Ironi Guru: Mencerdaskan Generasi Bangsa dan Masalah Kesejahteraan

Ironi Guru: Mencerdaskan Generasi Bangsa dan Masalah Kesejahteraan

WJtoday, Bandung - Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan Hari Guru Nasional (HGN) harus menjadi momen pengingat semua pihak agar meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru di Indonesia. Ia mengingatkan peringatan ini jangan terbatas hanya jadi sekadar seremonial saja.

“Guru juga harus bisa menggali semua peroalan-persoalan yang ada pada siswa-siswanya dan siap untuk mengembangkan potensi para siswa,” tutur Ledia melalui rilis, di Jakarta, dikutip Minggu  (26/11/2023).

Bagi Politisi Fraksi PKS itu, guru bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Ia mendorong setiap stakeholder untuk mendukung peningkatan kualitas dan komptensi guru agar bisa menjadi sosok teladan bagi siswa dengan penuh kasih sayang.

“Pertama, guru adalah teladan. Kedua, guru harus bisa menjadi kawan komunikasi anak-anak kita. Ketiga tentu guru adalah orang-orang yang bisa memahami bagaimana potensi anak-anak kita,” ungkapnya.

“Guru harus mendapatkan kemerdekaannya dalam mengajar agar mereka bisa terus berkembang dan memberikan dorongan terbaik bagi putra/ putri kita." dia menambahkan.

Selanjutnya, Ledia menilai stakeholder juga harus bisa mendampingi guru agar bisa melejitkan potensi-potensi yang dimiliki. Di sisi lain, ia berharap guru juga dapat berkomunikasi dengan sekolah dan orang tua dan lingkungan, bagaimana tentang pengembangan pribadi para siswa ini. 

Menurutnya, lahirnya peristiwa ‘sadis’ dan di luar nalar yang terjadi pada siswa seperti anak SD melompat dari lantai empat, hingga ada penusukan pada teman sebayanya itu disebabkan hilangnya prinsip dalam dunia pendidikan.

“Ayo kita memfokuskan kepada pengembangan karakter siswa kita dengan menjadi teladan yang baik. Kemudian ketika ada kurikulum merdeka ini enggak boleh hilang itu prinsip dasar yang tadi,” kata Ledia.

Dirinya juga menilai, hal ini bukan hanya menjadi tugas seorang guru, tapi juga peran orang tua dan orang dewasa yang ada di lingkungan sekitarnya. 

Oleh karena itu, pihaknya mendorong peningkatan kualitas, kemampuan, dan kesejahteraan para guru agar mereka bisa melaksanakan tugasnya dengan baik tanpa terbebani persoalan-persoalan yang lain.

“Mari kita sama sama memberikan kebahagiaan pada guru ketika anak-anak mendapat kesempatan merdeka belajar maka guru pun harus mendapatkan kemerdekaannya dalam mengajar agar mereka bisa terus berkembang dan memberikan dorongan terbaik bagi putra/ putri kita,” pungkasnya.

Mengabdi Puluhan Tahun, Gaji Masih 300 Ribu per Bulan?
Anggota Komisi X DPR Andi Muawiyah Ramly menegaskan agar Pemerintah Indonesia meningkatkan kesejahteraan guru secara signifikan.

Baginya, setiap memperingati Hari Guru Nasional pada tanggal 25 November, Pemerintah Indonesia perlu melakukan evaluasi dengan memulai dari sebuah pertanyaan dasar yaitu ‘kapan guru Indonesia sejahtera’.

“Mengapa hal ini terjadi di tengah keterbatasan guru saat ini. Mengapa 3 kementerian, (yaitu) KemendikbudRistek, PAN RB dan Kementerian keuangan mati akal bila dihadapkan dengan persoalan guru,” ungkap Amure, sapaan akrabnya, melalui rilis, di Jakarta, Sabtu (25/11).

Lebih lanjut, Politisi Fraksi PKB itu mempertanyakan, setiap ada penerimaan guru, baik skema reguler maupun PPPK, mengapa mereka kerap berhadapan dengan regulasi bagai benang kusut. 

Berdasarkan laporan yang diterimanya, guru honorer sudah bekerja 15 sampai 20 tahun masih hanya memperoleh gaji sebesar Rp200.000 sampai Rp300.000 per bulan.

Tidak hanya itu saja, Amure menilai afirmasi penerimaan 1 juta guru honorer 3 tahun terakhir masih jauh dari harapan. 

“Di samping kuota tidak terpenuhi karena ketakutan bupati terbebani APBD. Mereka yang lolos lobang jarum kecil birokrasi juga bukan tanpa masalah, mulai dari penempatan sampai honor yang 3 bulan belum terbayar,” terangnya.

Di tengah sengkarutnya masalah pendidikan, Amure berharap guru-guru di Indonesia tidak berputus asa dan semangat mencerdaskan generasi muda bangsa. 

“Semoga pengorbanan tidak menurunkan semangat mencerdaskan bangsanya. Selamat wahai para guru yang mulia,” tutup dia.

Minimnya Kesejahteraan Guru Honorer di Indonesia
'Pahlawan tanpa tanda jasa'. Itu ungkapan usang yang kita kenal untuk disematkan kepada guru. Di negeri hijau dan subur Indonesia, guru bukan menjadi profesi kebanggaan dan tidak pula didambakan.

Menjadi guru tidak hanya menguras tenaga dan pikiran, hati dan jiwa dikerahkan untuk mengabdi pada negara. Tak sepadan dengan gaji ataupun penghargaan yang diberikan, guru dituntut banyak tentang cita-cita bangsa, yakni mencerdaskan anak bangsa.

Tak heran anak-anak sekolah dasar jika ditanya mau jadi apa nanti, tak jarang yang tidak menginginkan menjadi sosok guru kelak. Branding dan framing guru memang sangat buruk di negeri ini. Bukan buruk sebagai teladan, akan tetapi buruk sebagai profesi yang ideal untuk menghadapi banyak himpitan ekonomi.
 
Dan hari ini, kita seolah lupa tentang tujuan pendidikan yang dicanangkan oleh bapak pendidikan kala itu 'memerdekakan manusia', katanya. Nyatanya orang yang paling tidak merdeka saat ini adalah para guru yang gajinya saja tak cukup menghidupi keluarga dan meneruskan pendidikan yang lebih baik bagi anak-anaknya.

Berangkat dari pengalaman pribadi, saya merupakan anak dari seorang guru honorer, bergaji pas-pasan, sedangkan ayah sudah lama meninggal. Beliau, ibu saya pernah bercerita kala saya mondok ketika sekolah menengah atas bahwa gajinya tak turun selama 8 bulan, dengan besaran gaji tidak seberapa, yakni rata-rata Rp 600 ribu.

Dengan jam mengajar yang cukup padat, gaji beliau kala itu juga musti ditahan selama 8 bulan, regulasi yang merugikan hingga akhirnya berdampak pada anak-anaknya yang kala itu kesulitan melanjutkan pendidikan.

Bahkan hari ini, jika saya tidak mencari beasiswa, saya tak bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
 
Miris, prihatin, dan ironis. Guru yang sibuk mengajar dan mendidik anak murid di sekolah, namun kesulitan menyekolahkan anaknya ke pendidikan yang layak. Hari ini kita tak boleh berkelit tentang buruknya pendidikan di negeri ini, dari hasil skor PISA Indonesia misalnya, yang dirilis pada 2018 berada pada posisi sangat memprihatinkan.

Selain itu, juga tak pernah mencapai skor rata-rata negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Jauh di bawah negara ASEAN lainnya. Meskipun PISA bukan satu-satunya indikator kualitas pendidikan, akan tetapi tidak pula ada hal lain yang tersisa untuk merepresentasikan tingginya kualitas pendidikan Indonesia, kecuali fakta yang justru sebaliknya.
 
Kita bandingkan dengan kesejahteraan guru di Jepang, misalnya. Dikutip dari buku Education at a Glance-nya OECD (Japan) terdapat data yang menunjukkan bahwa rata-rata gaji guru di Jepang yang mengajar selama 20 tahun sebagai seorang guru sekolah publik setidaknya akan memperoleh gaji sebesar 362,900 yen atau setara dengan Rp 27,324,555 per bulan. Silakan bandingkan dengan Indonesia.

Dan tidak hanya itu para guru juga memperoleh extra salary (adjusment allowance) sebesar 4% gaji bulanan, dan juga akan mendapatkan bonus 2 kali dalam setahun, yaitu bulan Juni dan Desember sebesar 4,65% gaji bulanan.

Sehingga guru yang bekerja selama 20 tahun akan menerima total penghasilan per bulan sebesar 362,900 plus (362,900×4%) = 377,416 yen. Dan akan menerima gaji per tahun sebesar 362,900×12 plus (362,900×4%x12) plus (363,900×4.65%x2) = 4,562,741.7 yen. Atau setara dengan Rp 503,726,684 per tahun, sehingga perbulan guru di Jepang mendapatkan gaji bersih mencapai 42 juta.
 
Selain gaji, bonus dan ekstra gaji seperti di atas, terdapat pula beberapa tambahan gaji yang tidak berlaku nasional, misalnya: regional allowance, supporting family allowance, commuting allowance, head teacher allowance and head teacher instructor allowance, club activities instructor allowance.
 
Bayangkan dengan gaji bersih dan bonus lainnya itu didapatkan oleh para guru di Jepang, mungkinkah mereka masih kerja sambilan seperti berdagang, membuka les privat, mengajar di lebih dari satu sekolah hingga bahkan sambilan menjadi pedagang di kantin sekolah bila dibutuhkan.

Sangat jauh berbeda dengan Indonesia, misalnya saja ibu saya yang harus mengajar di dua sekolah dengan full time, pasalnya besaran gaji di masing-masing sekolah tidak mencukupi untuk menghidupi 4 orang anaknya kala itu. Beliau juga harus berjualan di sekolah dan mengajar les privat di malam hari.
 
Berbeda dengan guru-guru di Jepang, selain gaji serta fasilitas yang menunjang kesejahteraan mereka, guru di Jepang juga mendapatkan penghargaan dan penghormatan khusus.

Misal keluarga guru di Jepang akan mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, berbagai privilege untuk anak-anak tenaga pendidik agar dapat melanjutkan pendidikan yang lebih baik, bahkan lebih dari orang tuanya.
 
Bayangkan saja jika saya membuat refleksi pada kondisi ekonomi dewasa ini dengan gaji guru honorer yang tak kunjung berubah, rata-rata perbulan Rp 600 ribu. Misalnya membeli bahan pokok, menghidupi keluarga hingga tekanan ekonomi pasca kenaikan BBM dan listrik.

Dapatkah kita katakan bahwa guru honorer sejahtera di tengah bayangan resesi yang melanda negeri?
 
Lantas jika masih ada pertanyaan apakah ada hubungannya kesejahteraan guru dengan kualitas pendidikan? Sungguh pertanyaan yang sangat dangkal dan tak perlu dipertanyakan. Pasalnya peran guru pada kegiatan mencerdaskan bangsa bukan saja penting, bahkan menjadi fondasi peradaban.

Dengan tidak menyejahterakan peranan primer dalam tugas mulia mencerdaskan bangsa, dalam hal ini negara gagal mewujudkan kualitas pendidikan yang memadai.

Menjadikan guru sebagai profesi taraf rendahan yang direpresentasikan melalui rendahnya penghargaan dan penghormatan negara terhadap profesi ini, membuat profesi guru enggan diidamkan dan didambakan.  ***