AJI Indonesia Catat 61 Kasus Kekerasan terhadap Jurnalis Sepanjang Tahun 2022

AJI Indonesia Catat 61 Kasus Kekerasan terhadap Jurnalis Sepanjang Tahun 2022

WJtoday, Jakarta - Sepanjang tahun 2022, kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia lebih banyak daripada tahun sebelumnya.

Kebutuhan terhadap informasi kini sudah menjadi kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Meliput berita yang menjadi kepentingan publik semestinya menjadi kewajiban bagi jurnalis. Akan tetapi banyak tantangan dan penolakan di lapangan saat mereka meliput isu-isu yang krusial. Bahkan tak sedikit dari mereka yang mengalami kekerasan.

Di negara yang mengaku demokrasi ini, para pekerja media semakin banyak menghadapi berbagai bentuk kekerasan. Undang-Undang Pers yang ada belum mampu melindungi jurnalis dari ancaman dan kekerasan saat melakukan kerja peliputan. Sementara pelaku kekerasan terhadap jurnalis kerap lolos dari jeratan hukum karena kekuasaan yang dimilikinya.

Sepanjang tahun 2022, kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia menunjukkan tren peningkatan dari tahun sebelumnya.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat terdapat 15 kasus kekerasan fisik, 15 kasus serangan digital, 10 kasus teror dan intimidasi, 5 kasus perusakan/perampasan alat, 4 kasus penghapusan hasil liputan, 3 kasus penuntutan hukum, 3 kasus kekerasan seksual, 3 kasus pelarangan liputan, 3 kasus penahanan, dan 1 kasus pelarangan pemberitaan.

Angka Kekerasan Terhadap Jurnalis Meningkat

Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Erick Tanjung, menyampaikan ancaman terhadap jurnalis tak hanya berasal dari pasal karet perundang-undangan, melainkan juga dari serangan digital, kekerasan fisik, verbal, seksual, pelaporan dan penahanan hingga penyensoran.  

“ Sepanjang tahun 2022, kekerasan terhadap jurnalis meningkat daripada tahun 2021,” ujar Erick Tanjung dalam Konferensi Pers Catatan Akhir Tahun AJI 2022.

“Serangan paling banyak terjadi pada 2022 adalah kekerasan fisik dan perusakan alat,” tambahnya.

Rekapilutasi dari berbagai jenis serangan pada 2022 tersebut menghasilkan angka 61 kasus kekerasan dengan 97 korban. Jumlah ini meningkat dari tahun 2021 yakni 43 kasus. Perlu diketahui, dari 15 serangan fisik ke jurnalis, empat di antaranya adalah berkaitan dengan pemberitaan lingkungan dan konflik agraria.

Contohnya kasus Faisal, jurnalis AmperaNews yang mendapat kekerasan saat meliput pengolahan emas ilegal di Desa Mulyo Sari, Dusun Way Ratai, Kabupaten Pesawaran, Lampung pada 5 Desember 2022.

Temuan lain adalah kekerasan yang dialami Nurkholis Lamaau, redaktur cermat.id di Ternate yang dilaporkan dipukul oleh kerabat dari pejabat di Tidore Kepulauan ketika menulis opini tentang debu batu bara.

Kekerasan Mulai Dilakukan Melalui Digital

Laporan AJI juga menunjukkan pelaku kekerasan terhadap jurnalis didominasi oleh aktor-aktor negara. Dari 24 kasus kekerasan sebanyak 15 kasus diduga dilakukan oknum aparat kepolisian, 7 kasus oleh oknum aparat pemerintah dan 2 kasus dari oknum TNI.

Sementara itu terdapat 20 kasus dari aktor non-negara yang melibatkan ormas sebanyak 4 kasus, partai politik 1 kasus, perusahaan 6 kasus dan warga sipil 9 kasus. Sedangkan 17 kasus lainnya belum teridentifikasi pelakunya.

Sekretaris Jendral Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Ika Ningtyas, menyampaikan pelaku terbanyak kekerasan terhadap jurnalis adalah dari pihak kepolisian.

“ Ketika ada kekerasan terhadap jurnalis, maka ini adalah bentuk pembungkaman dan serangan pada kebebasan pers,” tegas Ika Ningtyas.

Tak berhenti pada kasus kekerasan fisik, serangan pun juga dilakukan melalui digital, seperti peretasan akun pribadi, pengambilalihan akun YouTube, hingga DDoS terhadap situs media daring. Pada 2022, serangan digital semacam itu terjadi sebanyak 15 kasus dengan 43 korban awak redaksi dan 9 media.

Kasus Kekerasan terhadap Jurnalis Perempuan

Fenomena kekerasan terhadap jurnalis juga mulai banyak dialami para awak media perempuan. Dari temuan AJI dilaporkan seorang jurnalis perempuan berinisial L di Makassar dan EH di Papua mengalami kekerasan baik secara fisik maupun verbal.

Adanya berbagai tindak kekerasan seksual terhadap jurnalis, ujar Nani Afrida, Divisi Gender, Anak dan Kelompok Marginal AJI, mendorong diperlukan SOP khusus yang bisa melindungi para korban. Hal ini disebabkan kekerasan seksual bersifat unik dan tidak memiliki template sehingga membutuhkan penanganan khusus.

“ Kekerasan seksual sifatnya unik dan tidak punya template. Butuh special treatment karena melibatkan psikologi juga,” ujarnya.

Menurut Nani, Dewan Pers saat ini belum memiliki SOP tentang kekerasan seksual. Selain memberikan pemahaman kekerasan berbasis gender, AJI juga berusaha merumuskan SOP untuk menangani kasus kekerasan seksual di kalangan jurnalis.

Desak POLRI lakukan reformasi menyeluruh

Kekerasan yang dialami jurnalis berbeda dengan kekerasan yang dialami warga biasa. Pasalnya, AJI menilai kekerasan pada jurnalis sebagai simbol pembungkaman. Terbukti kasus-kasus yang dilaporkan, para jurnalis mengalami tindak kekerasan setelah atau sedang meliput isu-isu yang sensitif, seperti lingkungan, konflik agraria, pungli, dan lain sebagainya.

Ika menambahkan penegakan hukum kekerasan terhadap jurnalis masih belum mengacu pada Undang-Undang Pers. Pada akhirnya pelaku kekerasan terhadap jurnalis oleh aktor-aktor negara cenderung berakhir pada impunitas.

“ Kami (Aliansi Jurnalis Independen) mendesak POLRI untuk melakukan reformasi secara menyeluruh. Penyerangan terhadap kebebasan pers adalah bukti matinya demokrasi dan menguatnya otoritarianisme rezim penguasa,” tegasnya.***