Kala Hasto Kristiyanto Sebut Kemiripan Jokowi dengan Soeharto, hingga Ungkap Niatannya 'Ingin Rebut' Kursi Ketum PDIP

Kala Hasto Kristiyanto Sebut Kemiripan Jokowi dengan Soeharto, hingga Ungkap Niatannya 'Ingin Rebut' Kursi Ketum PDIP

WJtoday, Jakarta - Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengungkapkan adanya gelagat dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk mempertahankan kepemimpinannya.

Tak berhenti di situ, Hasto menegaskan adanya keinginan Jokowi mengincar kursi ketua umum PDIP, dari Megawati Soekarnoputri.

"Rencana pengambilalihan Partai Golkar dan PDI Perjuangan. Jadi, jauh sebelum pemilu, beberapa bulan, antara lima-enam bulan. Ada seorang menteri power full," kata Hasto dalam kegiatan Bedah Buku “NU, PNI, dan Kekerasan Pemilu 1971” karya Ken Ward (1972) yang digelar di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (2/4/2024).

Hasto menyebut, dalam kabinet Jokowi, terdapat menteri power full dan menteri superpower full yang mendapat tugas untuk menjembatani pengambilalihan kursi ketum PDIP.

"Supaya enggak salah, ini ditugaskan untuk bertemu Ryaas Rasyid oleh Presiden Jokowi. Pak Ryaas Rasyid ditugaskan untuk membujuk Bu Mega, agar kepemimpinan PDI Perjuangan diserahkan kepada Pak Jokowi. Jadi, dalam rangka kendaraan politik. Untuk 21 tahun ke depan," ujar Hasto.

Upaya pengambilalihan parpol yang dipimpin Megawati ini pun pernah terjadi para era Soeharto yang ingin mempertahankan kekuasaan lewat Pemilu 1971.

'Nah, ini harus kita lihat, mewaspadai bahwa ketika berbagai saripati kecurangan Pemilu 71, yang menurut saya 71 saja enggak cukup, ditambah 2009, menghasilkan 2024, kendaraan politiknya sama," tutur Hasto.

Ia menambahkan, ada juga upaya dari kubu Jokowi untuk membentuk koalisi partai politik yang besar. "Sekarang ada gagasan tentang soal koalisi besar permanen seperti ada barisan nasional," kata Hasto.


Hasto Singgung Kemiripan Kekuasaan Soeharto dengan Jokowi

Hasto Kristiyanto menilai ada kemiripan antara Soeharto selaku Presiden RI ke-2 dan Jokowi dalam upaya mempertahankan kepemimpinannya lewat Pemilu. 

Dia mengatakan Soeharto dan Jokowi, sama-sama menggunakan abuse of power seperti memakai aparat negara.

Hasto mengatakan ketika membaca buku ini tak hanya muncul wajah Soeharto. Namun, ia menyinggung malah melihat wajah Jokowi.

"Saya mencoba menghilangkan Pak Jokowi, tetapi sulit. Maklum 23 tahun bersama Pak Jokowi. Tetapi apakah karakternya (Jokowi dan Soeharto) sama? Nanti kita lihat," kata Hasto.

Hasto menjelaskan, kekerasan terpampang jelas pada Pemilu 1971 ketika Soeharto ingin mempertahankan kekuasaannya. Hal itulah yang akhirnya menjadi titik konsolidasi kekuatan otoriter sampai 27 tahun kemudian.

"Yang lain kita lihat bagian dari skenario absuse of power tersebut," jelas dia.

Menurut Hasto, Soeharto punya waktu 18 bulan untuk mempersiapkan skenario mempertahankan kepemimpinan lewat operator politiknya, yakni Ali Murtopo, Amir Mahfud, dan Sujono Mardani.

"Kalau Pak Jokowi berapa bulan? Saya belum bisa menjawab. Nah, kalau diukur pertama Pak LBP (Luhut Binsar Pandjaitan) mengatakan bahwa di PDI Perjuangan sebenarnya banyak 70 persen, saya lupa angkanya, yang setuju perpanjangan jabatan pada 11 Maret 2022, itu artinya 19 bulan dipersiapkan. Kalau ditinjau Pak Anwar Usman menikah pada Juni itu 16 bulan," kata Hasto.

Kemudian, lanjut Hasto, Soeharto membangun narasi pembangunan nasional, stabilitas politik, keamanan, akselerasi, dan modernisasi pembangunan 25 tahun ke depan dengan mimpi. Para akademisi saat itu pun masuk dalam suatu kampanye akselerasi modernisasi. Namun, prosesnya minus kebebasan, demokrasi, dan hak untuk berserikat.

"Ini yang terjadi dan saya coba bandingkan kekuasaan Soeharto dan Jokowi sebenarnya ada kemiripan," ujar Hasto.***