Harga Beras Masih Tinggi dan Perwujudan Kedaulatan Pangan

Harga Beras Masih Tinggi dan Perwujudan Kedaulatan Pangan

WJtoday, Bandung - Anggota Komisi IV DPR RI Ansy Lema mengatakan, selama ini dari tahun ketahun harga beras dan jumlah total impor semakin tinggi. 

Selama ini, pemerintah masih bekutat pada persoalan mewujudkan ketahanan pangan atau food security, padahal dalam konstitusi disebutkan untuk terwujudnya kedaulatan pangan.

“Berbicara pangan, ini soal bicara hidup dan matinya sebuah bangsa karena ini aspek esensial dan primer, kita tidak boleh tergantung pada impor dari luar terus menerus. Berarti sebenarnya kan rupiah atau uang kita itu kan lari keluar negeri dan menguntungkan petani luar." ujar Ansy dalam keterangannya, dikutip Selasa (2/4/2024).

"Nah, persoalan ini yang hari ini belum bisa dijelaskan oleh seluruh stakeholder yang mengurus tentang pangan, terutama beras ini,” imbuhnya menegaskan.

Menurut Politisi F-PDI Perjuangan ini, untuk menyelesaikan akar persoalan ini perlu diagnosa yang tepat, sehingga akan menghasilkan kebijakan yang tepat. 

Persoalannya apakah masalahnya di sisi Bulog yang tidak mampu menyerap gabah petani dalam jumlah yang banyak atau memang persoalannya adalah di hulu (Kementerian Pertanian) yang bermasalah dari aspek produksi padi.

“Nah, ini yang selalu menjadi ketegangan antara aspek hulu dan juga aspek dihilir, sedangkan rakyat yang mengalami penderitaannya. Petani juga kalau kemudian yang masuk itu adalah beras impor dalam jumlah besar tentu membuat mereka sulit,” ungkap Ansy.
 
Legislator Dapil NTT II ini menyatakan, selama ini masing-masing institusi negara yang mengurus tentang pangan ini berjalan sendiri, tidak heran Indonesia akan selalu berputar-putar dan mengulangi persoalan klasik, yakni, ketergantungan yang tinggi pada impor dan juga harga pangan ataupun beras yang terus mahal.
 
“Sementara kesejahteraan petani kita terus menurun dan kemudian konsumen dipaksa untuk membeli dengan harga yang relatif mahal. Jadi, kalau saya melihat, BULOG selama ini hanya melakukan kerja-kerja penyelamatan agar kemudian stabilisasi harga ini bisa berjalan dan seolah-olah stabilisasi itu hanya bisa dilakukan melalui importasi,” tutup Ansy. 

Indonesia Doyan Impor Beras
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan alasan Indonesia masih melakukan impor beras. Dia mengatakan impor masih dilakukan karena sulit untuk mencapai swasembada terlebih penduduk Indonesia terus bertambah.

"Kita mengharapkan adalah kita ini ingin tidak impor beras lagi, tapi itu dalam prakteknya sangat sulit karena produksinya gak mencapai, karena setiap tahun penduduk kita bertambah yang harus diberikan makan," kata Jokowi di acara Pembinaan Petani Jawa Tengah, di Banyumas, Minggu (21/1).

Jokowi memperkirakan setidaknya ada 4 juta - 4,5 juta bayi yang lahir setiap tahun. Sehingga kebutuhan terhadap pangan seperti beras akan bertambah setiap tahun.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, Indonesia merupakan negara net importer atau pengimpor bersih beras. Artinya, mengutip definisi di laman investopedia, net importer adalah negara yang membeli lebih banyak barang dari negara lain dalam perdagangan global, dibandingkan menjualnya ke negara tersebut dalam periode waktu tertentu.

BPS mencatat, ketergantungan Indonesia akan beras impor berpotensi semakin meningkat. Hal itu disampaikan Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti saat saat Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi tahun 2023.

"Indonesia merupakan net importer beras. Kalau dilihat ketergantungan kita akan beras impor, ada tren meningkat," kata Amalia, Senin (11/9/2023).

Dia pun menjabarkan asal impor beras Indonesia. Yaitu, pada periode Januari-Juli 2023, sumber utama impor beras terbesar berasal dari Thailand, Vietnam, India, dan Pakistan.

"Impor beras terbesar sepanjang Januari-Juli 2023 berasal dari Thailand dengan volume 658 ribu ton atau mencakup 49,39% dari total impor beras," demikian mengutip paparan Amalia.

Dijabarkan, impor beras dari Vietnam pada periode sama adalah sebanyak 561 ribu ton atau dengan porsi 42,11%, kemudian dari India 66 ribu ton dengan porsi 4,93%, lalu Pakistan sebanyak 43 ribu ton dengan porsi 3,21%.

Seperti diketahui, pemerintah memerintahkan Perum Bulog mengimpor beras konsumsi untuk mengisi cadangan beras pemerintah (CBP) yang terus menyusut sejak akhir kuartal tahun 2022 lalu. Di saat bersamaan, harga beras merangkak naik sejak Agustus 2022, dan dalam sebulan terakhir terus melonjak signifikan, bahkan berulang kali cetak rekor.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian menyatakan Indonesia berpotensi impor beras sebesar 5 juta ton pada tahun 2024. 

Alasan impor beras akibat El Nino juga dinilai tidak memiliki argumentasi kuat. Pasalnya, berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia kerap mengimpor beras sepanjang tahun 2014-2023. Terbesar, Pemerintah Indonesia memutuskan impor beras sebesar 3,06 juta ton pada tahun 2023.

Ilusi Kedaulatan Pangan
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih memaparkan pelaku usaha dalam konsep kedaulatan pangan adalah rakyat, koperasi, dan UMKM. Sementara, ketahanan pangan justru memungkinkan korporasi dan petani menengah-besar menguasai lahan, buruh tani, dan hak guna usaha. 

“Konsep kedaulatan pangan adalah hak tiap negara dan rakyat untuk memutuskan kebijakan pangan secara mandiri, tidak tergantung pada pasar bebas,” ucap Henry dalam diskusi dengan tajuk “Tantangan Kedaulatan Pangan: Food Estate dan Contract Farming” beberapa waktu lalu.

Henry menjelaskan bahwa food estate tak lain adalah replikasi dari plantation estate yang merupakan sistem peninggalan era kolonial sejak tahun 1870. Saat itu, plantation estate menjadi akhir dari model pertanian tanam paksa yang diilhami semangat liberalisme di Eropa agar perusahaan korporasi swasta bisa berinvestasi di sektor pertanian. 

Sistem tersebut telah diberhentikan pada masa kekuasaan Soekarno dengan reforma agraria untuk merombak program kolonial. Namun, semenjak berkuasanya Soeharto, perusahaan perkebunan tersebut dikembalikan ke pemilik asing. 

“Jadi, misalnya kalau ada perusahaan-perusahaan sekarang yang namanya sipef, lonsum dan juga uniroyal itu dulu sempat diambil alih oleh negara,” ucap Henry.

Selanjutnya, Henry menuturkan bahwa konsep food estate dan contract farming bukanlah konsep yang sesuai dengan kerangka berpikir kedaulatan pangan, melainkan ketahanan pangan. Agenda ketahanan pangan tersebut menurutnya justru dibayangi keinginan untuk menciptakan liberalisasi bidang pertanian seperti yang didorong oleh World Trade Organization (WTO). 

Hal tersebut mengakibatkan pertanian dikuasai oleh korporasi dan petani menengah/besar yang mempekerjakan buruh tani. 

“Dan tentunya dengan konsep ketahanan pangan ini, hilanglah kedaulatan masing-masing negara untuk mengatur kebijakan pangannya,” sebut Henry.

Ketua Dewan Penasihat Partai Buruh Roy Murtadho menjelaskan masalah kedaulatan pangan tidak bisa diselesaikan di ranah akar rumput saja, tetapi di tingkat kebijakan eksekutif dan legislatif. 

Ia merasa bahwa hal tersebut tidak bisa begitu saja diterapkan dalam skala nasional. Kemudian, Ia menambahkan bahwa sinergi antara kebijakan dan kondisi di lapangan harus ditingkatkan. 

“Harus ada semacam rumusan atau policy paper yang kita keluarkan untuk tingkat kebijakan baik legislatif maupun eksekutif,” ujar Roy.

Tak luput, Roy mengingatkan kembali bahwa kebijakan food estate yang akan dilaksanakan oleh pemerintahan Joko Widodo disebabkan oleh perkiraan akan adanya kerawanan pangan akibat dari Covid-19. 

“Anehnya setelah pandemi berakhir, kebijakan tersebut masih terus berlanjut. Bahkan, kawasan yang dulunya ditanami sagu justru dibabat habis,” ucap Roy. 

Ia menyebutkan hal ini berimbas pada masyarakat yang tidak dapat mengonsumsi makanan sesuai dengan keinginannya.  ***