Tragedi Kanjuruhan Tidak Cuma soal Sepakbola tapi Bencana Kemanusiaan

Tragedi Kanjuruhan Tidak Cuma soal Sepakbola tapi Bencana Kemanusiaan
Lihat Foto

WJtoday, Jakarta - Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher meminta pemerintah memberikan pelayanan perawatan terbaik untuk korban tragedi Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, yang terjadi akhir pekan lalu.

Pemerintah harus memberikan kepastian akan perawatan maksimal bagi para korban.

"Kemenkes harus memastikan setiap RS dan faskes memberikan pelayanan terbaik terhadap korban Kanjuruhan. Ini bukan sekadar bencana sepakbola tapi juga bencana kemanusiaan," kata Netty dalam keterangannya, Selasa (4/10/2022).

"Harus dimonitor pelaksanaan di lapangan. Jangan sampai nanti mengemuka cerita melalui platform media sosial bahwa pasien korban Kanjuruhan terlantar dan tak mendapatkan perawatan maksimal," tambahnya lagi.

Netty juga meminta pemerintah agar melakukan pendataan jumlah korban secara valid. 

"Informasi soal jumlah korban keseluruhan ini juga masih menimbulkan pertanyaan dan simpang siur. Pemerintah menyebut korban yang meninggal ada 125 orang sementara suporter Arema mengatakan lebih dari 200 orang," katanya.

Oleh sebab itu, lanjutnya, pemerintah harus memiliki data akurat dan memastikan seluruh korban dan keluarga korban mendapatkan hak yang sama seperti santunan dan sebagainya. Netty juga meminta agar kasus tragedi Kanjuruhan ini diusut hingga tuntas. 

"Kronologi, penyebab, aspek kelalaian penyelenggara hingga potensi pelanggaran personel harus diungkap secara transparan ke publik. Jangan sampai korban dan keluarga korban tidak mendapatkan keadilan yang layak," tegas Netty.

Terakhir Netty meminta pada para penyelenggara kegiatan yang melibatkan massa agar memperhatikan SOP kegiatan dengan benar. 

"Segala sesuatunya harus dapat diantisipasi sejak awal. Jangan baru terkejut setelah timbul korban akibat salah prosedur. Masyarakat juga harus waspada menjaga keselamatan dirinya," pungkasnya.

Tak Ada Berani Pasang Badan: Saya Bertanggung Jawab
Tragedi berdarah di Stadion Kanjuruhan menyisakan duka mendalam. Namun, hingga detik ini tak ada yang berani pasang dada sebagai sosok yang bertanggung jawab.

Kerusuhan pecah seketika usai kekalahan Arema FC 2-3 dari Persebaya. Banyak versi bermunculan terkait musabab tragedi yang memakan korban jiwa hingga ratusan orang.

Salah satunya mengklaim Aremania masuk lapangan untuk meluapkan kekesalan. Insiden itu direspons polisi dengan 'pentungan' dan gas air mata.

Namun, tembakan gas air mata itu tak hanya menyasar suporter yang memasuki lapangan tetapi juga ke arah tribun penonton yang menimbulkan kepanikan massa.

Akibatnya, massa penonton berlarian dan berdesakkan menuju pintu keluar hingga sesak napas dan terinjak-injak hingga meninggal dunia.

Tak dimungkiri, aksi Aremania masuk ke lapangan memang melanggar regulasi sekalipun hanya bermaksud untuk foto bersama pemain. Terlebih sebagian suporter merangsek ke lapangan dan merusak fasilitas stadion.

Namun, reaksi kepolisian untuk menembakkan gas air mata kepada suporter jadi sorotan dalam kasus ini. Pasalnya, regulasi FIFA terkait pengamanan dan keamanan stadion (FIFA Stadium Saferty dan Security Regulations), tidak memperbolehkan penggunaan gas air mata.

Sementara PSSI menyampaikan duka cita atas terjadinya korban jiwa dan mengaku belum dapat memastikan apakah kepolisian telah melakukan pelanggaran prosedur keamanan di stadion.

Sekjen PSSI juga menjelaskan alasan PT Liga Indonesia Baru (LIB) mengabaikan rekomendasi polisi untuk menggelar pertandingan Arema FC vs Persebaya pada sore hari.

Waktu pertandingan yang telah ditetapkan merupakan kesepakatan karena tidak ada suporter Persebaya yang bertandang ke Stadion Kanjuruhan.

Koordinator Save Our Soccer, Akmal Marhali, memantau pelanggaran prosedur penanganan massa itu “didiamkan” sehingga terus berulang dan memicu tragedi yang menewaskan 125 orang di Stadion Kanjuruhan, Malang.

Sebelum tragedi di Malang, Save Our Soccer mencatat sebanyak 86 suporter sepak bola tewas sejak 1995, mayoritas disebabkan oleh kericuhan.

“Kejadian seperti ini sudah berulang kali, tapi tidak ada penanganan serius dari pengelola sepak bola kita, akhirnya kita diuji dengan ujian yang lebih berat. Ini sangat memprihatinkan dan kalau masih tidak ada introspeksi, lebih baik ditiadakan saja sepak bola di Indonesia ini,” kata Akmal, dikutip dari BBC News Indonesia.

Kisah Pilu di Pintu 13 dan 14: Seperti Kuburan Massal
Di telinga Dadang Indarto, 40 tahun, warga Kelurahan Tembalangan Kota Malang, Jawa Timur, suara minta tolong selalu terngiang.

Suara itu berasal dari para korban tragedi di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022, salah satu insiden stadion paling mematikan di dunia dalam beberapa dekade terakhir.

Setidaknya 125 orang meninggal, lebih 320 lainnya luka-luka.

"Terdengar jeritan, tolong, tolong. Pandangan mata saya seolah-olah korban di depan mata. Baru semalam bisa tidur," kata Dadang, dikutip dari BBC News Indonesia.

Pria yang berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemerintah Kota Batu ini menuturkan kisah horor dimulai tiga menit usai peluit panjang wasit, tanda pertandingan usai.

Ia bergegas keluar tribun, keluar melalui Pintu 13. "Pintu ditutup, saya balik ke tribun," katanya.

Tiba-tiba terdengar tembakan gas air mata. Tembakan gas air mata kedua diarahkan polisi ke tribun penonton. Sedangkan tembakan ketiga mengenai tribun tempat Dadang berdiri.

"Saya tengkurap. Menutupi wajah dengan kaos. Baru pertama kali rasakan gas air mata yang menyengat," katanya.

Napas mulai sesak dan kulit terasa perih. Lantas ia melompat pagar tribun menuju Pintu 14. Ternyata, ia menemukan banyak penonton bergeletakan. Temannya, Dona, turut tergeletak. Dia sudah tak bernyawa.

"Kepala bocor, dia meninggal. Saya gendong ke tempat yang aman," katanya.

Lantas ia mencari bantuan polisi, namun tak ada satupun aparat yang membantu korban.

Kemudian ia berusaha menolong sejumlah penonton yang tergeletak. Para korban dibawa ke ruangan di dalam dekat tribun VIP. Ternyata di dalam, puluhan jasad suporter berjejer dekat musala.

Saat sedang menolong korban, ia menerima telepon dari kakaknya. Ia mendapat kabar bahwa keponakannya bernama Vera Puspita Ayu, 20 tahun, meninggal.

Dadang tak menyangka, saat membantu orang lain ternyata keponakannya tengah berjuang melawan maut. Vera berdesakan di antara penonton di Stadion Kanjuruhan.

"Meninggal saat perjalanan ke rumah sakit," sebutnya.

Wajah almarhumah Vera terlihat menghitam, diduga akibat terpapar gas air mata. Kesedihan tak bisa disembunyikan dari wajah Dadang, ia terpukul karena keponakannya meninggal saat menonton sepak bola.

Keluarga Vera mengembalikan santunan Rp5 juta dari manajemen Arema FC. Mereka berpendapat uang santunan tidak bisa menebus nyawa Vera.  ***