Kebijakan Baru Menuai Kritik, Unity Minta Maaf dan Tutup Kantor Sementara Karena Adanya Ancaman
WJtoday, Jakarta - Sebelumnya sekitar mimggu lalu, kebijakan terbaru dari perusahaan engine Unity membuat banyak developer game marah hingga menuai kritik dan penolakan. Hal ini dikarenakan sistem yang membuat para developer harus membayar kepada perusahaan tersebut setiap game mereka diinstall dengan cara apapun.
Desakan dan protes datang dari berbagai pihak mengenai kebijakan baru tersebut. Dan baru-baru ini, Unity Minta Maaf perihal kebijakan terbaru Runtime Fee yang mereka umumkan minggu lalu.
Permintaan maaf ini disampaikan melalui akun media sosial resmi mereka. Perusahaan ini mengatakan bahwa mereka meminta maaf atas kebijakan runtime fee yang membuat banyak pihak pusing dan cemas.
“"Kami mendengar kalian. Kami meminta maaf atas kebingungan dan kecemasan akibat kebijakan runtime fee yang kami umumkan pada selasa lalu," tulis Unity di X.
“Kami mendengarkan, berbicara dengan anggota tim, komunitas, konsumen, dan partner, dan kami akan membuat perubahan pada kebijakan. Kami akan membagikan update dalam beberapa hari kedepan”, ungkap perusahaan Engine tersebut.
Unity adalah platform mesin permainan yang digunakan oleh banyak studio besar dan kecil, dan saat ini memiliki sistem pembayaran yang cukup normal. Di mana biaya royalti dibayar berdasarkan penjualan sebuah permainan. Namun baru-baru ini, Unity mengumumkan bahwa akan diberlakukan biaya Runtime pada tahun 2024.
Pada awalnya, kebijakan ini nantinya akan berlaku pada tanggal 1 Januari 2024 dan akan membebankan biaya sebesar 20 sen untuk setiap instalasi game setelah melampaui batas 200 ribu install. Hal ini tentunya membuat berbagai pihak kaget karena dampak yang diakibatkan sangat besar.
Pengumuman ini tentunya bertujuan untuk meminta maaf dan meningkatkan kembali tingkat kepercayan terhadap engine tersebut. Saat ini, sudah lebih 100 Developer sedang berencana untuk berpindah ke engine yang baru.
Bentuk protes yang dihadirkan juga sangat banyak, mulai dari developer yang akan menghapus game mereka, membuat boikot terhadap penggunaan engine, dan bahkan yang berbahaya seperti ancaman menyangkut nyawa.
Hal ini tentunya terjadi karena bentuk penolakan keras berbagai pihak terhadap kebijakan terbaru yang dianggap merugikan. Dan dengan perubahan yang mendadak tanpa adanya pembicaraan dengan pihak atau perwakilan developer, hal ini membuat nilai kepercayaan menurun.
Perubahan harga tersebut dianggap sebagai hambatan bagi penyertaan permainan dalam bundel, hadiah, dan layanan langganan seperti Game Pass, yang akan meneruskan biaya tersebut kepada pengembang.
Sebelum meminta maaf, Unity sempat memberikan klarifikasi mengenai kebijakan terbaru ini. Namun meskipun perusahaan ini mengatakan bahwa “90 persen konsumen tidak akan terkena dampaknya”, para developer justru semakin tidak percaya.
Permohonan minta maaf ini direspon oleh berbagai pihak. Namun Unity sendiri belum memberikan penjelasan seperti apa perubahan yang akan dilakukan sehingga para developer masih skeptis dengan pengumuman tersebut.
Tutup Sementara Karena Surat Ancaman yang Diduga dari Karyawan
Ancaman ini terjadi beberapa hari usai awal pekan lalu, Unity mengumumkan aturan biaya baru untuk game-game yang menggunakan Unity Engine mereka.
Dilaporkan oleh Bloomberg, kantor Unity yang berada di Amerika Serikat harus tutup sementara karena mendapatkan surat ancaman. CEO Unity John Riccitiello awalnya dijadwalkan berbicara di depan karyawan pada Kamis pagi pekan lalu waktu setempat.
Namun, pertemuan perusahaan harus dibatalkan dan dua kantor Unity di San Fransisco dan Austin, harus ditutup karena dugaan ancaman pembunuhan ini. Pembicara dari Unity mengungkapkan bahwa mereka sudah melakukan investigasi mengenai hal tersebut dan demi keselamatan karyawannya, mereka menutup beberapa kantor Unity.
Namun tampaknya, dilansir dari Polygon, polisi San Fransisco mengungkapkan bahwa ia telah mendapatkan laporan mengenai ancaman tersebut, di mana, surat ancaman ini berasal dari karyawan Unity yang membuat ancaman ke atasannya menggunakan media sosial. Pihak pelapor juga mengatakan bahwa karyawan tersebut bekerja di bagian luar negara, tetapi mereka tidak dapat menjangkau yurisdiksi luar untuk membuat laporan.***