Hukum Menggunakan Simbol dan Syiar Agama Lain

Hukum Menggunakan Simbol dan Syiar Agama Lain

WJtoday, Jakarta - Beberapa waktu lalu anak penyanyi dangdut terkenal Iis Dahlia, Devano Danendra, terlihat memakai kalung salib. Karena hal itu, ada warganet yang menduga Devano tidak lagi memeluk agama Islam. Namun sang ayah memastikan si anak masih beragama Islam.

Pertanyaannya, bolehkah umat Islam memakai atribut keagamaan lain, meski tujuannya sekadar untuk fashion? Pimpinan dakwah kreatif iHAQi Ustadz Erick Yusuf mengatakan, atribut keagamaan memiliki arti segala sesuatu yang berkaitan dengan simbol, praktik, atau benda-benda yang memiliki makna religius atau spiritual dalam satu agama. Jadi ketika seseorang menggunakan satu atribut keagamaan, Erick menuturkan, itu artinya dia memperlihatkan identitas dirinya.

Erick memberi contoh identitas ini seperti ketika melihat seseorang yang berseragam atau mengenakan atribut kepolisian, maka identitasnya sebagai polisi.

“Ini juga sama. Ketika atribut keagamaannya dia simbol dari agama tertentu ya dia memperlihatkan bahwa dia itu adalah penganut agama tersebut, misalnya begitu. Itu arti atribut ya,” ujar Ustadz Erick.

Ustadz Erick mengatakan bahwa hukum menggunakan atribut keagamaan di dalam agama Islam jelas ada konsep hadits yang dinyatakan Rasulullah SAW, yakni Man tasyabbaha biqoumin fahuwa minhum. Artinya, barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka. Itulah yang disebut tashabbuh.

Bahkan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 56 Tahun 2016 Tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim. “Itu ada hukumnya gitu, jelas-jelas kalau misalnya itu dilarang ya. Karena ya tidak bolehlah kita mencampuradukkan,” katanya.

Lebih lanjut, Ustadz Erick menjelaskan, toleransi itu bukan konsep mencampuradukkan keyakinan tetapi berkeyakinan masing-masing namun saling menghargai. Selain itu, memajang pajangan juga sama hukumnya. Contohnya, memajang pajangan patung budha. Menurut Ustaz Erick, itu  sebetulnya kalau di dalam konsep agama Budha mungkin juga untuk memudahkan ibadah.

Ustadz Erick mengatakan, mereka yang menganut agama tersebut, itu bagus. Tetapi kalau kita yang beragama Islam memajang pajangan seperti itu dalam konteks identitas, apalagi nilai ibadah, ini sudah tidak baik.

“Jadi kalau misalnya terkait dengan identitas, dengan atribut, dengan ritual apalagi ya inilah yang kemudian dilarang,” ujarnya

Jadi sekali lagi, kata Ustaz Erick, atribut keagamaan ini memiliki peran penting dalam membantu para penganut agama tersebut untuk mengidentifikasikan diri mereka sebagai anggota penganut atau komunita keagamaan tersebut. Selain itu, juga untuk memperkuat keyakinan dan untuk kebutuhan-kebutuhan ritual tertentu bagi agama tertentu.

“Kayak kita kenapa kalau di dalam agama Islam kita pajang ayat kursi dan lain-lain , selain itu untuk mengingatkan dzikir kita, tetapi juga itu untuk menolak bala, satu pengaruh buruk dan lain-lain gitu ya karena itu adalah sebuah doa gitu kan dan identifikasi juga dan lain-lain,” kata Ustadz Erick.

“Itulah sebetulnya fungsi atribut karena dalam konteks atribut ini selain ada untuk memperkuat keyakinan, identifikasi dan lain-lain, ini juga untuk kebutuhan-kebutuhan ritual tertentu ya bagi agama-agama tertentu. Jadi jangan sampai kita mencampuradukkan hal-hal tersebut,” ujarnya lagi.

Hukum Menggunakan Simbol dan Syiar Agama Lain

Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda,’Barangsiapa meniru-niru suatu kaum maka dia termasuk dari mereka.” (HR. Abu Daud)

Al Munawi dan al Alqomiy mengatakan bahwa makna dari “barangsiapa meniru-niru suatu kaum” adalah orang yang secara lahiriyah mengenakan pakaian dengan pakaian mereka, menggunakan jalan hidup dan arahan mereka didalam berpakaian dan sebagian perbuatan lainnya.

Al Qori berkata bahwa maknanya adalah barangsiapa yang dirinya menyerupai orang-orang kafir didalam berpakaian dan sebagainya atau menyerupai orang-orang fasiq, fajir, ahli tashawwuf, orang-orang shaleh atau orang-orang baik.

Sedangkan makna “ia adalah termasuk dari mereka” adalah didalam dosa dan kebaikan, demikian menurut al Qori. Sedangkan menurut al Qomiy bahwa maknanya adalah barangsiapa yang meniru orang-orang shaleh maka ia akan mulia sebagaimana kemuliaan mereka dan barangsiapa yang meniru orang-orang fasiq maka ia tidaklah dimuliakan dan barangsiapa didalam dirinya terdapat tanda-tanda kemuliaan maka dia mulia walaupun kemuliaan itu belum terealisasi. (Aunul Ma’bud, juz XI hal 56)

Demikian halnya penggunaan simbol-simbol agama lain, seperti salib dan lain sebagainya adalah dilarang didalam agama karena termasuk didalam meniru-niru suatu kaum, sebagaimana hadits diatas.

Didalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah saw tidak meninggalkan di rumahnya sesuatu pun yang berbentuk salib kecuali dia akan mematahkannya.” (HR. Abu Daud)

Imam Asy Syaukani mengatakan bahwa makna “tidak meninggalkan di rumahnya sesuatu pun” mencakup didalamnya adalah segala sesuatu yang dikenakan, tertulis, dibentangkan, alat-alat dan lain sebagainya. (Nailul Author, juz II hal 102)

Tidak diperbolehkan baginya mengambil salib baik untuk digantungkan atau tidak digantungkan, dipasang atau tidak dipasang. Tidak diperbolehkan baginya menampakkan syiar itu dijalan-jalan kaum muslimin, tempat-tempat umum atau khusus dan tidak menempelkannya di bajunya, sebagaimana diriwayatkan dari adi bin Hatim berkata,”Aku mendatangi Nabi saw sementara di leherku terdapat salib dari emas. Maka beliau saw bersabda,’Buanglah berhala itu darimu.” (Al Mausu’ah al fiqhiyah juz II hal 4244)

Hukum Memproduksi dan Menjualnya

Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim memproduksi atau membuat sebuah salib (atau yang sejenisnya, pen) dan tidak boleh baginya memerintahkan orang lain membuatnya, maksudnya adalah membuat segala simbol yang menunjukkan bentuk-bentuk salib. (Al Mausu’ah al fiqhiyah juz II hal 4244)

Tidak sah menurut syariat jual beli salib dan tidak juga menyewakannya dan seandainya ia disewa untuk mebuatnya maka tidak dibenarkan bagi pembuatnya mengambil bayarannya karena hal itu menjadi tuntutan dari kaidah syariah yang sudah umum yaitu larangan memperjualbelikan barang-barang yang diharamkan, menyewakannya atau menyewa seseorang untuk membuatnya.

Al Qolyuni mengatakan bahwa tidak sah jual beli gambar-gambar (salib) dan salibnya walaupun terbuat dari emas, perak atau perhiasan.

Tidak diperbolehkan menjual kayu bagi orang yang mengetahui apabila kayu itu akan digunakan untuk membuat salib. Imam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seorang penjahit yang menjahitkan buat orang-orang Nasrani sutera yang diatasnya terdapat salib dari emas maka apakah ia berdosa dalam menjahitnya? Apakah penghasilannya halal? Dia menjawab,”Apabila dia membantu orang itu untuk maksiat terhadap Allah maka ia berdosa.” Kemudian dia melanjutkan,”tidak diperbolehkan membuat salib baik dengan mendapat bayaran atau tidak mendapatkan bayaran, tidak diperbolehkan menjual salib sebagaimana tidak diperbolehkan menjual berhala dan membuatnya.”

Sebagaimana terdapat didalam hadits shahih dari Nabi saw bersabda, ”Sesungguhnya Allah swt mengharamkan khamr, bangkai, babi dan berhala.” Dan juga terdapat didalam hadits lainnya,”dilaknatnya para pelukis.” (Al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 4248).***