Ramai Tolak Usulan Kenaikan Biaya: Audit BPKH dan Penggunaan Dana Haji

Ramai Tolak Usulan Kenaikan Biaya: Audit BPKH dan Penggunaan Dana Haji
Lihat Foto

WJtoday, Jakarta - Anggota DPR RI Fadli Zon menolak usulan kenaikan biaya haji. Selain itu, dirinya juga meminta audit khusus Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dan penggunaan dana haji selama ini. 

Oleh karena, ia menilai usulan  Kementerian Agama (Kemenag) untuk menaikkan porsi pembiayaan yang ditanggung jemaah haji dalam besaran lebih dari 73 persen dibandingkan biaya tahun lalu itu sangatlah tak bijaksana.

Di sisi lain, menurutnya, usulan kenaikan kenaikan biaya haji menyalahi prinsip tata kelola penyelenggaraan haji sebagaimana yang diamanatkan undang-undang. 

Sebagai catatan, biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) tahun 1444 Hijriah/2023 Masehi diusulkan Kemenag naik menjadi Rp98,89 juta per jemaah, atau naik Rp514,88 ribu jika dibandingkan BPIH tahun lalu.

Namun, dari besaran BPIH tersebut, biaya yang harus ditanggung jemaah mencapai 70%, atau Rp69,19 juta per orang. Sementara, sisanya (30%), atau 29,7 juta, dibayarkan dari nilai manfaat pengelolaan dana haji. 

Besaran kenaikan ini menurutnya sangat tidak wajar. Sebab, tahun lalu saja, biaya yang harus ditanggung jemaah haji hanya sebesar Rp39,8 juta per orang. Jadi, jika tahun ini jemaah haji kita dipaksa untuk membayar Rp69,19 juta, kenaikannya lebih dari 73 persen.

“Secara umum, dalam catatan saya, ada beberapa alasan kenapa usulan itu sangat tidak wajar dan perlu ditolak,” ujar Fadli dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (29/1/2023)

Pertama, merujuk kepada UU Nomor. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, jelas disebutkan urusan haji ini bukan hanya semata-mata soal ekonomi, tapi juga menyangkut hak warga negara dalam beribadah, di mana negara seharusnya hadir memberikan perlindungan dan pelayanan yang terbaik. 

“Mengubah komposisi biaya yang harus ditanggung jemaah dalam porsi yang drastis sangatlah tak bisa dibenarkan,” tegasnya.

Kedua,  asumsi-asumsi yang mendasari kenaikan tersebut juga tidak riil. Angka inflasi global sepanjang tahun lalu diperkirakan hanya 8,8 persen. Di dalam negeri, angka inflasi kita juga hanya 5,5 persen. Harga minyak dunia dan avtur juga cenderung turun dan stabil. 

“Penurunan tersebut jelas bisa mengurangi komponen biaya penerbangan,” jelas Fadli.

Selain itu, pemerintah Arab Saudi juga telah menyampaikan secara umum harga akomodasi haji tahun ini akan 30 (tiga puluh) persen lebih murah dibanding tahun lalu, saat masih berada di tengah pandemi. 

Sehingga, di tengah semua penurunan tersebut, jelas ada masalah tata kelola yang serius jika pemerintah justru menaikkan porsi biaya yang harus dibayarkan oleh jemaah haji Indonesia. Bahkan jika besaran kenaikannya lebih dari 73 persen.

Ketiga, pada awal Januari 2023, KPK sudah mengingatkan pemerintah ada persoalan serius dalam hal tata kelola penyelenggaraan ibadah haji. 

Menurut hasil kajian Direktorat Monitoring KPK, ada tiga titik rawan korupsi dana penyelenggaraan haji, yaitu biaya akomodasi, biaya konsumsi, dan juga biaya pengawasan. Menurut temuan KPK, kerugian negara yang timbul dari tiga celah tadi cukup besar, mencapai Rp160 miliar.

“Selain itu, ini yang paling serius, KPK juga menengarai penempatan dan investasi dana haji kita tidak optimal, sehingga perolehan nilai manfaat dana haji kita jauh lebih kecil daripada yang seharusnya bisa didapat,” ungkapnya.

Menurutnya, temuan KPK itu adalah temuan serius yang harus ditindaklanjuti oleh pemerintah. Karena itu, ia menegaskan, jangan sampai masalah dalam tata kelola penyelenggaraan ibadah haji kemudian dialihkan tanggungannya kepada para jemaah. 

Ia pun berpesan, jangan  lupa, jemaah haji Indonesia sudah menyetorkan uang ke bank selama belasan, bahkan hingga lebih dari dua puluh tahun untuk berangkat haji, namun ketika giliran mereka berangkat, mereka tetap harus membayar biaya yang sangat mahal hanya karena pemerintah yang dinilainya tak becus mengelola uang umat.

“Ini kan zalim namanya” sebut politikus Partai Gerindra tersbut.

Karena itu, seluruh jalur investasi dan penempatan dana haji ini, mestinya diaudit khusus terlebih dahulu, termasuk audit khusus kepada BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji). 

Hal ini untuk mengetahui posisi sustainabilitas pengelolaan dana haji Indonesia ke depannya. Jangan sampai para jemaah haji, yang sebagian besar hanya petani dan orang-orang kecil, dengan dalih prinsip  istitha’ah (kemampuan) berhaji, harus menanggung kesalahan tata kelola keuangan haji ini.

Keempat, biaya yang harus dibayar oleh jemaah haji Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan jemaah haji negeri jiran Malaysia. Padahal, jumlah jemaah haji yang berasal dari Indonesia terbesar di dunia. Jamaah reguler saja mencapai 203.320 orang. 

Diketahui, jika dibangdingkan dengan negeri jiran, pemerintah Malaysia menetapkan biaya haji dalam dua golongan, yaitu  B40 (bottom 40). atau penduduk dengan pendapatan 40 persen terbawah; dan kategori Bukan B40 untuk selebihnya. 

Secara keseluruhan, biaya total ongkos naik haji di Malaysia dan Indonesia relatif sama, berada di limit Rp100 juta. Namun, biaya yang harus dibayarkan jemaah B40 di Malaysia hanya sebesar MYR10.980 (Rp38,59 juta). 

Sedangkan jemaah yang tergolong Bukan B40 juga hanya membayar MYR12.980 (Rp45,62 juta). Sisanya ditanggung oleh lembaga Tabung Haji. 

“Dengan jumlah jemaah haji yang besar, jika dikelola dengan benar, mestinya akumulasi dana haji yang terkumpul bisa mendatangkan nilai manfaat yang besar untuk jemaah haji kita, bukan mendatangkan nilai manfaat untuk pihak lain sebagaimana ditengarai KPK” terang Fadli.

Dengan empat catatan tadi, sekali lagi, menurutnya, tidak sepantasnya beban pembiayaan haji ditanggungkan sebesar-besarnya kepada calon jemaah haji yang sudah menyetorkan uang dan mengendapkan saldonya di bank. 

Tidak bisa BPKH dan Kemenag mengajukan dalih keberlangsungan penyelenggaraan haji secara sepihak, tanpa ada audit investigasi yang menyeluruh terhadap pengelolaan dana haji selama ini.

“Kenaikan biaya haji adalah hal yang niscaya. Namun besarannya pastilah tidak setinggi sebagaimana yang telah diusulkan oleh Kemenag dan BPKH,” tutupnya.

Jokowi: Belum Final sudah Ramai
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan biaya haji tahun 2023 masih dalam proses kajian. Hal tersebut disampaikan Kepala Negara terkait wacana kenaikan biaya haji yang diusulkan Kementerian Agama.

“Biaya haji masih dalam proses kajian,” ujar Presiden Jokowi dalam keterangannya kepada awak media usai meninjau proyek sodetan Kali Ciliwung, Jakarta, Selasa (24/1).

Menurut Presiden, biaya haji yang diusulkan oleh Kementerian Agama masih belum final. Saat ini, pemerintah masih melakukan proses kajian dan kalkulasi terkait biaya haji tahun 2023.

“Itu belum final, belum final sudah ramai. Masih dalam proses kajian, masih dalam proses kalkulasi,” ucapnya.

Jokowi lantas ditanya sekali lagi oleh awak media soal biaya haji 2023 yang jadi polemik di masyarakat, Jokowi hanya tersenyum dan mengiyakan seraya memberi isyarat soal usulan biaya haji 2023 masih dalam perhitungan yang matang. 

"Ya, (masih dalam kalkulasi dan kajian-red)," tutupnya. 

Sebelumnya seperti diberitakan, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas atau Menag Yaqut mengungkapkan alasan kenapa Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) 2023 bisa membengkak menjadi Rp 69,1 juta.

"Usulan ini atas pertimbangan untuk memenuhi prinsip keadilan dan keberlangsungan dana haji. Formulasi ini juga telah melalui proses kajian," ujar Menag Yaqut dalam rapat kerja bersama Komisi VIII DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (19/1).

Menag Yaqut menyebut, usulan dari pemerintah terkait biaya haji itu logis. 

"Itu usulan pemerintah. Menurut kami, itu yang paling logis untuk menjaga supaya yang ada di BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) itu tidak tergerus, ya dengan komposisi seperti itu,” ujarnya.  

“Jadi dana manfaat itu dikurangi, tinggal 30 persen, sementara yang 70 persen menjadi tanggung jawab jemaah," imbuh Yaqut.

Susun Peta Jalan Pola Pembiayaan Haji
Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf meminta BPKH untuk menyusun peta jalan (roadmap) pola pembiayaan haji dengan proporsi antara Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) dengan nilai manfaat perbandingannya ialah 70:30. 

Ia keberatan jika calon jemaah tahun 2023 menanggung beban biaya yang terlalu tinggi.

“Saya mengharapkan perlu ada roadmap yang lebih clear untuk membuat pola pembiayaan penyelenggaraan haji dengan proporsi 70:30. Usulan kami, paling cepat 8-10 tahun,” kata Bukhori dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/1). 

Selain mengaku keberatan jika calon jemaah tahun 2023 menanggung beban biaya yang terlalu tinggi, Bukhori meminta kenaikan dana haji dilakukan secara bertahap.

“Kami tidak setuju kenaikan biaya yang terlalu tinggi ini dibebankan pada calon haji tahun ini saja. Kenaikan semestinya dilakukan secara perlahan, dimulai dengan peningkatan setoran awal." tegasnya.

"Sementara di sisi lain, BPKH harus mampu meningkatkan nilai manfaat hasil dari pengelolaan dana dari 5,3 juta jemaah haji kita yang senilai Rp167 triliun itu,” imbuh Bukhori.

Sementara itu, Bukhori kembali menegaskan soal usulannya agar Bipih yang dibebankan pada calon jemaah haji tahun ini cukup berada di angka Rp50 juta. 

Selain lebih rasional untuk menjaga keberlanjutan pembiayaan haji ke depan, Bukhori menilai angka tersebut lebih terjangkau bagi calon jemaah dan tidak terlalu memberatkan. 

“Kami mengusulkan agar jemaah cukup dibebankan sebesar Rp50 juta, sementara sisanya akan di-cover melalui dana optimalisasi,” pungkasnya. ***