Sistem Pemilu Tertutup dan Proporsional Terbuka: Mana Lebih Baik?

Sistem Pemilu Tertutup dan Proporsional Terbuka: Mana Lebih Baik?
Lihat Foto

WJtoday, Bandung - Belakangan, muncul wacana mengembalikan sistem proporsional tertutup untuk Pemilihan Legislatif (Pileg). Lebih tepatnya ketika ada beberapa pihak yang mengajukan judicial review atau uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka tengah ke MK.

Gugatan uji materi terhadap sistem pemilu itu teregistrasi dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022. Adapun penggugat itu adalah Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI). 

Gugatan pun menuai banyak menuai, baik yang pro maupun kontra. Lalu apa perbedaan mendasar dari kedua sistem tersebut?

Sistem Proporsional Tertutup
Sistem proporsional tertutup adalah salah satu sistem perwakilan berimbang di mana pemilih hanya dapat memilih partai politik secara keseluruhan dan tidak dapat memilih kandidat.

Sistem proporsional tertutup kian santer diperbincangkan dalam pelaksanaan pemilihan umum  2024 mendatang. Pada pemilu 2024 nanti, kemungkinan akan memakai sistem proporsional tertutup yang terus dibahas sejak dilakukanya uji materi UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Terdapat dua metode utama sistem proporsional, yaitu:
1. Single Transferable Vote, yang merupakan suatu sistem pemilihan yang menghendaki pemilih untuk memilih pilihan pertama, kedua, dan seterusnya dari daerah yang bersangkutan. 

Sistem ini memungkinkan semua calon terpilih, karena dalam sistem ini ada pembagian suara apabila adanya sisa suara pada calon partai politik.

2. List Proportional Representative, yang merupakan suatu sistem pemilihan yang meminta pemilih untuk memilih daftar-daftar calon yang berisi sebanyak mungkin nama-nama dari wakil rakyat yang akan dipilih dalam pemilu. Umumnya ada dua jenis dalam sistem ini yaitu sistem proporsional tertutup dan terbuka.

Sistem proporsional tertutup adalah salah satu sistem perwakilan berimbang, di mana pemilih hanya dapat memilih partai politik secara keseluruhan dan tidak dapat memilih kandidat. 

Dalam sistem proporsional tertutup, kandidat dipersiapkan langsung oleh partai politik. Jika pemilih dapat memilih kandidat yang tersedia maka sistem ini dinamakan sistem proporsional terbuka.

Pada sistem ini, masing-masing partai politik telah menentukan terlebih dahulu siapa yang akan memperoleh kursi yang dialokasikan kepada partai tersebut dalam pemilu.

Sehingga, calon yang menempati urutan teratas dalam daftar ini cenderung akan selalu mendapatkan kursi di parlemen. Sedangkan, calon yang diposisikan sangat rendah dalam daftar ini tidak akan mendapatkan kursi.

Sistem proporsional tertutup adalah salah satu sistem perwakilan berimbang di mana pemilih hanya dapat memilih partai politik secara keseluruhan dan tidak dapat memilih kandidat.

Dalam artian lain, meski rakyat memilih salah satu calon maka suara tersebut menjadi suara partai politik pengusung. Suara partai politik yang telah mencapai ambang batas kursi akan diberikan kepada calon yang diusung berdasarkan nomor urut.

Ketika pelaksanaan pemilu dengan sistem proporsional tertutup dilakukan, setiap partai politik tetap akan mengirimkan daftar kandidat bakal calon yang diusung. Hal yang berbeda dari sistem proporsional terbuka adalah, pemilih tidak secara langsung memilih para bakal calon tersebut.

Pemilih nantinya, akan diminta untuk memilih tanda gambar atau lambang partai politik. Sedangkan kandidat dengan nomor urut terkecil dalam sebuah partai politik berhak menduduki kursi pertama di lembaga dewan perwakilan.

Dalam buku ‘Evaluasi Sistem Pemilu di Indonesia 1955-2021’, sistem proporsional tertutup sudah dipakai sejak era Orde Lama. Pada era ini, sistem politik menjadi demokrasi terpimpin sehingga memberi porsi kekuasaan besar kepada eksekutif.

Sistem proporsional tertutup terus dipakai hingga era Orde Baru. Saat Orde Baru, proporsional tertutup menguatkan sistem oligarki kepartaian, sehingga model ini dianggap tidak demokratis bahkan memunculkan hegemoni parpol besar.

Kemudian, sistem proporsional tertutup masih dipakai pada tahun 1999 lewat UU No.3 Tahun 1999. Perubahan terjadi ketika sistem proporsional terbuka diterapkan melalui UU No. 12 Tahun 2003 dan terus digunakan hingga saat ini.

Wakil Ketua Komisi II DPR Yanuar Prihatin menilai sistem pemilu proporsional tertutup akan berpotensi menutup kompetisi antar sesama kader dalam satu partai. 

Oleh karena itu ia berpandangan sistem itu, berbeda dengan sistem pemilu proporsional terbuka, berpeluang menghidupkan oligarki dalam tubuh partai politik.

"Bagi partai politik yang punya tradisi komando yang kuat dan sedikit otoriter, sistem pemilu proposional tertutup ini lebih disukai," ujar Yanuar dalam keterangan persnya, Rabu (4/1). 

Sistem seperti itu, lanjutnya, menjadi peluang karir terbesar untuk kader partai politik dengan karakter tersebut. 

Di sisi lain, sistem proporsional tertutup itu juga dinilai akan menghidupkan oligarki di dalam partai di masa lalu itu. Sementara oligarki politik relatif mendapatkan hambatan untuk tumbuh melalui sistem proporsional terbuka.

"Tertutupnya kompetisi antara sesama kader. Juga melahirkan para politisi yang lebih mengakar ke atas daripada ke bawah," tambahnya. 

Dia khawatir, sistem proporsional tertutup juga dimanfaatkan oleh kader partai politik yang berjiwa oportunis, elitis dan tidak mampu berkomunikasi dengan publik. 

Lanjut Yanuar, jika ada pihak yang mengusulkan sistem proporsional tertutup, maka menurutnya mereka ingin membawa musibah dan kecelakaan dalam demokrasi. Apalagi, jika Mahkamah Konstitusi (MK) turut melegalisasi sistem tertutup tersebut. 

Oleh karena itu, ia meminta tidak ada satu pihak pun yang bermain-main dengan sistem kepemiluan yang sudah ada di Indonesia. 

Ia tak ingin, kegairahan dan partisipasi politik rakyat yang sudah terjadi melalui sistem pemilu proporsional terbuka, hilang karena sistem Pemilu tertutup.

"Kita semua sudah berinvestasi besar untuk menumbuhkan kegairahan dan partisipasi politik rakyat, memperkuat hubungan timbal balik antara rakyat dan wakilnya, serta membangun budaya kompetisi yang masih terukur," tegas Yanuar.

Pakar komunikasi politik dari Exposit Strategic Arif Susanto menilai jika kembali kepada sistem proporsional tertutup, kemungkinan elite partai akan mendapat kendali besar. Efeknya menurut dia keburukan sistem tertutup itu akan muncul lagi.

"Kalau misalnya kita akan kembali ke sistem tertutup, kemungkinan besar, kan ini berandai-andai ya, kemungkinan besar, kendali elite partai akan lebih besar. Dan konsekuensinya, apa yang kita lihat sebagai keburukan sistem tertutup akan kembali muncul," tutur Arif.

Sistem Proporsional Terbuka

Saat ini, Indonesia menggunakan sistem proporsional terbuka yang diketahui melalui Pasal 168 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyatakan, pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

Sistem proporsional terbuka adalah sistem perwakilan proporsional yang memungkinkan pemilih untuk turut serta dalam proses penentuan urutan calon partai yang akan dipilih. 

Sistem ini berlawanan dengan sistem proporsional tertutup yang hanya mengizinkan anggota partai yang aktif, pejabat partai, atau konsultan dalam menentukan urutan calon dan sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada pemilih untuk memengaruhi posisi calon. 

Selain itu, sistem terbuka mengizinkan pemilih untuk memilih individu daripada partai. Pilihan yang diberikan oleh pemilih disebut pilihan preferensi.

Proporsional Representasi System (Sistem Proporsional Terbuka) adalah pertimbangan untuk mendorong kandidat bersaing dalam memobilisasi dukungan massa untuk kemenangan mereka. 

Sistem proporsional terbuka merupakan sistem proporsional yang menggunakan suara terbanyak untuk menentukan calon legislator yang duduk parlemen. Masyarakat memilih secara langsung calon-calon yang ingin mewakilinya. 

Sistem ini berlaku tahun 2009 ketika Mahkamah konstitusi menetapkannya. Sejak saat itu terdapat perubahan-perubahan mengenai kultur dan pola politik yang terjadi di partai politik itu sendiri serta masyarakat. 

Menurut akademisi UII Yogyakarta, Allan FG Wardhana, proporsional terbuka lebih baik dari proporsional tertutup. Apa alasannya?

"Usulan untuk kembali ke sistem proporsional tertutup jelas harus ditolak," kata Allan, Jumat (6/1).

Menurut Allan, saat ini sistem proporsional terbuka harus dipertahankan. Ada dua urgensi mengapa sistem proporsional terbuka harus dipertahankan.

"Pertama, sistem proporsional terbuka lebih mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat. Keterpilihan caleg tidak boleh bergeser dari keputusan rakyat yang berdaulat kepada keputusan pengurus partai politik apalagi pimpinan parpol," ungkapnya.

Alasan kedua, sistem proporsional terbuka merupakan sistem yang lebih demokratis. Juga serta 'setia' menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Tidak ada alasan untuk kembali ke sistem proporsional tertutup.

Namun bukan berarti sitem proporsional terbuka mutlak lebih baik dari sistem proporsional tertutup. Masing-masing pun mempunyai kelemahan.

Pertama, penerapan sistem proporsional terbuka membuat ongkos politik semakin mahal. Para calon anggota legislatif harus berpikir keras untuk membiayai masa kampanyenya. 

Riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) mencatat, pengeluaran caleg pada Pemilu DPR 2014 berkisar Rp. 1,18 sampai 4,6 miliar. 

Sedangkan untuk DPRD Rp 481 juta sampai 1,55 miliar. Semua uang digunakan untuk kampanye dan sebagainya. Jika pengeluaran lain yang tidak tercatat atau tidak dilaporkan juga dihitung, nilainya bisa lebih.

Jika kebanyakan para calon mengeluarkan dana kampanyenya melalui dana pribadi. Dengan tingginya biaya kampanye yang dikeluarkan calon legislator, maka ketika menjabat kelak akan ada potensi terjadi hal-hal yang berujung kepada penyelahgunaan kekuasaan untuk mengembalikan modal semasa kampanye.

Kedua, sistem proporsional terbuka mendorong politik uang yang tinggi. Hal ini terjadi dikarenakan tingkat perekonomian yang masih rendah akan membuat masyarakat memikirkan urusan perutnya ketimbang menghasilkan demokrasi yang berkualitas. 

Tak jarang calon-calon yang hanya mengandalkan popularitas, materi, dan politik kekerabatan menjadi calon yang di prioritaskan oleh partai politik karena melihat kondisi sosiologis masyarakat yang masih rendah secara ekonomi dan pendidikan. Calon-calon yang berkualitas tetapi tidak mempunyai dana dan popularitas tersisihkan dengan sendirinya.

Ketiga, sistem porposional terbuka yang diserentakan dengan pemilu presiden membuat perhatian masyarakat hanya tertuju kepada pemilihan presiden. Kita bisa belajar dari Pemilu 2019. 

Dengan menggunakan 5 surat suara yang amat rumit, membuat pemilihan legislatif menjadi sesuatu hal yang tidak menarik dan cenderung terabaikan begitu saja.

Keempat, sistem proporsional terbuka mendorong kanibalisme dalam kompetisi. Sesama kader partai politik saling sikut dan saling hantam. Dampaknya, terjadi kekisruhan di tubuh internal partai politik itu sendiri.

Perlu adanya regulasi yang jelas di partai politik yang berkaitan dengan rekruitmen caleg dengan fit and proper test yang transparan dan terukur. Tujuannya, para caleg yang didelegasikan untuk maju adalah para caleg yang memang berkualitas.  ***

(Pam: dari berbagai sumber)