Mempertanyakan Asas Adil dalam Pemilu dan Etika Politik Ketika Presiden Memihak

Mempertanyakan Asas Adil dalam Pemilu dan Etika Politik Ketika Presiden Memihak

WJtoday, Bandung - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan aturan terkait kampanye telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Menurut Presiden, undang-undang tersebut juga menjelaskan presiden dan wakil presiden memiliki hak untuk melaksanakan kampanye.

“Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 jelas menyampaikan di pasal 299 bahwa presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye. Jelas,” ujar Presiden dalam keterangannya yang ditayangkan Youtube Sekretariat Presiden pada Jumat (26/1).

Selain itu, Presiden mengatakan dalam Pasal 281 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga diatur mengenai beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh presiden dan wakil presiden jika melakukan kampanye.

“Tidak menggunakan fasilitas dalam jabatan, kecuali fasilitas pengamanan dan menjalani cuti diluar tanggungan negara,” ungkap dia.

Presiden pun minta masyarakat dan seluruh pihak untuk tidak membuat interpretasi yang berbeda terkait pernyataannya beberapa waktu yang lalu. 

Dia menegaskan pernyataanya terkait Presiden boleh memihak adalah ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Sudah jelas semuanya kok, sekali lagi jangan ditarik ke mana-mana. Jangan diinterpretasikan ke mana-mana. Saya hanya menyampaikan ketentuan aturan perundang-undangan karena ditanya,” ucap Jokowi.

Pernyataan tersebut sontak menuai protes dari banyak kalangan, bahkan para akademisi kian lantang menyuarakan, bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi, serta mencederai azas adil dalam pemilu, dan mengabaikan etika dalam berpolitik.

Perlu diketahui Isi Pasal 299 UU Nomor 7 Tahun 2017 secara lengkap agar dapat dipahami utuh, sebagai berikut:

1) Presiden dan wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan Kampanye
2) Pejabat negara lainnya yang berstatus sebagai anggota Partai Politik mempunyai hak melaksanakan Kampanye.
3) Pejabat negara lainnya yang bukan berstatus sebagai anggota Partai Politik dapat melaksanakan Kampanye, apabila yang bersangkutan sebagai :
a. calon Presiden atau calon Wakil Presiden
b. anggota tim kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU atau
c. pelaksana kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU.

Jadi jika dilihat dari penjelasan poin 3 a dan b, kita dapat menangkap pengertian pejabat negara boleh berkampanye adalah ketika dia maju sebagai petahana atau menjadi anggota tim kampanye yang terdaftar di KPU.

Asas Adil dalam Pemilu
Adapun yang dimaknai sebagai pemilu sebagaimana diartikan Pasal 1 angka 1 UU 7/2017 adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Asas pemilihan umum (Pemilu) yang dikenal sebagai Luber Jurdil menjadi dasar pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, asas memiliki makna dasar dalam berpikir dan berpendapat, dasar cita-cita organisasi, serta hukum dasar.

Selanjutnya, asas-asas Pemilu  dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan, baik dalam UU maupun UUD. Menurut Undang-undang pasal 2 No. 7 Tahun 2017 menjelaskan asas pemilu sebagai prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, yang dikenal sebagai luber dan jurdil.

Dalam konteks pelaksanaan Pemilu di Indonesia, asas “Luber” yang merupakan singkatan dari “Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia” telah ada sejak zaman Orde Baru. Selanjutnya, di era reformasi, muncul juga asas “Jurdil” yang merupakan singkatan dari “Jujur dan Adil”.

Asas adil menjamin bahwa setiap pemilih dan peserta Pemilu akan diperlakukan secara sama dan bebas dari kecurangan pihak mana pun dalam penyelenggaraan Pemilu.

Ketika seorang Presiden terang-terangan menyatakan diri berpihak kepada salah satu peserta pemilu atau mendukung pasangan calon Presiden dan wakilnya dalam kontestasi, tentu secara terang pula asas adil ini tidak terpenuhi, atau dicederai.

Apalagi secara terang benderang pula ketika salah satu yang didukungnya adalah putra dari Presiden, yang maju sebagai salah satu calon wapres, kita mempertanyakan masih adakah asas adil itu?

Sebagaimana diketahui,  pemilu merupakan cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Adapun tujuan diselenggarakannya pemilu adalah sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Sementara tujuan dari pengaturan penyelenggaraan pemilu sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4 UU 7/2017, antara lain:
1. Memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis.
2. Mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas.
3. Menjamin konsistensi pengaturan sistem pemilu.
4. Memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam pengaturan pemilu.
5. Mewujudkan pemilu yang efektif dan efisien.

Kita pun bisa berkesimpulan, ketika seorang Presiden berkampanye dan terang-terangan menyatakan keberpihakan dalam pemilu, sistem ketatanegaan kita tidak demokratis, dan pemilu yang diselenggarakan tidak bertintegritas. 

Etika Politik
Etika politik adalah praktik pemberian nilai terhadap tindakan politik dengan berlandaskan kepada etika. Etika sendiri sering disamakan dengan moral. Sebenarnya etika merupakan cabang dari filsafat yang di dalamnya mencakup filsafat moral atau pembenaran-pembenaran filosofis. 

Etika dan moral memiliki perbedaan dari segi perspektif dan esensi pengertiannya. Moral merupakan ajaran tentang perilaku baik dan buruk yang berperan sebagai panduan bertindak manusia. 

Sementara etika adalah cabang filsafat yang menyoroti, menganalisis dan mengevaluasi ajaran-ajaran tersebut, tanpa perlu mengajukan sendiri tentang ajaran yang baik dan buruk.

Menurut Muhammad Nasaruddin, etika politik adalah upaya untuk memperluas lingkup kebebasan dan menciptakan institusi yang lebih adil. Yang dimaksud kebebasan adalah partisipasi masyarakat dalam kehidupan sosial-politik, termasuk berserikat, berpendapat, dan pers tanpa tekanan.

Dikutip dari wikipedia, etika politik bertujuan untuk mempertahankan prinsip-prinsip moral yang digunakan untuk mengatur politik di dalam masyarakat. Tujuan etika politik berkaitan dengan cara pertanggungjawaban politikus terhadap tindakan politiknya dan legitimasi moral. 

Etika politik juga bertujuan memberikan aturan-aturan dalam pemberian pengakuan wewenang agar tetap sesuai dengan kehidupan masyarakat.

Etika adalah nilai-nilai moral yang menjadi pedoman bagi manusia dalam menentukan mana yang baik dan buruk. Dalam konteks perpolitikan masa kini, etika merupakan pedoman bagi para politikus dan penyelenggara negara untuk melakukan hal-hal yang baik dan menjauhi yang buruk. 

Etika politik juga dapat dijadikan sarana untuk merefleksikan kualitas moral para politikus dan penyelenggara negara. Dengan demikian, pemerintah dan politikus dapat menciptakan program kebijakan yang berpihak pada rakyat demi mencapai kesejahteraan bersama. 

Selain itu, etika politik perlu dimiliki oleh pemerintah dan politikus agar terhindar dari sikap mementingkan diri sendiri dan kelompoknya, agar tidak terjerumus kedalam otoritarianisme.

Otoritarianisme adalah bentuk organisasi sosial yang ditandai oleh penyerahan kekuasaan. Ini kontras dengan individualisme dan demokrasi.

Dalam politik, suatu pemerintahan otoriter adalah satu di mana kekuasaan politik terkonsentrasi pada suatu pemimpin. Otoritarianisme biasa disebut juga sebagai paham politik otoriter, yaitu bentuk pemerintahan yang bercirikan penekanan kekuasaan hanya pada negara atau pribadi tertentu, tanpa melihat derajat kebebasan individu.

Dengan demikian, dalam menjalankan kehidupan berpolitik diperlukan etika politik agar keadilan dapat ditegakkan. Etika politik ini perlu terus ditekankan setiap waktu sebagai pengingat bagi setiap orang yang terlibat dalam politik. Tanpa etika politik, kehidupan bernegara akan menjadi kacau.

Kita kemudian lalu mempertanyakan, ketika seorang Presiden terang-terangan mengambil sikap berpihak dalam sebuah pesta demokrasi masih baikkah etika politiknya?  ***

(Pam: dari berbagai sumber)