.
Selain itu, persyaratan PCR bagi penumpang pesawat terbang berpotensi kembali menurunkan minat masyarakat untuk memilih moda transportasi udara.
Dia pun menyebut momentum landainya pandemi harusnya dijadikan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Khususnya, sektor penerbangan sebagai salah satu sektor terdampak akibat pandemi Covid-19. Mengutip Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA), ia mengatakan industri penerbangan global mengalami kerugian Rp2.867 triliun selama satu setengah tahun terakhir.
"Angka tersebut setara dengan keuntungan selama 9 tahun untuk industri penerbangan secara global," sebutnya.
"Jadi berat juga, apalagi tidak semua orang bisa masuk industri penerbangan, ditambah lagi dengan persyaratan adanya PCR padahal sebelumnya ada antigen, kenapa saat pandemi melandai justru diwajibkan PCR," tambahnya.
Baca juga: Penurunan Harga Tes PCR Tak Selesaikan Masalah
Neng Eem menambahkan, sebelumnya harga PCR berkisar dari harga Rp900.000 berlaku selama 14 hari. Namun, sekarang harga PCR antara Rp490.000-Rp500.000 ribu tetapi masa berlaku hanya 2x24 jam.
"Ini kan sama saja, jadi jangan sampai harga PCR dikurangi, namun masa berlakunya dipersempit lagi. Kasihan masyarakat kita ini masih sulit," pungkasnya.
Ketua DPR: Harga Tes PCR Jangan Lebih Mahal dari Harga Tiket
Ketua DPR RI Puan Maharani mengapresiasi Presiden Joko Widodo yang meminta harga tes PCR diturunkan menjadi Rp300 ribu dengan masa berlaku 3x24 jam, agar bisa menjadi syarat perjalanan untuk semua moda trasportasi.
Namun, Puan mengingatkan, hal tersebut masih akan membebani rakyat mengingat harga tiket transportasi massal banyak yang lebih murah dari harga tes PCR.
“Contohnya masih ada tiket kereta api yang harganya di kisaran Rp75 ribu untuk satu kali perjalanan. Begitu pula dengan tiket bus AKAP dan kapal laut. Saya kira kurang tepat bila kemudian warga masyarakat pengguna transportasi publik harus membayar lebih dari 3 kali lipat harga tiket untuk tes PCR,” kata Puan dalam keterangan tertulisnya, Selasa (26/10).
Puan memahami kebijakan tes PCR bagi semua pengguna moda transportasi bertujuan untuk mengantisipasi gelombang baru Covid-19, terutama jelang libur Natal dan Tahun Baru.
“Namun hendaknya harga PCR jangan lebih mahal dari tiket transportasi publik yang mayoritas digunakan masyarakat,” tegasnya.
Jika harga tes PCR masih lebih mahal dari tiket transportasi massal yang mayoritas digunakan masyarakat, Puan khawatir akan terjadi diskriminasi terhadap warga masyarakat.
“Apakah artinya masyarakat yang mampu membayar tiket perjalanan, namun tidak mampu membayar tes PCR, lantas tidak berhak melakukan perjalanan? Hak mobilitas warga tidak boleh dibatasi oleh mampu tidaknya warga membayar tes PCR,” kata Puan.
Baca juga: Sebut Tes PCR/Antigen untuk Perjalanan Tak Ilmiah, Pakar UGM: Tak Diterapkan Negara Lain
Selain itu, politisi PDI-Perjuangan tersebut juga menyoroti fasilitas kesehatan di daerah yang akan melakukan tes PCR jika kebijakan ini diberlakukan. “Apakah fasilitas kesehatan di semua daerah sudah mumpuni jika tes PCR jadi syarat wajib di semua moda transportasi? Ini harus betul-betul dipertimbangkan,” ucapnya.
Lebih lanjut Puan menilai, tes PCR sebaiknya tetap difungsikan sebagai alat diagnosa Covid-19. Untuk skrining, menurut Puan, tes antigen ditambah optimalisasi aplikasi PeduliLindungi sudah cukup.
“Aplikasi PeduliLindungi ini kan dibuat untuk mengetahui status seseorang. Seharusnya ini yang dimaksimalkan, bagaimana pemerintah mampu men-tracking suspect Covid-19 agar tidak berkeliaran hingga statusnya kembali hijau,” jelasnya.
Untuk menghindari gelombang ketiga Covid-19 yang diprediksi akan terjadi imbas libur panjang akhir tahun, Puan berharap pemerintah lebih menekankan penegakan disiplin protokol kesehatan (prokes) masyarakat. Selain pengetatan skrining, langkah 3T (testing, tracing, treatment) dan vaksinasi harus semakin digencarkan.
“Namun jika pemerintah merasa masih memerlukan kebijakan tambahan untuk mengantisipasi libur Natal dan Tahun Baru ini, hendaknya jangan membatasi di hilir dengan tes PCR, tetapi menerapkan kebijakan tambahan di hulu,” tandasnya. ***