Keberadaan Oposisi sebagai Cara Merawat Demokrasi

Keberadaan Oposisi sebagai Cara Merawat Demokrasi

WJtoday, Bandung - Mengapa mahasiswa dan civitas akademika turun menggelar demo? Gerakan mahasiswa itu seperti koboi yang datang dari jauh, kemudian menembaki semua bandit di sebuah kota. Pada akhirnya koboi itu memacu kencang kuda untuk membasmi kejahatan di kota lainnya lagi.

Gerakan itu bisa juga menjadi oposisi jalanan. Praktis selama Presiden Joko Widodo berkuasa seluruh kekuatan oposisi dijinakkan. Jika kita menganut sistem demokrasi tanpa oposisi, siapa yang akan mengerem penyalahgunaan wewenang para politikus?

Ya, akhirnya mahasiswa yang akan turun ke jalan. Sayangnya oposisi yang terlembaga di Indonesia tidak tumbuh dengan baik. Jika pemerintahan menganut sistem parlementer, sistem oposisi sangat dimungkinkan. 

Kekuatan oposisi biasanya mempunyai kabinet bayangan dengan struktur sama seperti kabinet pemerintahan. Para menteri di kabinet bayangan itu menyampaikan pandangan kaum oposisi dan kadang kala harus mengambil kebijakan yang berbeda dengan pemerintahan.

Beginilah cara kerja demokrasi yang selalu ribut dan menimbulkan kekacauan. Tidak ada demokrasi yang tidak ribut. Kita tahu pada rezim nondemokratis, tanpa ada keributan yang kentara, tiba-tiba rezim melarang warga negara melakukan sesuatu, menulis kritik di media massa dianggap melawan negara, atau demonstrasi termasuk tindakan pidana jika tidak melapor terlebih dahulu. 

Terlebih usai Mahkamah Konstitusi memutuskan penolakan PHPU, jurus Jokowi melemahkan oposisi seperti ditiru oleh calon presiden terpilih Prabowo Subianto dengan merangkul Partai Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa. Praktis yang tersisa berpotensi menjadi oposisi adalah Partai Keadilan Sejahtera dan PDI Perjuangan.

Jika kemudian keduanya berbalik arah mendukung pemerintahan terpilih, bisa dibayangkan sistem pemerintahan kita tidak ada kekuatan oposisi, dan ini bukan cara menyelenggarakan negara secara demokratis.

Oposisi dalam Demokrasi
Dalam realitas politik pengakuan dan pelaksanaan atas demokrasi di suatu negara tidak akan banyak berarti jika pemerintah yang ada berjalan tanpa pengimbang atau tanpa kontrol yang efektif dari oposisi. 

Pemerintah sedemikian sesungguhnya lebih dekat dengan sebentuk pemerintahan oligarkis atau otoriter ketimbang pemerintahan demokratis. Indonesia sebagai sebuah negara yang mengakui demokrasi hingga kini belum dapat dikatakan sebagai negara yang berhasil dalam menumbuhkan oposisi yang kuat. 

Secara historis lembaga politik terbentuk sebagai hasil interaksi dan akibat konflik yang terjadi antara berbagai kekuatan sosial, maupun karena perkembangan tahap demi tahap berbagai prosedur dan sarana yang diperlukan untuk mengatasi konflik tersebut. 

Interaksi dan kecenderungan konflik akan meningkat seiring dengan semakin kompleksnya hubungan sosial. Dalam kenyataan yang demikian, pembentukan lembaga politik merupakan suatu tuntutan kebutuhan, karena semakin kompleks semakin besar tuntutan untuk membentuk lembaga politik yang lebih mantap dengan tujuan mempertahankan kelangsungan hidup komunitas.

Lembaga politik memiliki peran mengambil keputusan dalam mengatasi permasalahan yang ada diberbagai sektor kehidupan. Idealnya, lembaga politik harus mampu mengeluarkan keputusan yang diorientasikan untuk kepentingan umum. 

Upaya keputusan tersebut agar dapat sesuai dengan kebutuhan masyarakat adalah dengan mengenali kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dengan demikiran, masyarakat harus memiliki peran dalam kehidupan bernegara yang diwadahi oleh suatu organisasi yang memiliki kekuatan untuk menyuarakan kebutuhan rakyat. 

Rakyat akan mampu berperan aktif dalam negara ketika organisasi tersebut memiliki kekuatan yang bisa dipakai dalam pemerintahan sehingga haruslah memiliki kekuasaan dan kewenangan. Hal demikianlah yang menjadi sebab adanya partai politik. 

Partai politik memiliki nilai nilai, orientasi, dan ideologi yang akan dibangun dalam mewujudkan kepentingan umum dengan cara meraih dukungan rakyat. Pandangan ideal rakyat untuk hidup saat ini atau dimasa mendatang akan disalurkan melalui partai politik dan diwujudkan melalui kekuasaan dan kewenangannya dalam pemerintahan.

Indonesia telah memiliki sistem demokrasi sebagai cara untuk mengelola kehidupan bernegara. Oleh karena itu lembaga politik biasanya tak terlepas dengan partai politik. 

Oleh sebab itu, partai politik ditempatkan sebagai salah satu instrumen penting dalam perwujudan demokrasi bangsa. Tidak dapat dipungkiri bahwa partai politik adalah pilar dari sistem demokrasi. Lima Fungsi partai politik dalam Pasal 11 ayat 1 UU No. 2 Tahun 2008, pun menambah argumen bahwa partai politik memang menjadi sebuah pilar dari sistem demokrasi.

Dalam kehidupan politik, kehadiran oposisi telah menjadi dinamika dan tatanan demokrasi yang sangat penting. Oposisi berguna untuk menjaga persaingan diantara para elite politik untuk berkompetisi dalam membangun negara. 

Oposisi kerap dikaitkan dengan sistem parlementer yang tidak lazim bagi sistem presidensial. Hal ini dipertegas oleh beberapa elit politik di Indonesia. Tak heran jika oposisi masih mencerminkan watak yang akomodatif dan pragmatis, sehingga presiden dapat selalu melakukan kompromi dengan DPR.

Oposisi memang tidak mudah untuk dilakukan, banyak rintangan yang kerap kali harus dilewati di tengah sistem presidensial yang dianut oleh indonesia.

Pemerintahan Tanpa Oposisi Cenderung Korup, Otoriter, dan "Abuse of Power"
Selepas pemungutan suara pemilihan presiden (pilpres), kubu calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) nomor urut 2, Prabowo-Gibran, memberikan sinyal akan merangkul lawan politiknya. 

Sinyal itu semakin kuat usai Prabowo-Gibran usai resmi ditetapkan oleh KPU sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih setelah MK menajatuhkan palu menolak PHPU.

Namun, peneliti sekaligus Direktur Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo menilai tidak selalu politik rekonsiliasi berdampak baik. 

"Rekonsiliasi itu sesuatu hal yang baik ya, itu positif. Nah, tetapi rekonsiliasi yang sekadar hanya untuk memperkuat posisi eksekutif itu bisa menimbulkan dampak negatif, bisa menimbulkan mudarat," kata Karyono seperti dilansir kompas.com, Rabu (22/2/2024).

Dia berpandangan, partai oposisi diperlukan guna menjadi penyeimbang dalam pemerintahan. Sebab, menurut dia, pemerintahan tanpa oposisi memiliki kecenderungan untuk korup dan otoriter. 

"Kalau menurut saya, perlu ada oposisi ya, (agar) ada check and balance. Pemerintahan yang tanpa oposisi itu akan cenderung korup, akan cenderung otoriter, akan cenderung melakukan abuse of power," jelasnya.

Oleh karenanya, dia berharap usai Prabowo-Gibran resmi memenangkan pilpres, sebaiknya partai dari lawan politiknya tetap berada di luar pemerintahan.

Oleh karenanya, dia berharap jika Prabowo-Gibran resmi memenangkan pilpres, sebaiknya partai dari lawan politiknya tetap berada di luar pemerintahan. 

"Saya lebih mendorong bagaimana PDI-P, PKB (Partau Kebangkitan Bangsa), Nasdem, PKS (Partai Keadilan Sejahtera) itu lebih memilih oposisi untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah supaya ada check and balance," tandasnya.

Prabowo keliru jika menilai konsolidasi partai-partai politik dalam satu barisan pendukung pemerintah bakal memperkuat lima tahun kedua masa pemerintahannya. Di atas kertas, itu bisa terjadi.

Jika kemudian ia memberikan konsesi politik amat besar kepada partai pendukungnya dan mengakomodasi para politikus untuk menjadi menteri di kabinetnya. Hasilnya bukan stabilitas politik, melainkan kabinet yang lamban dan sulit dikendalikan. Para menteri dari partai politik cenderung masih loyal kepada pemimpin partai masing-masing.

Karena itu, ketimbang membagikan jatah menteri ke partai, JokPrabowo lebih baik mengisi kabinet dengan lebih banyak orang profesional-yang kompeten dan berintegritas, tentu saja. Tak perlu susah payah merangkul banyak partai yang bakal merepotkan dia sendiri.

Dia harus sadar bahwa demokrasi bukanlah semata-mata mekanisme untuk mencapai konsensus politik. Demokrasi memerlukan disensus-ketidaksepakatan-untuk memperbaiki diri terus-menerus. Dengan demikian, keberadaan oposisi merupakan cara untuk merawat demokrasi itu sendiri.

Terbentuknya pemerintahan tanpa oposisi juga menafikan seluruh perdebatan janji-janji kampanye selama pemilihan presiden lalu. Dua kubu yang sebelumnya menawarkan gagasan yang kerap bertolak belakang kini bekerja bersama dalam satu barisan. Aspirasi politik jutaan pemilih seolah-olah dibuang ke tong sampah.  ***

(Pam: dari berbagai sumber)