Pengadilan Rakyat terkait Dugaan Kecurangan Pemilu 2024

Pengadilan Rakyat terkait Dugaan Kecurangan Pemilu 2024

WJtoday, Jakarta - Pemilu 2024 belum usai, pemenangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2024. Sejumlah praktisi kini dorong pengadilan rakyat.

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mendukung adanya pengadilan rakyat terkait dugaan kecurangan pemilu. Tujuannya, agar dunia mengetahui praktik tak lazim dalam pemenangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2024.

"Apa yang sekarang ini kita perbincangan sebenarnya, suatu wacana yang positif yang disampaikan oleh kalangan akademisi, aktivis, dan masyarakat sipil terutama untuk mengungkapkan praktik-praktik yang tidak lazim dalam kontestasi Pemilihan Umum di Indonesia, khususnya Pemilihan Presiden,” kata Usman dalam diskusi daring bertajuk ‘Mahkamah Rakyat untuk Keadilan Pemilu, Perlukah?’, Senin (15/4/2024).

Usman mengatakan, pengadilan rakyat merupakan suatu usaha untuk menembus kebuntuan keadilan di tingkat dunia, akibat dari suasana perang pada era 60-an khususnya di Vietnam.

Kembali ke peristiwa Pilpres 2024. Usman menyatakan, hal ini bukan sekadar pelanggaran biasa, tetapi suatu orkestrasi penyalahangunaan kekuasaan yang berlangsung sebelum pemilu dilaksanakan.

"Saya kira catatan penutup dari komite Ham PBB pada sidang-sidang di Maret yang lalu, yang mempertanyakan kepada pemerintahan Indonesia, tentang dugaan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di dalam tindakan presiden yang mempengaruhi proses pemilu secara tidak pada mestinya untuk meloloskan putra presiden dalam hal ini Gibran Rakabuming Raka untuk lolos dalam larangan syarat usia 40 tahun yang sebelumnya dalam hukum pemilu. Hukum itu diubah dengan cara yang tidak semestinya," ucap Usman.

Usman mengharapkan, pengadilan rakyat ini segera bisa mulai digelar sehingga bisa didengar oleh para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) RI sebelum mengambil keputusan. Hakim MK, ia imbau, mendengar suara civil society dan akademisi yang meragukan mutu Pemilu 2024.

Sementara itu, sejarawan Asvi Warman Adam mengaku sudah pernah melihat pengadilan rakyat yang mungkin bisa ditiru langkahnya terkait wacana ini.

Ia menuturkan, pengadilan itu dikenal International People's Tribunal atau IPT yang diadakan di Den Haag, Belanda, pada 2015. Menurutnya, rakyat Indonesia bisa membawa dugaan kecurangan Pilpres 2024 itu ke pengadilan tersebut.

Saat itu, Asvi mengungkapkan, pengadilan rakyat dibentuk demi mengadili Peristiwa '65 karena upaya-upaya hukum yang sudah dilakukan sejak era Reformasi itu menemui kegagalan. Ribuan jiwa melayang pada peristiwa tersebut sehingga rakyat menuntut keadilan terhadap lima Presiden RI.

Akan tetapi, Asvi meningatkan, langkah ini belum tentu akan memuaskan para pihak yang menganggap pemilu curang. Sebab, belajar dari sejarah IPT '65 juga berujung pada kegagalan.

"Upaya ini menemui kegagalan pada 2006. Bukan hanya kegagalan, namun proses penyelenggaraan pengadilan itu juga berlangsung tidak dengan lancar karena mereka yang bersaksi ataupun mereka yang akan datang ke pengadilan itu diganggu oleh ormas macam FPI dan lain-lain," ujarnya.


Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai pengadilan rakyat atau mahkamah rakyat perlu dilakukan agar mampu mengoreksi Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024 dan menjaga iklim demokrasi ke depannya.

Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengatakan, untuk Asia Tenggara, pengadilan rakyat pernah dilakukan dalam konteks kecurangan pemilu di Malaysia.

Menurut pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI) itu, warga negara Indonesia punya kewajiban untuk memastikan bahwa pelaksanaan pemilu itu tidak menjadi bagian dari demokrasi yang cacat.

"Dalam praktiknya, yang harus kita pastikan bukan hanya pemilu yang reguler, tetapi juga pemilu yang autentik, pemilu yang genuine, pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia (Luber) serta jujur dan adil (Jurdil),” kata Titi dalam diskusi daring bertema 'Mahkamah Rakyat untuk Keadilan Pemilu, Perlukah?' yang digelar di Jakarta, Senin (15/4/2024).

Titi melanjutkan, terkait dengan proses perselisihan hasil pemilu, hal itu adalah salah satu mekanisme yang disediakan oleh konstitusi untuk menyelesaikan salah satu masalah hukum pemilu yang terjadi, dalam hal ini adalah soal hasil.

“Problemnya adalah saat ini, Mahkamah Konstitusi berada dalam situasi yang problematik. Karena salah satu persoalan yang menjadi fondasi perselisihan hasil pemilu dikontribusikan oleh Mahkamah Konstitusi itu sendiri, yaitu adanya putusan MK Nomor 90/PUU/XXI/2023," jelas Titi.

Ia menekankan putusan MK itulah yang memberikan karpet merah kepada putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka untuk maju di Pilpres 2024. Titi juga menganggap hal itulah yang menimbulkan keragu-raguan apakah bisa diwujudkannya keadilan.

"Karena MK sebagai institusi formal, praktiknya itu menjadi bagian dari problem itu sendiri yang menjadi persoalan mengapa kemudian orang mempermasalahkan proses Pemilu 2024. Akan berbeda kalau perselisihan hasil pemilu itu tidak berkaitan dengan problematika yang diakibatkan oleh MK itu sendiri,” tuturnya.

Titi menilai hal inilah yang menjadi dilema terbesar dalam keadilan Pemilu 2024 lantaran institusi formal yang diberi tugas menyelesaikan masalah hukum pemilu adalah bagian dari masalah hukum itu sendiri, mengingat adanya putusan MK Nomor 90.

Karena itu, lanjut Titi, beralasan dan relevan partisipasi dan peran masyarakat di dalam mengawal pemilu yang autentik itu bisa dihadirkan melalui koridor-koridor alternatif, yaitu mahkamah rakyat di beberapa negara.

“Karena institusi atau mekanisme formal, itu masih menjadi suatu keragu-raguan oleh pihak-pihak yang ingin memastikan keadilan pemilu itu bisa terwujud,” tambah dia.***