Renungan Jumat

Tidak Mengapa Kaya, Asal Bertakwa

Tidak Mengapa Kaya, Asal Bertakwa
Lihat Foto

WJtoday, Bandung - Kekayaan seseorang adalah pemberian Allah SWT, dan kekurangan atau kemiskinan yang dialami seseorang juga atas kehendak Allah juga. Namun semua itu tidak ada kaitannya dengan tingkat ketakwaan atau tingkat kemaksiatan seseorang.

Kadang kemiskinan atau kekurangan yang Allah kehendaki terjadi pada diri seseorang, justru merupakan bukti ketakwaannya. Sebab kadang Allah menguji orang yang beriman dengan ujian kemiskinan.

Dan sebaliknya, kekayaan yang Allah SWT berikan kepada seseorang justru boleh jadi merupakan bukti bahwa Allah SWT atasnya bahwa orang itu bukan yang beriman.

Silahkan Kaya, Jika Anda Bertaqwa!

Dari Abdullah bin Hubaib, dari pamannya yang merupakan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menceritakan,

Kami pernah duduk bersama, tiba-tiba muncul Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan wajah berseri-seri.

’Ya Rasulullah, kami lihat anda sangat ceria hari ini.’ tanya kami.

”Benar, alhamdulillah.” jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Lalu beliau bersabda,

لَا بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنْ اتَّقَى اللهَ، وَالصِّحَّةُ لِمَنْ اتَّقَى اللهَ خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى، وَطِيبُ النَّفْسِ مِنَ النِّعَمِ

Tidak masalah memiliki kekayaan bagi orang yang bertaqwa kepada Allah. Sementara kesehatan bagi orang yang bertaqwa kepada Allah, lebih baik dari pada kekayaan. Dan jiwa yang tenang termasuk kenikmatan. (HR. Ahmad 23158, Ibnu Majah 2141, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Semua yang ada di sekitar kita, berpotensi untuk menjadi sumber kebaikan, sebaliknya juga berpotensi menjadi sumber fitnah, ujian, dan kebinasaan. Ini semua kembali kepada siapa yang mengendalikannya. Ketika harta ini berada di tangan orang yang bertaqwa, dia tidak akan menjadi sumber bencana.

Dalam Nawadir al-Ushul, As-Suyuthi menjelaskan hadis ini,

الغنى بغير تقوى هلكة يجمعه من غير حقه ويمنعه من حقه ويضعه في غير حقه فإذا كان هناك مع صاحبه تقوى ذهب البأس وجاء الخير

Orang yang kaya tanpa bertaqwa, akan menjadi sumber kebinasaan. Dia mengumpulkan harta dari yang tidak berhak, menghalangi apa yang menjadi haknya, digunakan untuk sesuatu yang tidak benar. Berbeda ketika harta bersama orang yang bertaqwa, bahaya ini akan hilang dan mendatangkan kebaikan. (Hasyiyah as-Sindi untuk Sunan Ibn Majah, 4/370).

Di saat itu, kekayaan bagi orang yang bertaqwa, akan menjadi sumber pahala. Karena dia bisa bersabar dengan ujian kekayaannya, dan bisa menunaikannya dengan benar.

Al-Munawi menukil keterangan Muhammad bin Ka’ab,

الغني إذا اتقى آتاه الله أجره مرتين لأنه امتحنه فوجده صادقا وليس من امتحن كمن لا يمتحن

Orang yang kaya, jika dia bertaqwa, Allah akan memberikan pahala dua kali. Karena Allah mengujinya dan dia berhasil dalam ujian itu. Sementara orang yang diuji tidak seperti orang yang tidak diuji. (Faidhul Qadir, 6/496).

Hiasi Dengan Ilmu Agama
Tidak salah jika ilmu merupakan modal utama untuk menjadi bertaqwa. Karena ilmu merupakan pengendali dan menjaga setiap aktivitas pemiliknya. Sehingga, keluar masuknya harta di tangan orang paham agama, akan dikendalikan oleh syariat yang diketahuinya.

Ali bin Abi Thalib berpesan,

العلم خير من المال , العلم يحرسك وأنت حرس المال ، والعلم حاكم والمال محكوم عليه

Ilmu lebih baik dari pada harta. Ilmu menjagamu, sementara harta kamu yang jaga. Ilmu yang mengendalikan, sementara harta yang dikendalikan.

Untuk itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan hubungan ilmu dengan harta dalam 4 tipe manusia. Beliau bersabda,

إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ، عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَفْضَلِ المَنَازِلِ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا، فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَخْبَثِ المَنَازِلِ، وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ

Dunia menjadi milik 4 jenis manusia
- Hamba yang Allah berikan rizqi dan ilmu. Dia gunakan hartanya untuk bertaqwa kepada Allah, untuk menyambung silaturahim, dan menunaikan hak Allah dengannya. Dia berada di tingkatan paling tinggi
- Hamba yang Allah beri ilmu, namun tidak diberi harta. Dia memiliki niat yang jujur, hingga dia mengatakan, ’Andai aku punya, saya akan beramal seperti yang dilakukan oleh si A.’ Dia niatnya ini, mendapatkan pahala niat yang sama dengan orang pertama.
- Hamba yang Allah berikan harta, namun tidak Allah beri ilmu. Dia habiskan hartanya tanpa aturan, sama sekali tidak untuk mendukung taqwa kepada Allah, tidak untuk menyambung silaturahim, dan tidak pula memperhatikan hak Allah di dalamnya. Ini kedudukan paling hina.
- Hamba yang tidak Allah beri harta maupun ilmu. Dia hanya bisa berangan-angan, ”Andai aku punya harta, saya akan melakukan seperti yang dilakukan si B.”  Dia niatnya ini, mendapatkan dosa niat yang sama dengan orang ketiga.
(HR. Ahmad 18031, Turmudzi 2325, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Rasulullah SAW Paling Bertaqwa, Apakah Beliau Kaya?

Mari kita tengok sosok orang yang paling tinggi imannya dan paling kuat ketakwaannya. Siapa lagi kalau bukan Rasulullah SAW.

Apakah nabi kita itu sosok orang kaya?

Jawabnya tidak selalu jadi orang kaya. Dari 63 tahun masa hidup beliau SAW, hanya beberapa kali saja beliau dicukupkan rejekinya oleh Allah SWT. Namun yang lebih banyak adalah drama kehidupan beliau yang miskin dan sederhana.

Kadang sampai 3 bulan dapurnya tidak mengepulkan asap. Kadang beliau pernah juga saking laparnya sehingga sampai harus mengganjal perutnya dengan batu.

Rumah beliau pun sederhana sekali. Tidak ada kasus empuk bagi beliau untuk sekedar bisa tidur enak. Beliau hanya tidur di atas tikar yang dianyam, sehingga tidak jarang ketika bangun tidur, masih ada tanda bekas anyaman tikarnya.

Bahkan Rasulullah SAW ketika wafat, tidak meninggalkan harta benda yang bisa diwariskan kepada anak cucu.

Tetapi adakalanya di salah satu momen kehidupan, beliau SAW mendapatkan rejeki yang luas dan besar dari Allah SWT. Setidaknya, beliau mendapatkan hak 1/5 dari setiap ghanimah atau harta rampasan perang yang berhasil beliau menangkan.

Dan cukup banyak perang yang berhasil beliau dapatkan, sehingga kalau kita mau menghitung-hitung dan memperkirakan, seharusnya beliau SAW adalah orang kaya di Madinah. Beliau seharusnya masuk dalam jajaran orang terkaya, bahkan nomor urut pertama.

Tetapi karena beliau rajin bersedekah, bahkan teramat ekstrim ketika bersedekah, maka beliau tidak sempat lagi merasakan nikmat kekayaannya. Dan alhamdulillah, semua istri beliau taat dan menerima saja. Mereka tidak menuntut ini dan itu yang berlebihan.

Doa Nabi SAW Selalu Terkabul

Sebenarnya kalau beliau mau, bisa saja Allah memberikan kekayaan yang berlimpah, macam Nabi Sulaiman alahissalam. Sebab doa beliau mustajabah, lebih sering terkabul dari pada yang tidak terkabul.

Masalahnya beliau SAW sendiri yang kurang berminat untuk mengumpulkan kekayaan. Ini masalah selera dan gaya hidup. Jadi beliau SAW berhak untuk menentukan gaya hidupnya sendiri.

Orang Kafir Banyak Yang Kaya Raya

Sementara itu, di dalam sejarah kita menemukan banyak orang kafir yang punya kekayaan berlimpah ruah. Sejak lahir sampai akhirnya hayatnya tidak pernah mengalami jadi orang miskin. Padahal belum pernah sekali pun dahinya diletakkan di atas tanah untuk sekedar bersujud kepada tuhannya.

Kok bisa, ya?

Tentu saja bisa. Sebab selama seseorang masih hidup di dunia, Allah SWT masih akan terus memberikan segala kenikmatannya kepada siapa saja, lepas dari apakah orang itu kafir atau beriman.

Sebab setelah kehidupan di dunia ini, masih ada kehidupan lagi jilid dua, yaitu kehidupan akhirat. Disanalah nanti orang-orang kafir akan merasakan hidup yang susah, sakit, disiksa dan seterusnya. Dan disana juga nanti orang beriman akan mendapatkan segala kenikmatan yang tidak akan pernah berhenti.

Karena kehidupan di dunia ini  cuma sementara, yang abadi adalah kehidupan di akhirat nanti. Maka boleh-boleh saja Allah SWT mengulur waktu buat orang kafir, untuk tetap masih bisa merasakan kenikmatan dunia.***