Heboh Dugaan Kasus Kawin Tangkap, KemenPPPA: Tradisi Budaya Jangan Dijadikan Kedok Melecehkan Perempuan

Heboh Dugaan Kasus Kawin Tangkap, KemenPPPA: Tradisi Budaya Jangan Dijadikan Kedok Melecehkan Perempuan

WJtoday, Jakarta - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menaruh perhatian serius terhadap dugaan kasus kawin tangkap yang terjadi di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terjadi pada Kamis (7/9) lalu.

“Kasus seperti ini tentu mencederai hak perempuan untuk hidup aman tanpa kekerasan. Kasus kawin tangkap terjadi sebagai pergesekan dalam aspek budaya yang sudah sepatutnya kita hentikan bersama demi melindungi para perempuan dari kekerasan seksual berbalut budaya." Kata Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Ratna Susianawati, dalam keterangan resminya, Minggu (10/9/23)

"Kawin tangkap merupakan bentuk penculikan dan kekerasan terhadap perempuan. Tentu ini dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal dan bukan bagian dari adat. Selain itu, ada peranan relasi kuasa dalam kasus-kasus kawin tangkap yang tidak selayaknya dilanggengkan,” imbuhnya.

Terkait kasus kawin tangkap di Provinsi NTT, Ratna menggarisbawahi telah ditandatanganinya Nota Kesepahaman Peningkatan Perlindungan Perempuan dan Anak di Kabupaten Sedaratan Sumba oleh Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Daerah Sedaratan Sumba pada 2020.

“Untuk itu, kami mohon aparat penegak hukum untuk menindak tegas setiap praktik kawin tangkap. Jangan sampai alasan tradisi budaya dipakai hanya sebagai kedok untuk melecehkan perempuan dan anak,” tegas Ratna.

Ratna mengatakan, selain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kasus ini dapat dijerat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yaitu Pasal 4 ayat (1) huruf e jo Pasal 10. Dalam UU TPKS dinyatakan, setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200 juta.

“Pada ayat selanjutnya disebutkan, salah satu pemaksaan perkawinan yang dimaksud adalah pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya. Namun, pasal tersebut dapat diterapkan ketika pemaksaan perkawinan telah dilakukan sehingga dapat memenuhi unsur-unsur pidana. Berdasarkan informasi kami didapatkan, seluruh pelaku, orang tua salah satu pelaku, dan korban langsung diamankan pada hari kejadian untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terkait video dugaan kasus kawin tangkap yang viral di media sosial,” kata Ratna.

Ratna menuturkan, pihaknya akan mengawal kasus tersebut dan terus berkoordinasi intens dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) Kabupaten Sumba Barat Daya, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi NTT, Kepolisian Daerah Provinsi NTT, dan Kepolisian Resor Kabupaten Sumba Barat Daya.

“Kami akan memantau perkembangan penanganan kasus dan pendampingan korban sebagai bentuk perlindungan dan pemenuhan hak perempuan korban. Kami juga mendorong organisasi perangkat daerah yang membidangi urusan PPPA untuk terus memantau perkembangan kasus tersebut dan memberikan layanan sesuai kebutuhan korban sebagaimana yang diamanatkan dalam UU TPKS,” ujar Ratna.

Sebelumnya Video yang memperlihatkan praktik kawin tangkap di Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT, viral di media sosial pada Kamis (7/9/2023).

Dalam sebuah video yang beredar di media sosial, sejumlah orang mengenakan baju adat 'menculik' seorang wanita dan membawanya kabur menggunakan mobil bak terbuka.

Kapolres Sumba Barat Daya AKBP Sigit Harimbawan mengatakan aksi kawin tangkap itu terjadi di Desa Waimangura, Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya.

Pihak kepolisian menangkap empat orang terkait kasus tersebut, yakni YT (20), LP atau orangtua YT (50), juru bicara (45), dan sopir kendaraan berinisial HT (25).

"Kami sudah amankan di Mapolres Sumba Barat Daya, termasuk mobil pikap yang digunakan oleh para pelaku," ujar Kapolres Sumba Barat Daya AKBP Sigit Harimbawan.***