Komnas HAM: Kasus Haris-Fatia Harusnya Tak Perlu Sampai Dibawa ke Pengadilan

Komnas HAM: Kasus Haris-Fatia Harusnya Tak Perlu Sampai Dibawa ke Pengadilan

WJtoday, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti (Haris-Fatia) seharusnya tidak perlu sampai dibawa ke pengadilan. 

“Komnas HAM memandang bahwa kasus ini sesungguhnya tidak perlu sampai dibawa ke pengadilan,” kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro, lewat keterangan tertulis, Jumat, 16 Juni 2023.

Komnas HAM mengatakan lembaganya telah melayangkan surat ke Kejaksaan terkait kasus pencemaran nama baik Luhut Binsar Pandjaitan yang kini sedang disidangkan. Adapun terdakwa dalam perkara ini adalah Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanty.

Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sugiro mengatakan ada dua surat yang dikirimkan ke pihak kejaksaan, yakni surat ke Kejaksaan Negeri dengan nomor: 408/PM.00/K/III/2023 dan surat ke Kejaksaan Tinggi dengan nomor: 409/PM.00/K/III/2023.

Atnike berpandangan Kejaksaan Negeri harus melakukan penuntutan sesuai dengan Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.

Sementara itu, menimbang bahwa Haris dan Fatia merupakan pegiat HAM maka Kejaksaan Tinggi harus mempertimbangkan status tersebut.

"Yang memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan yang dijamin dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup," kata Antike dalam keterangannya, Jumat (16/5/2023).

Lebih lanjut, Atnike menyebut jika Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) mempersilakan Komnas HAM hadir di persidangan maka bakal dijelaskan bahwa kasus ini merupakan pelanggaran HAM.

"Komnas HAM dapat memberikan pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia," tutur Atnike.

Menurut Komnas, kata Atnike, pembela HAM berperan penting untuk memastikan penghormatan dan perlindungan bagi masyarakat. Terlebih masyarakat marjinal seperti masyarakat di Papua yang mengalami marginalisasi ekonomi dan kerusakan lingkungan.

Dia mengatakan pemidanaan terhadap pembela HAM, merupakan ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat. Atnike mengatakan pengadilan harus memprioritaskan sanksi di luar pidana dalam kasus penghinaan, misalnya sanksi koreksi atau hak jawab.

“Sanksi yang disampaikan secara berlebihan akan menimbulkan dampak meluas yang buruk, di mana warga mengalami ketakutan untuk mengekspresikan pendapatnya terhadap jalannya pemerintahan,” kata dia.

Atnike meminta negara dan masyarakat mengenal dan mengakui keberadaan pembela HAM, serta peran dan fungsinya. Sebab, kata dia, semua orang dan kelompok masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM. Keberadaan pembela HAM, kata dia, memiliki kontribusi penting bagi implementasi tata kelola pemerintah yang baik dan kehidupan demokrasi di Indonesia.***