Kebanyakan Tonton FYP di TikTok, Banyak Generasi Muda Lakukan 'Self Diagnosis'

Kebanyakan Tonton FYP di TikTok, Banyak Generasi Muda Lakukan 'Self Diagnosis'

WJtoday, Jakarta - Para ahli kesehatan menyoroti banyaknya generasi muda yang melakukan self diagnosis masalah kejiwaan dengan melihat konten FYP (for your page) di TikTok. Saat ini tak sedikit yang menganggap punya masalah gangguan spektrum autisme (ASD) usai melihat video viral.

Laporan dari Healthline menemukan beberapa postingan menyertakan orang-orang yang berbagi alasan mereka yakin bahwa diagnosis mandiri atau self diagnosis yang mereka lakukan valid, sementara postingan lainnya berisi pakar kesehatan mental yang menekankan pentingnya mendapatkan diagnosis dari penyedia layanan kesehatan.

"Self diagnosis selalu menjadi upaya yang berisiko. Media sosial hanya meningkatkan potensi bahaya diagnosis diri," Joseph O'Brien, LCSW, manajer Behavioral Wellness Center di Inspira Health, mengatakan kepada Healthline.

Penyebaran informasi yang salah di media sosial meningkatkan bahayanya. Faktanya, hanya 27 persen dari video TikTok terkait autisme terpopuler yang berisi informasi akurat, menurut sebuah penelitian dari A.J. Institut Autisme Drexel.

Studi tersebut juga mengungkapkan bahwa 32 persen video terlalu digeneralisasikan, sementara lebih dari 41 persen benar-benar tidak akurat. Para peneliti melihat bahayanya dengan menganalisis indikator keterlibatan, termasuk penayangan dan suka pada video TikTok yang terkait dengan tagar "Autisme".

Studi yang sama melaporkan bahwa video yang menyesatkan dan tidak akurat telah ditonton hampir 150 juta kali.

Meskipun perhatian yang lebih besar terhadap ASD dapat menghasilkan advokasi dan pemahaman terhadap kondisi tersebut, serta penerimaan yang lebih besar terhadap perbedaan individu, Diane Franz, PhD, seorang psikolog anak di Children's Hospital New Orleans, mengatakan bahwa informasi yang menyesatkan secara online dan di media sosial cenderung berbahaya.

"Kecenderungan untuk mencari diagnosis untuk menjelaskan variasi dalam kepribadian dan perilaku menghilangkan penerimaan terhadap variasi normal di antara anak-anak dan orang dewasa, dan meminimalkan pentingnya hidup dengan kelainan signifikan yang berdampak pada banyak aspek kehidupan seseorang," ujar Diane.

Mengingat penggunaan algoritme saat ini oleh platform media sosial, O'Brien mengatakan orang-orang mungkin terus-terusan menerima misinformasi yang sama, sehingga memperdalam keterikatan mereka pada informasi atau diagnosis tersebut.

"Hal ini menjadikan percakapan diagnosis bagi terapis menjadi tugas yang sangat sulit yang dapat mengakibatkan perebutan kekuasaan antara pelatihan dan pengalaman terapis dan paparan media sosial klien," katanya.

Dia menambahkan hal ini terutama berlaku untuk ASD, gangguan mood, gangguan kepribadian ambang dan narsistik. Selain itu tren self diagnosis di media sosial telah "mempermudah" pemahaman umum tentang diagnosis, terutama ASD, dan mengubah makna diagnosis.

Bahkan intensitas dan frekuensi paparan informasi yang salah di media sosial bisa sangat kuat dan membuat klien O'Brien menolak diedukasi. Ia mengatakan hal ini juga menciptakan kesulitan dalam visibilitas dan advokasi terhadap kelompok tertentu seperti pengidap ASD.

"Tantangan self diagnose adalah membuat diagnosis secara profesional dan mungkin berfungsi untuk mencabut hak anggota kelompok ini yang mendapatkan diagnosis dari para profesional," katanya. ***