Novel Baswedan Pastikan Harun Masiku Tak Bakal Tertangkap Selama Firli Bahuri Ketua KPK

Novel Baswedan Pastikan Harun Masiku Tak Bakal Tertangkap Selama Firli Bahuri Ketua KPK

WJtoday, Jakarta - Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan memastikan bahwa Harun Masiku tak akan pernah ditangkap, sepanjang Firli Bahuri menjabat sebagai Ketua lembaga anti rasuah itu.

“Saya yakin, selama Firli menjadi Pimpinan KPK, DPO atas nama Harun Masiku tidak akan ditangkap,” kata Novel dalam keterangannya seperti dikutip Kamis (9/2/2023).

Menurut Novel, KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri memang tak pernah berniat untuk menangkap tersangka kasus dugaan suap terkait urusan Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR dari PDIP yang meninggal, Nazarudin Kiemas.

Terlebih, kasus Harun Masiku tersebut bisa menyeret petinggi partai politik masuk ke ranah hukum.

“Hal ini sudah pernah saya sampaikan sejak sekitar setahun lalu, dan sampai sekarang masih benar,” ujarnya.

Jika memang KPK memiliki niat untuk mencari dan menangkap Harun Masiku, Novel yakin hal itu cukup mudah dilakukan.

“Kalo memang dicari benar-benar, mestinya bisa ditangkap,” tegasnya.

Sekedar diketahui Sobat Holopis, bahwa Harun Masiku sudah menjadi buronan KPK sejak 20 Januari 2020. Nama politisi PDI Perjuangan itu sampai saat ini kasih ditetapkan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).

Jika merujuk pada kasus yang menjerat Harun Masiku, diketahui ada permainan kotor dalam pemilihan umum tahun 2019 silam, dimana Harun Masiku berkongkalikong dengan salah satu eks komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.

Bila mengikuti aturan suara terbanyak di bawah Nazarudin Kiemas, penggantinya adalah Riezky Aprilia. Namun, Harun Masiku diduga berupaya menyuap mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan agar dapat menjadi PAW Nazarudin.

Dalam kasus itu, KPK turut menduga bahwa ada keinginan dari DPP PDI Perjuangan yang memang mengajukan Harun Masiku menggantikan posisi Nazarudin Kiemas di DPR RI karena meninggal dunia.

Ada empat tersangka yang ditetapkan dalam kasus ini. Selain Harun dan Wahyu, ada nama Agustiani Tio Fridelina, yang diketahui sebagai mantan anggota Badan Pengawas Pemilu dan berperan menjadi orang kepercayaan Wahyu; serta Saeful, yang hanya disebut KPK sebagai swasta.

Akui Kesulitan Buru Harun Masiku Cs, KPK : Namanya Berubah

Sementara itu,  Firli Bahuri mengaku pihaknya cukup kesulitan menangkap buronan kasus dugaan korupsi.

Firli berdalih, kesulitan yang ditemui pihaknya di KPK itu salah satunya karena perubahan nama para buron KPK yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).

Hal itu disampaikan Firli dalam sesi konferensi pers di Istana Negara bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama kepala lembaga penegak hukum lainnya, Selasa (7/2/2023).

“Jadi kalau awalnya namanya adalah PT, disaat dilakukan penangkapan namanya sudah berubah jadi TTP, dan ini tentu akan menyulitkan kita,” kata Firli.

Meski mengaku kesulitan, Firli menegaskan pihaknya masih tetap optimis dapat melakukan tugasnya dengan baik. Terlebih saat ini, lanjut dia, pihaknya telah mengantongi cara untuk mengatasi perihal perubahan nama tersebut.

“Tetapi kita tidak akan pernah menyerah, karena kita sudah tahu bagaimana proses peralihan nama dari PT menjadi TTP itu. Saya kira itu,” pungkasnya.

IPK Jeblok, Pemberantasan Korupsi di Indonesia Perlu Dievaluasi Total?

Direktur Advokasi Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum), Nina Zainab menyoroti Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia di tahun 2022 yang jeblok ke angka 34 poin.

Menurut Nina, perlu adanya evaluasi secara menyeluruh dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebab, melorotnya IPK Indonesia di tahun ini menjadi catatan serius bagi semua pihak.

“Jebloknya indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia di angka 34 memberi sinyal keras dibutuhkan evaluasi total dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Ini terjadi regresi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia,” tegas Nina, Sabtu (4/2/2023).

Dia berharap, Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera melakukan langkah konkret dan serius dalam membenahi IPK Indonesia. Sebab menurutnya, IPK ini akan berdampak secara linier di bidang lainnya seperti ekonomi dan penyelenggaraan pemerintahan yang good governance.

“Presiden harus memberi atensi serius atas jebloknya IPK Indonesia. Ini sinyal tidak baik dalam pemberantasan korupsi di Indonesia,” ingat Nina.

Pengajar hukum pidana di Universitas Bhayangkara Jakarta Raya ini juga memberikan sejumlah masukan yang dapat dijalankan pemerintah terkait pemberantasan korupsi yang terbukti tidak efektif.

Karena itu, imbuh Nina, di penghujung masa jabatan Presiden Jokowi agar melakukan evaluasi total strategi pemberantasan korupsi.

“Di penghujung masa jabatan Presiden Jokowi, segera lakukan terobosan strategi pemberantasan korupsi agar lebih efektif,” cetus Nina.

Menurut alumnus Fakultas Hukum Universitas Jember (Unej) ini, praktik korupsi kini telah mengalami komodifikasi yang semakin rumit. Oleh sebab itu, dibutuhkan kesungguhan dalam pemberantasan korupsi.

“Praktik korupsi semakin rapi dan makin susah diungkap. Ekstremnya ada budaya permisif atas praktik korupsi. Karena itu dibutuhkan keseriusan dalam memberantas korupsi,” ucap Nina.

Jokowi Minta Semua Pihak Introspeksi Akibat Turunnya Indeks Korupsi

Presiden Jokowi merespon capaian Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2022 yang mengalami penurunan drastis.

Jokowi menegaskan, dengan hasil yang terbilang mengecewakan, sudah seharusnya semua pihak melakukan introspeksi diri akan fenomena tersebut.

“Iya itu akan menjadi koreksi dan evaluasi kita bersama,” kata Jokowi dalam keterangannya, Kamis (2/2).

Transparency International Indonesia (TII) pun diketahui sebelumnya meluncurkan data IPK atau ”Corruption Perception Index” (CPI) Indonesia pada 2022.

Dari laporannya, Indonesia mengalami penurunan dari 38 ke 34. IPK mengacu pada 8 sumber data dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik di 180 negara dan teritori.***