Survei dan Hitung Cepat saat Pemilu Perlu Ditertibkan

Survei dan Hitung Cepat saat Pemilu Perlu Ditertibkan

WJtoday, Jakarta - Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus mengingatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang keberadaan survei, jajak pendapat dan quick count atau penghitungan cepat dari berbagai lembaga survei yang kerap menjadi persoalan tersendiri di tengah-tengah masyarakat, menjelang dan saat Pemilihan Umum (Pemilu). 

Menurutnya jajak pendapat memang merupakan sebuah keniscayaan, namun sayangnya terkesan survei ini menjadi persoalan di tengah-tengah kehidupan masyarakat, 

"Terkesan bahwa survei-survei ini menjadi sesuatu problematika bagi KPU. Jadi, saya duduk di beberapa warung ketika dilakukan jejak pendapat dan real count, disana terkesan seolah-olah KPU hanya sekedar alat legitimasi bagi real count," ujar Guspardi Gaus dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR RI, dengan KPU, Bawaslu, DKPP dan Kemendagri di ruang rapat Komisi II DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (3/10/2022).

"Ini kan sesuatu yang salah. Padahal yang benar itu adalah real count KPU, bukan yang diperoleh dari lembaga survei dan pihak lainnya,” dia menambahkan.

Politisi Fraksi PAN ini berharap KPU bisa menjawab semua persoalan itu. Ia berharap KPU bisa menjaga integritas, dengan tidak terpengaruh terhadap berbagai hal tersebut. 

Oleh karenanya menurut Gaus, perlu ada inovasi, perlu ada langkah-langkah, perlu ada terobosan yang dilakukan KPU. 

Pasalnya, sejak beberapa kali Indonesia melakukan pemilihan langsung, dan partisipasi dari lembaga survei diberikan ruang untuk melakukan itu, tapi masyarakat sudah mengabaikan hasil hitungan KPU yang sebenarnya itu yang menjadi dasar penetapan hasil pemilihan. Bukan dari real count lembaga atau pihak lain.

“Apa yang kira-kira bisa dilakukan oleh KPU terhadap persoalan itu. Jangan sampai KPU malah menjadi alat legitimasi quick count oleh lembaha survei atau pihak lain. Ini penting, supaya pelaksanaan pemilu itu berintegritas, jujur, adil dan lain sebagainya,” kata Guspardi.

Hal senada juga diungkapkan oleh anggota Komisi II DPR RI, lainnya, Mohamad Muraz misalnya. Politisi dari Fraksi Partai Demokrat ini berharap masalah survei dan quick count ini perlu diatur lebih tertib.

Pasalnya, tidak dapat dipungkiri bahwa quick count yang dilakukan oleh lembaga survei dan pihak swasta lainnya ini memang memberi dampak di masyarakat, seperti polarisasi, fitnah-fitnah di masyarakat. 

Sehingga satu sama lain saling bermusuhan karena quick count ini, apalagi dalam ajang pilpres. Oleh karenanya Ia menilai perlu diatur lebih tertib dan lebih baik. 

Jangan Terjebak Hasil Quick Count
Meski diniatkan sebagai pengawal hasil resmi pemilu, quick count juga bisa "menyesatkan" bila tak memenuhi standar minimal yang harus dipenuhi. 

"Kita harus menunggu keputusan apa pun dari KPU (Komisi Pemilihan Umum, red). Hasil quick count hanya untuk memetakan, bukan penentu," kata pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sudjito, dikutip dari Kompas.com.

Dia pun menegaskan, penentu hasil pemilu, selalu adalah hasil perhitungan dari KPU itu. Dosen sosiologi politik di UGM ini menyampaikan, lembaga survei yang memaparkan hasil hitung cepatnya juga harus obyektif. 

Dalam posisi ini, publik juga dapat menuntut lembaga survei tersebut membuka data dan metodologinya sebagai bentuk pertanggungjawaban secara akademis.

Arie menambahkan, hitung cepat berfungsi untuk mengawal rekapitulasi suara yang dilakukan KPU. Akan tetapi, kata dia, hasil hitung cepat juga dapat "menyesatkan" ketika lembaga survei yang membuatnya tak kredibel maupun beritegritas. 

"Kecenderungan (dari lembaga tak berintegritas maupun kredibel), seseorang dapat mendistorsi hasilnya. Ini bahaya kalau digunakan sebagai alat propaganda untuk memengaruhi persepsi rakyat," ujarnya. 

Dengan alasan itu, Arie mendukung pihak-pihak yang mendorong dilakukan audit pada lembaga survei yang menyebarkan hasil hitung cepat. Langkah tersebut akan berdampak baik pada pendidikan politik di Indonesia. 

Seperti diketahui, setelah waktu pencoblosan pilpres ditutup, beberapa lembaga langsung melakukan dan mengumumkan hasil hitung cepatnya. 

Contohnya, ada lembaga yang menyatakan pemenang Pilpres 2014 adalah Joko Widodo-Jusuf Kalla, tapi ada juga yang menyatakan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebagai pemenangnya.

Quick Count Vs Real Count
Distribusi sampling juga merupakan bagian penting yang patut diperhatikan mengingat lokasi di Indonesia terbilang sulit terutama untuk daerah-daerah yang sulit dijangkau baik karena memang terpencil maupun memang infrastruktur belum tersedia secara baik. 

Kondisi semacam tidak jarang kita temuai di Indonesia. Disamping itu juga ada persoalan non sampling yang dapat mengakibatkan data yang diperoleh kurang akurat. 

Kekeliruan petugas dilapangan dalam mengelola data yang masuk juga merupakan bagian dari human error yang kerap terjadi dalam peneltian sosial dilapangan. 

Dalam penelitian sosial berbagai perbedaan antara prediksi dan kenyataan sesungguhnya bukan merupakan hal yang mustahil bahkan keniscayaan yang lebih besar dibandingkan penelitian ilmu pengetahuan alam (natural sciences).

Lebih lanjut lagi jika hasil quick count antara lembaga survei ternyata berbeda-beada namun dalam rentang yang masih bisa dimaklumi, maka bisa jadi hasil real count nanti tidak beda jauh dari quick count

Hanya saja karena hasil quick count dari lembaga-lembaga survei  yang memenangkan satu Capres tertentu tidak terlalu besar dibandingkan lembaga-lembaga sejenis yang memenangkan kandidat Capres lainnya, sehingga sangat sulit untuk terlebih dahulu mengklaim Capres yang didukungnyalah yang akan jadi Presiden. 

Oleh karena itu sangat arif dan mendidik jika semua kubu Capres Cawapres pada Pilpres tidak saling mengklaim kemenangan.

Dalam konteks ini kita mesti bersikap lebih dewasa lagi dalam menerima hasil-hasil hitung cepat. Sebagai warga Negara yang baik seharusnya setelah melihat hasil hitung cepat yang begitu ketat tidak melalukan sleebrasi kemenangan atau bertindak, berucap dan berperilaku yang mengesankan seolah-olah sudah final 100 persen menang. 

Dilayar kaca dan melalui pemberitaan media massa dan sosial media kita banyak menyaksikan perilaku yang beranggapan kubu mereka telah menang yang dilakukan tidak hanya oleh para pendudukngnya bahkan sang calon Presiden itu sendiri bersikap seolah-olah sudah menang. 

Maka muncullah ungkapan menyesatkan yang mengatakan jikalau hasil KPU berbeda dengan mereka maka itu berarti KPU salah. Sungguh mengerikan dan picik pernyataan seperti ini.

Apabila perilaku di atas dilakukan oleh kubu Capres dalam menyikapi hasil quick count sungguh hal ini bukan pendidikan politik yang baik. Quick count tetap sebagai hitung cepat yang berbeda dengan real count yang merupakan hasil hitungan sesungguhnya. 

Pemerintah harus konsisten mengingatkan kepada msyarakat, bahwa quick count hanyalah indikator atau perkiraan, dan bukan hasil akhir. 

Hasil Quick Count lembaga surveI bisa dibuat untuk menggiring opini masyarakat dan sangat berbahaya bagi keamanan bila nanti hasil dari quick count berbeda dengan hasil aslinya. Karena lembaga-lembaga tersebut juga belum memiliki kredibilitas yang baik.

Hasil akhir ditentukan oleh lembaga resmi pemerintah, yaitu KPU. Setiap lembaga survei yang melakukan hitung cepat harus mengumumkan metodologi yang digunakan, sehingga publik atau masyarakat bisa menyimpulkan secara personal.  ***