Sindrom Panen Raya

Sindrom Panen Raya
Lihat Foto

Penulis : Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat, Entang Sastraatmadja

WestJavaToday.com - Dulu, panen raya adalah saat yang dinantikan oleh para petani padi beserta keluarga nya. Panen raya betul-betul merupakan rahmat yang harus disyukuri. Tak mengherankan, bila panen raya berlangsung, banyak petani yang menyelenggarakan keriaan atau hajatan. 

Ada yang menanggap wayang golek semalam suntuk. Ada yang meramaikan nya dengan bangreng, jaipongan bahkan ada juga yang mengadakan dangdutan ala desa. Semua mereka lakukan sebagai bentuk "penghormatan" kepada Dewi Sri atas terjadi nya panen raya.  

Itulah yang sering kita lihat di daerah sentra produksi padi, seperti di daerah pantai utara Jawa. Karawang, Subang dan Indramayu merupakan lumbung padi nasional yang hampir tidak pernah melupakan keriaan setelah mereka melakukan panen raya.  
Gambaran semacam ini terjadi sekitar 3 dasa warsa yang lalu. Saat itu, para petani masih berdaulat atas lahan sawah yang digarap nya. Mereka umum nya masih menjadi pemilik sawah. Seorang sahabat malah menyebut para petani masih menjadi tuan di atas sawah nya sendiri.  

Kini ritual budaya seperti itu hampir tidak pernah dapat kita saksikan lagi. Hajatan nanggap wayang golek atau dangdutan semalam suntuk sudah menjadi barang langka. Panen raya bukan lagi sebagai bentuk rasa syukur atas keberkahan yang mereka terima, namun yang lebih mengedepan saat ini adalah bagainana agar pelaksanaan panenan cepat selesai. 

Suasana ini sudah sangat jauh berbeda dengan masa lalu. Salah satu penyebab nya boleh jadi dikarenakan mereka sudah tidak berdaulat lagi atas lahan sawah yang digarap nya. Karena ada nya proses industrialisasi dan kebutuhan lahan untuk perumahan atau pemukiman, menjadikan alih fungsi lahan menjadi tak terhindari. 

Petani banyak yang menjual sawah ladangnya. Alih kepemilikan sawah pun menjadi hal yang biasa. Sawah tidak lagi menjadi kepunyaan petani, namun sudah berganti kepemilikan menjadi kepunyaan orang kota. Mereka terkadang tidak pernah menggarap sawah ladang nya sendiri. 

Ada yang dibiarkan sebagai bentuk investasi, namun ada juga yang menyewakan sawah nya kepada penduduk setempat. Pemandangan ini sudah biasa kita lihat di daerah pantai utara Jawa. Petani hanya jadi penyewa, penyakap atau penggarap. Petani bukan lagi menjadi pemilik sawah. Yang punya orang kota yang umum nya bukan berprofesi sebagai petani. 
Panen raya padi merupakan momen penting dalam kehidupan petani. Tahun 2021 ini, panen raya yang dimulai bulan April hingga Mei 2021, ditengarai akan dilakoni dengan seabreg persoalan yang harus dihadapi petani. Di awali dengan berita anjlok nya harga gabah di tingkat petani, sampai muncul nya ramalan BMKG yang meminta kepada segenap anak bangsa untuk mewaspadai ada nya iklim atau cuaca ekstrim. 

Anjlok nya harga gabah atau beras di berbagai daerah, memang telah muncul menjadi berita yang menyertai hangat nya perdebatan tentang impor beras. Sebelum ada impor, harga gabah atau beras di tingkat petani, terlihat sudah anjlok. Apalagi jika terjadi impor beras. Oleh karena nya, kita perlu memberi apresiasi kepada Presiden Jokowi yang telah memberi jaminan bahwa hingga bulan Juni 2021, Indonesia tidak akan impor beras. 

Ada nya pernyataan Presiden Jokowi yang demikian, membuat harga gabah atau beras di tingkat petani sedikit demi sedikit mengalami perbaikan, sehingga tidak terlampau jauh berada di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Jaminan bahwa Pemerintah telah menugaskan Bulog membeli gabah petani tidak berada di bawah HPP, jelas hal ini merupakan kabar yang menyenangkan bagi petani. 

Iklim atau cuaca ekstrim yang kini dikhawatirkan bakal menyergap suasana panen raya, kelihatan nya butuh pencermatan bersama. Jujur saja hingga sekarang kita belum mampu mengendalikan iklim atau cuaca ekstrim yang entah kapan bakal melanda kita. Yang bisa dilakukan hanya sekedar berjaga-jaga dan mengantisipasi nya saja. 

Panen raya di musim hujan, jelas akan berpengaruh kepada kualitas gabah yang dihasilkan. Dengan tidak ada nya matahari ditambah dengan masih terbatas nya teknologi pengering yang dimiliki petani, menjadikan petani kesulitan untuk memperoleh gabah kering panen yang memiliki kadar air 14 %. Pengalaman menunjukan dengan terjadi nya musim hujan di saat panen, petani umum nya hanya mampu mengeringkan gabah nya sekitar 18 %. 

Ini yang selama ini dikeluhkan para petani. Sudah sejak lama petani meminta kepada Pemerintah, agar bantuan alat mesin pertanian kepada mereka, bukan hanya yang berkaitan dengan alsintan untuk meningkatkan produksi, namun yang terkait dengan alsintan untuk paska panen pun, seperti pengeringan gabah misal nya, sebaik nya dijadikan prioritas untuk diberikan kepada petani. 
Penting nya teknologi pengering bagi petani, jelas akan menolong petani untuk meningkatkan kualitas gabah yang dihasilkan, sehingga akan meningkatkan nilai jual nya. Bila harga di tingkat petani meningkat karena ada perbaikan kualitas gabah kering panen, tentu hal ini akan dapat meningkatkan pendapatan petani. Jika penghasilan petani semakin baik, harapan nya kesejahteraan petani pun bakal meningkat. Inilah sebetul nya tujuan akhir pembangunan pertanian.***

Entang Sastraatmadja 
Ketua Harian Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat.