Mengenang Bangunan Bersejarah Garut, Antara Kehilangan dan Harapan Pelestarian

Mengenang Bangunan Bersejarah Garut, Antara Kehilangan dan Harapan Pelestarian

WJtoday, Garut - Kabupaten Garut, yang dikenal sebagai Swiss Van Java, mempertahankan pesonanya sebagai destinasi pariwisata berkat keindahan alam dan warisan kolonialnya. 

Sejarawan dan budayawan Garut Warjita mengungkapkan, keelokan Garut dengan ciri khas uniknya telah menarik perhatian orang Eropa sejak zaman kolonial dengan turut mempromosikan keelokannya.

Sebelum Bandung meraih puncak popularitas, Garut dianggap sebagai jantungnya priangan oleh penjelajah Belanda berkat keindahan geografisnya dan perkebunan Belanda yang memikat menjadi magnet bagi pengunjung dari manca negara.

"Juga adalah dengan banyaknya perusahaan-perusahaan Belanda ya yang perkebunan itu ya, perkebunan teh, karet, kina, segala macam ya," ungkap Warjita dalam keterangannya, dikutip Selasa (13/2/2024).

Warjita menyoroti kolaborasi unik antara gaya bangunan Eropa dan tradisional Sunda (Indis) yang masih berdiri kokoh hongga kini, seperti Pamengkang dan Gedung Kantor Disparbud, Kantor Pos Garut, dan Gedung BPKAD di Jalan Kian Santang.

“Coba lihat saja yang namanya bangunan-bangunan itu kan pasti ada tinggi, kemudian ada suhunannya (atap), itulah kolaborasi dengan bangunan Sunda,” sebutnya.

Tak hanya itu, Warjita juga menyoroti peran alun-alun Garut yang menjadi pusat kehidupan kota ataupun pemerintahan. Alun-alun ini, yang sudah ada sebelum masa kolonial, menjadi saksi bisu keberlanjutan pusat pemerintahan tradisional dari Kesultanan Agung Mataram hingga masa kolonial Belanda.

“Nah itu adalah konsep hebatnya Garut itu, jadi masih tersisa warisan kolonial itu, di dalam arti sebetulnya kalau alun-alun bukan warisan kolonial, sudah ada, cuman oleh masa kolonial tidak dihilangkan maka dikolaborasikan," ucap dia.

Bangunan heritage, salah satunya yaitu area komplek Alun-Alun dan Pendopo, sebelumnya telah mulai dibangun pada tanggal 16 Februari 1813 pada zaman pemerintahan Gubernur Jendral Raffles. Kemudian, pembangunan selesai pada tahun 1821, dan area pendopo mulai digunakan di masa Bupati Garut atau Bupati Limbangan pertama, yaitu RAA Adiwijaya.

Namun, tidak semua warisan kolonial Garut beruntung. Gedung Jangkung, milik pengusaha dodol Garut pertama, H. Umar, pionir dodol garut, roboh akibat gempa besar pada 1979-1980. Meskipun demikian, upaya pelestarian terus dilakukan, dengan banyak bangunan bersejarah ditetapkan sebagai cagar budaya.

Saat ini, banyak bangunan heritage Garut yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. Warjita bersama dengan Disparbud Kabupaten Garut, saat ini tengah mengusahakan beberapa bangunan bersejarah di Kabupaten Garut untuk dijadikan sebagai cagar budaya.

Dalam peringatan Hari Jadi Garut ke-211, Warjita menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pelestarian warisan sejarah.

Di sisi lain, Darpan Winangun, seorang pemerhati sejarah Garut, juga sebagai Ketua Dewan Pembina FK MGMP Bahasa Sunda SMA Provinsi Jawa Barat, dan Ketua Dewan Pengawas Perkumpulan Pendidik Bahasa Daerah Indonesia (PPBDI), menyayangkan kondisi beberapa bangunan bersejarah yang semakin memudar. 

Darpan menyoroti keberadaan bangunan-bangunan bersejarah yang semestinya menjadi saksi bisu perjalanan kota ini, namun sayangnya banyak yang telah terkikis oleh waktu dan modernisasi.

"Yang masih ada sekitar alun-alun itu gedung Bupati dan Babancong, itu relatif terpelihara bangunannya," sebut Darpan.

Meskipun begitu ia mengpresiasi upaya pemeliharaan beberapa bangunan, seperti Stasiun Garut yang tetap utuh dan menjadi bagian dari warisan sejarah yang dijaga oleh PT. KAI. 

Di lain hal, sangat disayangkan, Pecinan Garut mengalami perubahan cepat, sehingga kehilangan karakteristik khasnya.

"Pecinan itu sekarang perubahannya sangat cepat, kalau saya lihat tahun 80-an itu bangunan-bangunan khas Chinanya itu masih di belakang Klenteng itu masih kelihatan suasana Chinanya, tapi sekarang di bagian depannya terutama sudah banyak diubah," ungkapnya.

Dia juga mengisahkan upaya gagal untuk mempertahankan cerobong PTG (Pabrik Tekstil Garut), sebagai landmark, kini telah musnah tanpa meninggalkan bekas, menyusul upayanya tanpa dukungan pemilik dan kesadaran kolektif.

"Saya pernah dan kawan-kawan pernah menginisiasi agar cerobong itu tidak dirobohkan, tapi karena kepemilikannya juga sudah beralih menjadi milik swasta, susah bagi kita untuk mempertahankan itu tergantung pemiliknya," kata Darpan.

Menyoroti kurangnya kesadaran akan _heritage_ di Garut, Darpan merumuskan dua harapan penting. Pertama, pembentukan komunitas yang mampu memperjuangkan pelestarian heritage Garut. Kedua, perlunya heritage ini masuk dalam pendataan cagar budaya, yang didukung oleh regulasi yang jelas.

Baginya, heritage bukan hanya tentang bangunan, melainkan kisah sejarah yang menjadi penanda kejayaan Garut di masa lalu.

 "Bangunan cagar budaya atau heritage ini punya nilai sejarah yang penting. Harapannya, agar heritage ini bisa menjadi penanda bahwa Garut ini pernah jaya, pernah unggul di masa lalu," tegasnya.  ***